Marvel Cinematic Universe alias MCU yang sekarang sudah berbeda dari yang dulu. Hilang sudah MCU yang terkenal lincah dan bisa menelurkan film-film tomat segar secara beruntun. MCU yang itu telah digantikan sosok yang gemuk. Saking gemuknya, sampai jalan pun gak jelas mau ke mana.
Ini bukan hiperbola, semua berangkat dari data. MCU telah bergeser dari quality first menjadi quantity first. Jika kita bicara title yang sudah dicap under MCU, sejak fase 2 jumlah lini MCU terus bertambah. Pada fase 1 dan 2 hanya ada 6 title under MCU.
Lonjakan terasa di fase 3. Di fase tersebut ada 11 title under MCU, dimulai oleh Captain America: Civil War, ditutup oleh Spider-man: Far From Home. Puncaknya di fase 4 dengan total 17 title under MCU, gabungan film dan serial. Serial lah yang membuat MCU kian gemuk. Akar masalahnya tak lain dan tak bukan adalah Disney+.
Dirilis ke publik pada tahun 2019, Disney+ adalah upaya Walt Disney Company untuk menggeser dominasi Netflix di pasar streaming service. Untuk menunjukkan keseriusannya, Disney tak tanggung-tanggung mengakuisi perpustakaan IP 21st Century Fox, yang dulu dimiliki Rupert Murdoch, pada 2017.
Akuisisi tersebut memberi Disney akses ke lisensi X-Men dan Fantastic 4 yang selama ini dikuasai Fox. Ditambah kerjasama dengan Sony untuk berbagi lisensi Spider-Man, lengkap sudah amunisi Disney dari sisi Marvel untuk melawan Netflix.
Dalam global streaming war, harus diakui CONTENT IS KING. Siapa yang memiliki konten paling banyak dan variatif, dialah yang menang. Hal itu berlaku di banyak negara, termasuk Indonesia. Mengutip Gen Z’s Digital Media Consumption Activities Report 2021 dari UMN Consulting, Content adalah pertimbangan pertama sebelum berlangganan streaming service. Persentasenya, kurang lebih, 39,7%.
Merespon hal tersebut, Disney menggenjot produksi kontennya. Dikutip dari The Guardian, mereka memasang target sebagai streaming service nomor 1 di dunia plus profit per 2024. Segala IP yang mereka punya diberdayakan, mulai dari Pixar, Star Wars, hingga Marvel dengan MCU-nya.
Semua mengalami lonjakan konten. Dari IP Star Wars, misalnya, rilis The Mandalorian, Tales of The Jedi, Bad Batch, A Book of Boba Fett, Obi-Wan, hingga Andor yang brillian itu. Namun, lonjakan terbesar, seperti dikatakan di atas, adalah Marvel Studios. Dari 11 menjadi 17 konten.
Penambahan konten terbesar dari sisi serial dan short feature. Total ada 10 dengan rincian 8 serial dan 2 short feature. Kedelapan serial itu adalah Wandavision, The Falcon & The Winter Soldier, Loki, What If?, Hawkeye, Moon Knight, Ms. Marvel, dan She Hulk. Sementara 2 short feature adalah Werewolf By Night dan Guardians of The Galaxy: Holiday Special.
Sebagian besar serial tersebut mendapat resepsi hangat dari kritikus maupun penonton. Beberapa di antaranya bahkan sudah dipastikan diperpanjang ke musim kedua, seperti What If dan Loki yang telah di-tease di ujung Ant-Man and The Wasp: Quantumania. Namun, ketika judul-judul itu digabungkan dengan film, baru terasa betapa ribetnya MCU sekarang.
Mengandalkan prinsip Transmedia Storytelling (akan dibahas lebih detil di lain waktu) atau penceritaan lintas medium, koherensi dan interkonektivtas menjadi jualan utama MCU selama ini. “EVERYTHING IS CONNECTED”. Begitu kata mereka. Walhasil, ketika serial-serial Disney+ diumumkan, Marvel Studios menjanjikan “everything is connected” itu masih berlaku.
Ketika MCU masih kurus-kurusnya, “everything is connected” itu masih nyaman diikuti. Tiap cerita juga masih kuat berdiri sendiri, tampil menonjol, tanpa mengkhianati hubungan dengan cerita lainnya. Namun, ketika MCU segemuk sekarang, “everything is connected” menjadi beban. Tidak hanya bagi penonton, tapi juga untuk MCU itu sendiri.
Dengan kuantitas begitu banyak, produksi kian mepet terhadap satu sama lain. Cerita dibuat sesederhana mungkin untuk mempermudah produksi dan menjaga interkonektivitas. Hal itu diperparah dengan budget yang disebar ke berbagai project, membuat beberapa title MCU sekarang memiliki visulisasi (dan tak jarang cerita) setengah matang. Masih ingat visulisasi Agnes di Thor: Love and Thunder yang sampai diperbaiki lagi untuk versi Disney+ nya?
