It is safe to say bahwa Daredevil Born Again adalah satu dari sedikitnya produk live action Marvel Studios yang sukses pasca fase 3. Dikembangkan oleh Marvel Television, subsidiary dari Marvel Studios, serial ini tak hanya berhasil bikin hooked dari awal hingga akhir, namun memberi harapan bahwa Marvel took the right lesson dari kegagalannya beberapa tahun terakhir.
Hebatnya, capaian serial 9 episode ini lahir dari proses “tambal sulam”. Daredevil: Born Again sejatinya telah kelar diproduksi cukup lama sebagai serial 18 episode. Namun, berdasarkan hasil review internal, iterasi sebelumnya dianggap kurang engaging, kurang “Netflix’s Daredevil” yang dipuja-puja itu. Recast, rewrite, dan reshoot dilakukan, untuk menyelamatkannya. Bukan perkara gampang jika melihat track record Marvel akhir-akhir ini.
Salah satu hal yang membuat Daredevil: Born Again berhasil adalah keputusannya untuk “berdamai” dengan realita bahwa akan selalu dibandingkan dengan tiga musim serial Daredevil di Netflix. Walhasil, dari yang awalnya berusaha menjaga jarak dari versi Netflixnya, Daredevil: Born Again justru meng-embrace apa yang berhasil di Netflix dan membuatnya sebagai pilar, bahkan fondasi, kisah yang baru.
Daredevil dan Kingpin Kembali Dari Nol

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Daredevil: Born Again mengambil setting 7 tahun setelah ending Daredevil Season 3 di Netflix. Sedikit recap, musim ketiga diakhiri dengan kemenangan Matt Murdock aka Daredevil (Charlie Cox) atas Wilson Fisk aka Kingpin (Vincent D’Onofrio) dan Ben Poindexter aka Bullseye (Wilson Bethel), memenjarakan keduanya atas rangkaian kejahatan yang mereka lakukan bersama. Kemenangan itu dirayakan Matt bersama kedua koleganya, Foggy Nelson (Elden Henson) dan Karen Page (Deborah Ann Woll), dengan mendirikan kembali firma hukum mereka, Nelson & Murdock: Attorney At Law.
Kemenangan itu tak bertahan lama. Beberapa tahun setelah kemenangan tersebut, Foggy tewas dibunuh oleh Bullseye. Peristiwa itu menyisakan trauma mendalam pada diri Matt hingga ke titik ia tak lagi mau menjadi Daredevil karena tidak ada gunanya lagi dan hanya membawa petaka. Berdekatan dengan Matt memutuskan untuk fokus pada jalur hukum yang legal, sebagai pengacara dibanding vigilante, Wilson Fisk kembali ke permukaan dan kali ini sebagai wali kota New York.
Keberhasilan Wilson Fisk menjadi Wali Kota New York menimbulkan dilema bagi Matt. Di satu sisi, ia mencurigai bahwa menjadi Wali Kota New York hanyalah akal Wilson untuk melanggengkan bisnis haramnya. Hal itu mulai dari perjudian hingga ilegal trafficking, terlepas isi kampanye Wilson yang menekankan dirinya bukanlah penjahat HAM…eh mafia . Di sisi lain, Matt ogah menjadi Daredevil. lagi Apa yang terjadi selanjutnya adalah kucing-kucingan di antara keduanya.

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Kesinambungan yang terbentuk dengan versi Netflix membuat Born Again terasa familiar dan baru at the same time. Bagi mereka yang pernah menonton tiga musim Daredevil Netflix, dengan mudah kita bisa engaged dengan kisah Matt dan Wilson yang sudah berjalan panjang. Namun, dengan keduanya diposisikan kembali ke titik nol di mana Matt bukan lagi Daredevil dan Wilson bukan lagi Kingpin, serial ini juga jadi accessible sebagai penonton baru.
Dari kedua pendekatan yang dicover, Born Again lebih ditujukan untuk penonton baru. Hal itu terlihat dari bagaimana serial ini begitu telaten dan perlahan membangun justifikasi bagi Matt ataupun Wilson untuk kembali ke alter ego mereka. Di situlah kata “Born Again” berasal. Walau begitu, retelling tersebut tidak terasa “been there, done that”. Kedua tokoh sentral memiliki titik berangkat berbeda, di mana Matt mencoba mengungkap niatan Wilson secara legal sementara Wilson mencoba meng-exercise sejauh mana kuasa barunya bisa ia berdayakan (baca: disalahgunakan).
Penampilan Daredevil Minimal, Drama Maksimal

