Setelah diputar di Toronto International Film Festival (TIFF) 2024 dan dirilis lebih dulu di Amerika Serikat pada 11 Oktober 2024, We Live in Time, film drama romantis terbaru dari rumah produksi A24, akhirnya resmi tayang di bioskop Indonesia pada 22 November 2024.
Disutradarai oleh John Crowley dengan skenario karya Nick Payne, We Live in Time mengeksplorasi kisah cinta yang rumit dan penuh drama antara Almut (Florence Pugh) dan Tobias (Andrew Garfield). Cerita berfokus pada Almut, seorang koki yang didiagnosis kanker ovarium stadium tiga dan memilih fokus menikmati sisa hidupnya bersama Tobias daripada menjalani kemoterapi.
Setelah menerima diagnosis tersebut, Almut mulai mempertimbangkan untuk memiliki anak dan mereka pun akhirnya memutuskan untuk membesarkan seorang anak perempuan. Di saat bersamaan, Almut tetap fokus pada karir kulinernya dan mempersiapkan diri untuk kompetisi besar. Pada awalnya, Almut dan Tobias yakin mereka bisa melewati semuanya dengan lancar. Namun, berbagai ujian datang akibat penyakit yang diderita Almut.
Film ini pada dasarnya menggunakan teknik penceritaan non-linier. Bergerak antara kenangan masa lalu dan kejadian saat ini, menggali cerita tentang bagaimana mereka bertemu secara tak terduga dan berbagai rintangan yang mereka hadapi sebagai pasangan dan keluarga. Ibarat puzzle, We Live In Time mengajak penonton untuk menyusun rangkaian cerita berdasarkan peristiwa di masa lalu dan masa kini.
Di atas kertas, konsep kisah asmara lintas waktu ini mungkin terdengar keren. Namun, sejatinya sudah cukup sering digunakan dan We Live In Time tidak menawarkan hal yang sepenuhnya distinctive dalam hal Storytelling. Hal tersebut gagal membuat kisah We Live In Time menonjol atau mudah diingat. Untungnya, kekurangan itu ditutupi akting Andrew dan Florence yang akan kita bahas lebih lanjut di bawah.
Dari kedua karakter utama, karakter Almut yang diperankan Florence Pugh yang paling menonjol. Ada beberapa aspek yang menarik menurut penulis, seperti penggambaran karakter Almut yang unik dan kisah profesinya sebagai seorang chef, bagaimana ia terus melangkah maju meskipun didiagnosis kanker. Sepanjang film, penonton dapat melihat perjalanan Almut yang awalnya bercita-cita memiliki restoran, hingga akhirnya menjadi kepala koki di sebuah restoran bintang Michelin dan mendaftarkan diri ke Global Chef Competition untuk mewakili Inggris.
Dalam perjalanan karirinya, itu, Almut tidak hanya memilki Tobias, tetapi juga Jade, yang diperankan oleh Lee Braithwaite. Hubungan Almut dan Jade yang berkembang dari rekan kerja menjadi sahabat yang saling mendukung, memberi warna hangat dalam film ini. Bisa dikatakan ambisi dan tekad Almut menambah kedalaman karakternya, menjadikannya sosok yang tidak hanya didefinisikan oleh penyakit atau hubungannya.
Namun, perlu, dicatat bahwa alur cerita film ini bergerak cukup lambat. Banyak dialog sepanjang film yang mungkin akan membuat sebagian penonton merasa bosan. Alurnya pun juga maju-mundur. Harus diakui penulis cukup sulit mengikuti perjalanan ceritanya di awal karena tidak ada perbedaan yang jelas antara waktu-waktu tersebut.
Nah, let’s talk about the elephant in the room, chemisty dan akting Andrew Garfield dan Florence Pugh. Jujur saja, semenjak melihat daftar cast film ini, penulis sudah yakin bahwa kualitas akting tidak perlu diragukan. Siapa yang tidak mengenal Florence Pugh dan Andrew Garfield? Nama yang sudah dikenal bakat aktingnya di deretan film Hollywood ternama.
Tidak mengherankan jika banyak orang tertarik menonton film ini hanya karena kehadiran mereka sebagai pemeran utama. Tim marketing film ini sendiri cukup sadar dengan menaruh Florence dan Andrew front and center dalam promosinya, menekankan chemstiry mereka dibanding kisah filmnya sendiri yang gak bisa dikatakan unik.
Dan, benar saja, Florence Pugh dan Andrew Garfield sama-sama berhasil menampilkan performa yang luar biasa. Chemistry di antara mereka sangat kuat, sehingga kisah romansa mereka terasa begitu nyata. Seakan-akan, mereka memang dua orang yang ditakdirkan untuk saling jatuh cinta dan membangun kehidupan bersama.
Dialog dan situasi dalam film ini pun terasa alami dan tidak berlebihan. Setiap karakter bertindak sesuai dengan keadaan, menciptakan interaksi yang lebih realistis, sehingga penonton bisa lebih mudah terhubung dengan cerita dan karakter-karakternya. Semua ini terlihat benar-benar disesuaikan dengan kemampuan akting kedua pemain utama, yang semakin memperkuat keaslian alur cerita.
Bahkan dari segi visualnya pun juga ikut membantu memaksimalkan akting Florence Pugh dan Andrew Garfield. Beberapa kali close-up shots digunakan pada wajah keduanya untuk benar-benar menonjolkan ekspresinya secara detail. Teknik ini biasanya dilakukan untuk memperkuat emosi yang ingin disampaikan dalam setiap adegannya, yang memungkinkan penonton untuk merasakan kedalaman perasaan para karakter, memperkaya pengalaman menonton dan membuat interaksi antar karakter tersebut terasa lebih intens dan personal.
Selain itu, musik dalam film ini juga sangat efektif dalam memperkuat suasana, terutama pada momen-momen emosional. Setiap adegan menjadi lebih terasa dan mendalam. Bisa dibilang, film ini berhasil mengaduk berbagai emosi penonton. Kadang membuat tersenyum, terkadang membuat tertawa terbahak-bahak, dan di saat lain bisa juga membuat menangis. Apalagi ending filmnya, yang sangat emosional sampai membuat penulis meneteskan air mata.
Mengakhiri review ini, secara keseluruhan film We Live in Time memberikan pengalaman emosional yang lengkap. Meskipun konsep ceritanya tidak terbilang unik, kehadiran Florence Pugh dan Andrew Garfield membuat film ini sangat patut untuk ditonton. Terlebih lagi, eksekusi romansa mereka yang mendalam, ditambah dengan perjalanan karir karakter Almut yang menarik, memberikan sentuhan spesial pada film ini. Namun sekedar mengingatkan, pastikan kalian menyiapkan tisu saat menontonnya.