Setelah kesuksesan dua seri Pengabdi Setan, sutradara Joko Anwar kembali meluncurkan film horor terbarunya yang berjudul “Siksa Kubur”. Film ini diproduksi oleh rumah produksi Come and See Pictures dan dijadwalkan tayang di bioskop mulai 11 April 2024, bertepatan dengan momen lebaran.
Menariknya, Siksa Kubur adalah film horor religi pertama dari Joko Anwar lho! Dan FYI, film ini mengambil inspirasi dari konsep siksa kubur dalam ajaran agama Islam. Jokan (sapaan akrab Joko Anwar) sendiri menyatakan bahwa cerita ini telah menginspirasinya sejak lama, bahkan ia pernah menggarapnya menjadi film pendek pada tahun 2012 lalu dengan judul “Grave Torture“.
Dengan tagline “Anda Akan Percaya”, film ini mengeksplorasi pertanyaan fundamental tentang eksistensi siksa kubur. Apakah segala dosa dan tindakan yang kita lakukan di dunia ini akan mendapatkan balasannya di alam kubur? Pertanyaan inilah yang menjadi fokus utama yang menggerakkan alur cerita dalam film tersebut.
Film Siksa Kubur mengisahkan tentang Sita (Faradina Mufti) yang bertekad membuktikan bahwa siksa kubur tidaklah nyata dan bahwa agama hanyalah ilusi, terutama setelah kedua orang tuanya meninggal akibat bom bunuh diri. Sita berusaha membuktikan pandangannya ini dengan mencari seseorang yang dianggap paling berdosa.
Dia berencana untuk menyaksikan sendiri bagaimana individu tersebut menghadapi akhir hidupnya dan kemudian dia sendiri akan masuk ke dalam kubur bersamanya untuk menguji kebenaran dari keyakinannya. Namun, tindakan Sita ini justru memicu konsekuensi besar yang mengarah pada terjadinya kejadian-kejadian mengerikan.
Premis yang diangkat tentunya terdengar sangat menarik dan berbeda dari kebanyakan film horor Indonesia yang ada. Jajaran pemainnya pun luar biasa yang terdiri dari aktor dan aktris papan atas Indonesia, seperti Faradina Mufti, Reza Rahadian, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Arswendy Beningswara, Niniek L. Karim, Happy Salma, Fachri Albar, Putri Ayudya, dan masih banyak lagi.
Terlebih, Siksa Kubur juga digadang-gadang sebagai film interaktif yang akan melibatkan penonton dalam alur ceritanya. Setelah menontonnya, penonton diharapkan akan membentuk interpretasi mereka sendiri, yang kemudian dapat menjadi topik diskusi menarik. Itulah sebagian dari alasan-alasan mengapa film ini begitu dinantikan oleh para penggemar perfilman Indonesia, termasuk penulis.
Namun, sayangnya, setelah ditonton, film Siksa Kubur malah gagal memenuhi ekspektasi penulis. Tidak jelek, tapi hanya tidak maksimal dalam mengeksekusinya. Kritik terutama ditujukan pada alur ceritanya, yang menurut penulis terlalu bertele-tele. Kemudian, saat ada penyampaian narasi melalui dialog, terkadang kurang jelas dan terkesan terburu-buru. Hal itu menyebabkan beberapa momen di mana penulis merasa ‘lost‘ dalam menyimak penyampaian cerita yang disajikan.
Kelemahan selanjutnya terletak pada pengaturan setting beberapa tempat yang terasa kurang ‘hidup’. Fokus tampaknya terlalu terpaku pada objek dan atmosfer yang menakutkan, sehingga mengabaikan subjek-subjek yang sebenarnya penting untuk menciptakan suasana dan kondisi nyata, seperti kehadiran orang-orang dan aktivitas sehari-hari.
Hal ini dapat terlihat dari beberapa adegan di panti jompo, kuburan, dan kotanya yang menurut penulis seharusnya ditonjolkan lebih dalam. Terutama, karena babak akhir dari film ini mencerminkan masyarakat yang terjebak dalam kekacauan setelah terpapar rekaman suara dari siksa kubur. Sepertinya Jokan kurang memikirkan hal ini secara detail dan terlalu mengutamakan aspek horor yang mampu memberikan rasa takut kepada penonton.
