Disclaimer: Sebelum menonton The Marvels, penulis bias akan beberapa hal: pertama, penulis sangat mencintai sosok Kamala Khan AKA Ms. Marvel. Call it a cultural and religion connection (and also she’s simply cute af); Kedua, penulis adalah seorang cat person. Jadi kehadiran Goose The Flerken is already a plus. Apapun yang terjadi, The Marvels akan terlihat bagus dimata penulis. With that out of the way let’s start the review.
Marvel Studios sedang krisis. Selain masalah SAG-AFTRA dan aktor Kang yang problematik, karya-karya mereka post-Endgame kurang mengigit dan bisa dikatakan jelek. Menonton film MCU tidak lagi menjadi sebuah hajatan besar nan megah.
Blame it on superhero genre fatigue. Tapi, yang jelas, menonton film MCU sekarang sudah mulai bikin pusing dan bloated. Simpel saja, untuk menonton film ke-33 besutan Marvel Studios ini saja PR penonton cukup banyak. Untuk mengerti filmnya dan tidak ngah-ngoh, penonton harus sudah sebelumnya menonton film Captain Marvel, 1 Season WandaVision dan 1 Season Ms. Marvel. Kurang lebih sekitar 12 jam yang harus diluangkan penonton untuk mengerti keseluruhan cerita The Marvels. Wow.
Tapi bagaimanakah dengan filmnya sendiri? Singkat cerita: it’s a fun film albeit one with caveats.
Problem utama ada pada durasi. Pada zaman film yang hampir semua 2 jam keatas (bahkan 3,5 jam) The Marvels clocked at a measly 1 hours and 45 minutes. Pendek? Iya. Karena durasinya yang pendek itu, plot The Marvels terbang cepat bak… Captain Marvel.
30 menit pertama kita disuguhkan sooooo many action and plot points sampai-sampai saat paruh kedua dimulai, kita baru bisa agak sedikit bernafas. Betul-betul tidak ada lagi yang namanya perkenalan karakter. Ada sedikit usaha untuk me-refresh cerita film Captain Marvel sebelumnya tapi untuk karakter Monica Rambeau dan Kamala Khan? Hehehe… good luck.
Namun di balik itu semua, The Marvels yang sat set sat set ini justru terasa lebih into the action dan terlihat seperti tidak buang-buang waktu. Dialognya short, smart and funny. Plus minus sih tapi overall setelah paruh kedua dimulai dan kita sudah mulai diberi ruang untuk mencerna apa yang terjadi 30 menit pertama, all’s good.
Chemistry antara 3 Marvels ini yang tentunya yang utama and the heart of it all? Obviously Kamala Khan. Obnoxious or not, hadirnya Kamala Khan membuat film ini menjadi lebih fun dan young. Tidak hanya Kamala, hadirnya keluarga Khan juga menambah kesan kekeluargaan yang jarang pada film MCU sebelumnya. Kamala is still a teenager afterall dan hadirnya keluarganya selain menambah stakes that superhero business is a live or death business.
Selain itu tektokan antara mereka, Nick Fury dan para Marvels juga cukup lucu dan sangat relateable dengan orang Indonesia, khususnya dan segala stereotip orang tua ketimuran.
Sisi action juga tidak kalah seru. Walaupun berdurasi pendek, sutradara Nia DaCosta mampu memperlihatkan superpower masing-masing Marvels dengan sangat baik dan balanced. Koreografinya bagus dengan camera angle yang tidak kalah sinematik.
Sayangnya, bagian di mana para Marvels switch places saat menggunakan kekuatan mereka is sadly inconsistent at best. Cuma tergantung plotnya saja dan cukup membingungkan cara kerjanya. How they got to be like that aja penulis sampai sekarang masih belum paham.
All in all agar tidak terlalu banyak memberi spoiler, kita tutup review ini dengan summary singkat.
The Marvels adalah film yang plotnya bergerak cukup sat-set-sat-set tanpa memberi ruang gerak penonton untuk mencerna pada paruh awalnya. Setelah plotnya agak sedikit melambat this film shines. Masih tipikal superhero genre flicks yang bak wahana tapi setidaknya wahana yang ini cukup fun dan lucu.
Kamala Khan (dan keluarganya) menjadi highlight utama film ini. Untuk para cat lovers film ini juga patut ditonton karena akan ada scene yang bikin kalian go awwwwwwww. Sayangnya untuk dapat mencerna keseluruhan film ini seutuhnya, butuh mengerjakan PR yang durasinya tidak singkat. Gak semua orang punya waktu itu Marvel.