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Pendekatan itu menghasillkan sebuah serial Daredevil yang slow burn dengan porsi aksi Daredevil-nya begitu minimal. Selain pertarungan antara Daredevil dan Bullseye di awal musim, kalian baru akan melihat The Devil of Hell’s Kitchen beraksi kembali di paruh musim. Selebihnya, Daredevil: Born Again terasa seperti court room/ crime drama ala serial Law and Order yang kaya akan adegan di persidangan, perdebatan di firma hukum, dan penyelidikan di TKP.
Bagi yang tidak sabaran, serial ini bisa terasa membosankan dengan begitu cepat. Namun, jika bisa duduk anteng, elemen Law and Order serial ini tidak kalah compelling dengan laga-laga beringasnya di paruh kedua. And, believe me, segala setup dan kesabaran kalian yang dibangun di paruh pertama akan terbayarkan di paruh kedua. Serial ini tidak lupa akan kelebihannya untuk menghadirkan laga yang visceral, brutal, dan bikin ngilu. Sedikit warning, ada satu adegan yang cukup sadis yang bahkan melebihi Wilson memenggal kepala orang dengan pintu mobil di musim pertama Netflix’s Daredevil.
Dari rangkaian kasus yang ditampilkan Daredevil: Born Again, kasus Hector Ayala (Kamar De Los Reyes) aka White Tiger adalah salah satu yang paling mengena, bahkan relevan dengan kenyataan di Amerika. Persidangan Hector Ayala adalah sebuah studi kasus akan praktik vigilantism dan power abuse oleh kepolisian. Hector, yang mencoba menyelamatkan seseorang dari aksi brutal polisi, mendapati dirinya berakhir menjadi tersangka kasus pembunuhhan aparat. Para polisi yang tidak menyukainya memanipulasi keterangan saksi dan mereka sendiri untuk menyudutkan Hector di persidangan.

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Ketika alter ego Hector terungkap, Daredevil: Born Again secara compelling membedah alasan di balik keberadaan vigilante dari dua perspektif, sipil dan aparat. Dari sisi sipil, keberadaan vigilante bisa dimaknai sebagai ketikdapercayaan terhadap aparat. Ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka hukum jalanan yang selanjutnya bergerak. Dari sisi aparat, vigilantism dipandang sebagai potensi mengangkangi hukum. Hukum yang tumpul di atas lahir bukan dari masalah substansi hukumnya, tetapi adanya penyalahgunaan oleh aparat-aparat yang tidak bertanggung jawab.
Aparat-aparat tidak bertanggung jawab tersebut, di Born Again, hadir dalam wujud polisi-polisi korup yang dipelihara oleh Wilson. Wilson bahkan pantang menggunakan kata “Korup” atau “Bermasalah” untuk mereka. Ia menggunakana kata “Termotivasi” untuk menggambarkan para polisi yang kerap menyalahgunakan wewenangnya tersebut atas dalih menjaga ketertiban dan keamanan. Wilson bahkan membentuk satgas untuk menampung mereka, Anti-Vigilante Task Force (AVTF)
Uniknya, para anggota AVTF tersebut mengidolakan Frank Castle aka Punisher (Jon Bernthal), bahkan mengadopsi logo skullnya sebagai insignia AVTF. Menurut mereka, Frank adalah perwujudan hukum yang tegas, tidak pandang bulu, dengan perbedaan benar dan salah sejelas hitam dan putih. Oleh karenanya, segala hal yang mereka anggap bentuk pelanggaran pantas ditumpas secara keras, kalau perlu dimatikan sekalian. Yang satu ini, seremnya, kejadian sungguhan di dunia nyata di mana banyak polisi dan militer mengadopsi simbol Punisher dalam menjalankan aksi mereka, underlining relevansi Born Again. I’ll talk bout this in a different content karena Frank Castle punya pemahaman tersendiri akan dirinya.
Embracing Daredevil dan Kingpin “Mask”