Keluhan-keluhan soal produksi MCU bukan rahasia umum lagi. Berbagai pelaku industri VFX sudah menyuarakan kritik dan kegelisahan mereka, meski dalam status anonim mengingat betapa ketatnya Non Disclosure Agreement (NDA) Marvel. Mereka kerap harus berpindah dari satu proyek MCU ke proyek lainnya tanpa waktu memadai karena padatnya jadwal rilis.
“Mereka klien yang buruk. Dan saya sudah melihat terlalu banyak kolega berjatuhan karena overwork, sementara Marvel mengetatkan budget produksinya (untuk berbagai title),” ujar salah satu pekerja VFX yang tak ingin disebutkan namanya, dikutip dari screenrant.
Di sisi lain, situasi tersebut juga membuat title-title MCU lebih seperti episode dibanding title yang mampu berdiri sendiri. Ketinggalan 1-2 “episode”, buyar semua, hanya bisa “hah heh hoh?” sepanjang cerita. Bisa membayangkan mengikuti Dr Strange and The Multiverse of Madness tanpa menonton Wandavision?
Tidak salah ketika ada yang mengatakan, setiap title MCU sekarang sepertinya harus diikuti dengan pembukan “Previously on MCU”. Interkonektivitas yang menjadi nilai lebih sekarang menjadi nilai negatif. MCU menjadi tindak lincah bergerak untuk menawarkan cerita (dan spectacle) bermutu ke penonton dan kuat berdiri sendiri.
Padahal, jika memahami prinsip Transmedia Storytelling sebagaimana dijelaskan akademisi komunikasi, jurnalistik, dan sinematik Henry Jenkins di buku Convergence Culture, kekuatan prinsip itu bukan pada interkonektivitas saja, tapi kemampuan untuk berdiri sendiri.
Jenkins, yang merupakan pengajar di USC Annenberg, mengatakan produk transmedia storytelling yang ideal adalah ketika audience bisa masuk dari cerita manapun dan tetap bisa menikmatinya sebagai cerita yang berdiri sendiri ataupun bagian dari cerita yang lebih besar.
Kuantitas bayak, visualisasi dan cerita setengah matang, plus kewajiban mengikuti semua title untuk bisa memahami apa yang ditawarkan pada akhirnya berujung ke turunnya rating title-title MCU beberapa waktu terakhir. Bahkan, sudah ada dua film yang mendapat rating buruk di situs agregator Rotten Tomatoes, Eternals (47%) dan Ant-Man and The Wasp: Quantumania (48%).
Sebagai tambahan, untuk film saja (dan tidak memperhitungkan jumlah), nilai rata-rata rating Rotten Tomatoes MCU di fase 4 anjlok. Pada fase 1, nilai rata-rata Rotten Tomatoes MCU adalah 80,33%. Di fase 2, angka tersebut naik ke 80,5% dan mencapai puncaknya di fase 3 dengan nilai 89,2%. Pada fase 4, angkanya turun ke 76%
Jika kondisi sekarang dipertahankan, MCU berpotensi mati. Ibarat figur yang obesitas, MCU yang sekarang memiliki berbagai “penyakit” yang menjalar ke mana-mana dan mempersulit geraknya.
Market film superhero yang kian saturated bisa memperburuk kondisi tersebut, apalagi Warner Bros masih berusaha untuk mengejar ketinggalan dari Disney perihal superhero-superheroan. Perubahan perlu dilakukan dan segera.
Walt Disney Company, untungnya, cepat sadar. Begitu Bob Iger kembali ke kursi CEO Walt Disney menggantikan Bob Chapek, yang mungkin ‘kechapekan’, ia menegaskan bahwa kualitas akan menjadi fokus utamanya dan pengawasan ketat akan dilakukan untuk memastikan budget dan kualitas sebanding.
“Kami akan lebih teliti, tidak hanya terhadap Marvel, tapi juga terhadap divisi-divisi lainnya. Keuangan yang sehat penting dan budget akan diatur sedemikian rupa,” ujar Iger, dikutip dari The Hollywood Reporter.
Pernyataan Iger kontras dengan pernyataan Kevin Feige pada San Diego Comic Con tahun lalu. Pada event itu, Kevin Feige memperkenalkan lini serial baru Disney+, Loki season 2, What If? Season 2, Echo, Ironheart, dan Agatha: Coven of Chaos. Semua untuk tahun 2023. Kabar terbaru, Marvel menarik rem darurat dan hanya dua serial yang statusnya aman tahun ini, Loki Season 2 dan Secret Invasion.
“Frekuensi kami dalam merilis serial di Disney+ akan berubah,” ucap Kevin Feige di Entertainment Weekly.
Apakah MCU masih bisa diselamatkan? Jelas bisa. Kondisi Disney+ yang kian populer berkat konten melimpah dan biaya langganan murah, memberi Marvel Studios sedikit ruang nafas untuk bereksperimen dan meninjau kembali line upnya. Keberadaan Disney+ sendiri juga bukan hal buruk karena memperluas akses ke berbagai konten yang selama ini tidak disadari keadaannya.
Semoga saja MCU bisa kembali memperlihatkan konsistensi mereka selama fase 3 atau itu akan selamanya dikenang sebagai puncaknya MCU.