Selain itu, sosok roh jahat dalam film ini dianggap kurang menyeramkan dan bahkan terkesan seperti karakter iblis ala anime (kartun jepang) horor. Keberadaannya terasa tidak cukup mengesankan, padahal seharusnya dapat dibuat lebih menakutkan. Sehingga setelah penonton selesai menontonnya, sosok tersebut akan masih terbayang-bayang di benak mereka dan terus menghantui pikirannya. Ya kurang lebih seperti si-Ibu lah di film Pengabdi Setan.
Namun di luar kelemahan-kelemahan itu semua, Siksa Kubur tetap layak diapresiasi sebagai sebuah film horor lokal yang memghibur. Banyak adegan-adegan menyeramkan di film ini yang hadir tidak via jumpscare, tapi lewat treatment yang berbeda, yang mengedepankan unsur penokohan. Hal ini bertolak belakang dengan film Jokan sebelumnya, Pengabdi Setan 2, yang cenderung mengutamakan adanya jumpscare, di mana penonton seperti dibawa masuk ke wahana rumah hantu.
Adanya variasi dalam genre horor lokal ini bagus pastinya untuk memberikan pengalaman berbeda kepada para penonton. Adegan seram pada film ini pada dasarnya dikuatkan oleh tiga unsur utama, yaitu sinematografi, scoring, dan akting. Ketiganya dieksekusi dengan baik hingga mampu menciptakan atmosfer yang mencekam serta membuat penonton merasa tidak nyaman selama menontonnya.
Mengenai sinematografi, penulis menilai banyak pemilihan shot dan angle yang cerdas, didukung oleh pengaturan cahaya yang tepat. Gerakan kameranya pun juga terasa pas. Bahkan untuk meningkatkan kengerian, beberapa elemen dalam film ini berhasil secara konsisten menggunakan efek praktikal, meskipun ada juga yang menggunakan CGI seperti pada adegan ular berkepala tujuh. Untungnya, penggunaan CGI-nya terlihat keren dan tidak murahan.
Score musiknya juga mampu dimanfaatkan dengan baik sebagai bagian integral dari cerita. Melalui komposisinya, film ini berhasil membuat detak jantung penulis berdetak lebih cepat dan bahkan memicu reaksi jeritan dalam beberapa adegan. Scoring pada film ini bisa dibilang memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan rasa takut yang mendalam pada penonton. Salah satu contohnya adalah ketika adegan Sita di terowongan dan dalam kubur.
Lalu dari segi akting, terdapat tiga aktor yang menarik perhatian penulis sepanjang film, yaitu Faradina Mufti, Reza Rahadian, dan Slamet Rahardjo. Mereka terlihat sangat totalitas dalam memerankan karakternya masing-masing. Segala emosi dan ekspresi berhasil ditampilkan dengan sempurna, yang membuat penulis merasa terhubung dan memahami perasaan dari perspektif masing-masing karakter.
Jujur menurut penulis film ini sangat terbantu oleh para pemerannya. Perlu diketahui bahwa pujian utama yang penulis lontarkan untuk film ini adalah castingnya yang sangat amat bagus. Akting dari para pemain mampu menjadi paket pelengkap untuk menciptakan adegan yang intens dan menyeramkan. Semua karakter penting disini bahkan memiliki screen time yang seimbang, sehingga mereka dapat dikatakan ikut berkontribusi dalam membangun cerita secara keseluruhan.
Mengakhiri ulasan ini, secara keseluruhan Siksa Kubur adalah film yang layak ditonton meskipun memiliki beberapa kekurangan. Sinematografi, scoring, dan terutama akting berhasil mengangkat kualitas film ini dan mencegahnya dari mendapatkan review yang buruk. Intinya, Siksa Kubur bukanlah film yang buruk. Penulis hanya merasa film ini tidak memaksimalkan potensinya yang secara ide luar biasa menakutkannya. Pada akhirnya, eksekusi dari film horor Indonesia masih sering kali menjadi masalah utama yang perlu diperhatikan.