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Keberadaan AVTF di atas adalah wujud penyalahgunaan kekuasaan oleh Wilson. Wilson berniat menjadikan Kota New York sebagai kotanya “Dia” di mana ia bisa sesuka hati menggunakan fasilitas dan aparatur pemerintahan. Ya, bisa dibilang ini perwujudan motif supervillain “Menguasai Dunia” yang jauh lebih realistis, ala Bane di The Dark Knight Rises. Sungguh menarik melihat bagaimana Wilson menggunakan brute force untuk menempatkan dirinya sebagai “Rajanya New York” dan seiring berjalannya waktu fully embracing persona villainnya, Kingpin, secara publik walau telah menjadi wali kota.
Ya, embracing alter ego atau “mask” adalah tema besar serial ini. Baik Matt maupun Wilson sama-sama mencoba menjauh dari alter ego lama mereka, menganggapnya sebagai beban tersendiri untuk identitas baru yang hendak mereka bentuk. Wilson ingin menjadi Wali Kota New York, sementara Matt ingin menjadi ” A Really Good Lawyer”. Namun, deep down, mereka bergulat dengan kenyataan bahwa bisa jadi Daredevil dan Kingpin lah identitas sejati mereka, yang selalu mencoba menyeruak ke permukaan setiap masalah menghadang. Ironisnya, pertemuan keduanya, dengan identitas baru masing-masing, yang menjadi katalis kembalinya identitas Daredevil dan Kingpin setelah sekian lama dipendam.

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Muse, salah satu villain di serial ini, menjadi anti-tesis dari apa yang dihadapi Matt dan Wilson akan identitas mereka. Muse, secara sadar, menyakini bahwa ia bisa menjadi diri dia sendiri seutuhnya ketika ia menggunakan “mask”. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk dia tidak mengadopsi topengnya, yang awalnya ia gunakan untuk menyembunyikan wajah aslinya ketika membunuh korban-korbannya dan menggunakan darah mereka untuk melukis.
Pergulatan identitas diri tersebut terbantu akting dan chemistry antara Charlie Cox dan Vincent D’Onofrio. Bertahun-tahun kerja bareng, mereka sudah hafal betul akan personality karakter masing-masing, memungkinkan mereka untuk langsung menjiwainya from the get go.
Masih Terasa Serial Tambal Sulam

Daredevil: Born Again (Source: IMDB)
Despite segala kelebihannya dalam mengisahkan perjalanan Matt dan Wilson kembali menjadi Daredevil dan Kingpin, in the end Daredevil: Born Again tetap terasa sebagai serial tambal sulam. If you look closely, terlihat cukup jelas mana bagian yang ditambahkan pada proses reshoot. Salah satunya ya ada pada pembuka serial ini di mana CGI-nya sangat kentara.
Contoh lainnya adalah karakter Muse. Pada paruh pertama Daredevil: Born Again, Muse sepertri diposisikan sebagai villain yang akan memiliki peran integral dalam grand conflict di kota New York. Namun, karakternya justru berakhir seperti villain of the week ala serial superhero CW, dengan endingnya yang seadanya (anti-klimaks), dan hal bagus yang bisa diambil dari keberadaanya hanya perkelahiannya dengan Daredevil dan pandangannya soal “Mask” tadi.
Kekurangan itu membuat Daredevil: Born Again gagal mencapai potensinya terbaiknya walaupun tidak bisa dikatakan buruk. Kisahnya tetap koheren dari awal hingga akhir, namun tidak serapih Daredevil musim pertama dan ketiga di Netflix yang benar-benar #chefkiss walau dibuat dengan budget murah. Heck, saya pun masih menempatkan Daredevil musim pertama sebagai “The Dark Knight”-nya Marvel Studios. Setidaknya, musim pertama serial ini diakhiri apik dengan ending yang, arguably, Infinity War kelas Kotamadya. Semoga di-address di Thunderbolts dan Spider-Man: Brand New Day juga