Tahun 2023 ditandai dengan merosotnya pendapatan film-film bergenre superhero. Superhero DC bisa dikatakan paling apes, dimana rilisan dari rumah superhero populer seperti Superman dan Batman justru tidak menjadi box office. Sedangkan tandingan mereka, Marvel, mengalami penurunan pendapatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Untuk film superhero Indonesia, nasibnya justru lebih tragis.
Banyak sekali penyebab menurunnya genre superhero di tahun 2023. Mulai dari tingkat kejenuhan diantara fans, rilisan genre non-superhero dari sutradara acclaimed, hingga dinamika sosial politik yang rumit membuat studio-studio besar gagal mencapai target mereka. Kondisi-kondisi tersebut membuat para eksekutif produser memutar otak untuk menemukan (kembali) formula film superhero yang mampu menarik kembali penonton.
Memasuki tahun 2024, beberapa judul telah dikonfirmasi dirilis tahun ini seperti Madame Web dan Kraven the Hunter. Deadpool dan Venom pun kembali dengan sekuel mereka. Akan tetapi, jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan judul film superhero tahum lalu. Melihat fenomena ini, tentu menarik untuk mengetahui bagaimana prospek para pahlawan berkostum dapat menarik uang kita (penonton) ke kantong para kapitalis Hollywood tahun ini.
2024: Newcomer vs Comeback Para Superhero
Dari empat judul yang telah dipastikan untuk dirilis tahun ini, dua judul pertama mungkin terkesan asing bagi para penonton. Bagi para penggemar berat sosok Spider-man dan komik Marvel, mungkin tidak asing dengan sosok Madame Web (salah satu sekutu Spidey) atau Kraven yang dikenal sebagai salah satu villain terberat. Namun, bagi para penonton biasa, kedua sosok tersebut masih asing di telinga karena belum pernah muncul (atau disebutkan) di sembilan film Spider-man sebelumnya (belum termasuk Spider-verse).
Sebaliknya, sosok Deadpool dan Venom jauh lebih populer berkat capaian box office sebelumnya dan telah diperkenalkan di beberapa film-film dengan judul berbeda. Hal ini jelas membantu promosi film selanjutnya dimana para penonton tidak perlu diperkenalkan kembali dengan karakternya, mengingat keduanya adalah sosok anti-hero yang memiliki nilai-nilai non-superhero. Jelas hal ini membuat penonton tidak kaget lagi dengan cerita dan tampilan filmnya.
Menariknya, tiga dari empat judul tersebut berasal dari studio Sony namun dari karakter milik Marvel. Ketiganya juga memiliki peran berbeda dalam busur cerita Spiderman antara partner hingga villain. Karakter Deadpool juga berkolaborasi dengan salah satu superhero paling terkenal, yaitu Wolverine. Hal ini membuat judul-judul tersebut semakin menarik untuk ditonton. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana judul-judul tersebut menarik untuk membuat kita ke bioskop?
Tantangan dari dua judul newcomer adalah belum ditemukannya formula baru di tengah fenomena yang disebut superhero fatigue. Berbeda dengan kondisi ketika Batman-nya Tim Burton atau Iron Man karya Jon Favreau yang dirilis di tengah ketidakpastian genre superhero, Madame Web dan Kraven harus menghadapi penonton yang jenuh akan adaptasi komik superhero yang makin luas. Tanpa inovasi dalam promosi ataupun cerita yang bagus untuk memperkenalkan karakter tituler, maka masa depan genre superhero akan semakin suram.
Chto delat’? (Apa yang harus dilakukan untuk Film Superhero?)
Sebagaimana judul subb-ab ini yang diambil dari judul novel Dostoyevsky, tantangan yang dihadapi industri genre superhero semakin kompleks karena berkaitan dengan selera konsumen. Dalam bukunya berjudul Multiplicity and Cultural Representation in Transmedia Storytelling: Superhero Narratives, Natalie Underberg-Goode menghubungkan tren ini dengan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender dan ras diantara penonton. Pemikiran ini dapat ditarik lurus hingga ke arah perspektif postkolonialisme seiring dengan globalisasi di abad ke-21.
Kondisi tersebut dapat ditelusuri pada rendahnya representasi minoritas yang masih menjadi tantangan dalam industri Hollywood. Hal ini turut berkorelasi dengan kurangnya studi mengenai pengaruh representasi dalam film terhadap perspektif penonton. Ketika penonton tidak menemukan representasi kelompok mereka, hal ini mengarah pada menurunnya ketertarikan penonton untuk menyaksikan produk film dan kemudian berdampak pada potensi box office.
Meskipun saat ini representasi kelompok minoritas terus meningkat, namun intregrasinya dalam genre adaptasi komik masih menjadi tantangan besar mengingat perlunya pertimbangan para penggemar komik yang juga ingin melihat sosok idola mereka sekontekstual mungkin. Konflik ini kemudian membuat studio perlu merumuskan formula baru untuk menarik kembali penonton. Beberapa film yang telah mengikuti resep ini seperti Black Panther menghasilkan pundi-pundi dollar sekaligus berbagai penghargaan. Hanya saja, tidak semua superhero memiliki cerita serepresentatif serupa sehingga masih menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis film superhero.
Selain dari faktor dalam industri, tahun 2023 juga bisa dibilang merupakan tahun yang cukup bergejolak dalam industri Hollywood. Dinamika politik industri pada pertengahan tahun seperti mogok kerja Screen Actors Guild (SAG-AFTRA) jelas mempengaruhi promosi beberapa judul film sehingga pendapatan dari bioskop menjadi seret. Ditambah dengan meningkatnya industri streaming sebagai alternatif hiburan kemudian turut berdampak dengan menurunnya pendapatan box office. Tanpa strategi pemasaran yang tepat, maka hanya perlu menunggu waktu saja hingga akhirnya gegap gempita film superhero meredup, kecuali bila genre superhero bisa merubah diri mereka seperti kata James Joyce,
“Better pass boldly into that other world, in the full glory of some passion, than fade and wither dismally with age”.