Monster adalah sebuah observasi terhadap sisi gelap manusia. Tatkala sisi tersebut muncul ke permukaan, sisi itu pula yang menjadikan manusia sebagai makhluk dinamis dengan segala ketidakpastiannya. Sisi yang kerap menuai tudingan monster dari manusia-manusia lainnya.
Mengawali adegan pembuka dengan title card berlatarkan kobaran api, Monster seolah memberi penegasan, “inilah wujud luapan emosi manusia kala bertransformasi ke sisi gelapnya”. Berkobar-kobar dan meluluhlantakkan semua yang ada di sekelilingnya. Kelak, title card ini pula yang menjadi titik mula ketika filmnya berganti sudut pandang sebanyak tiga kali.
Adalah Minato Mugino (Soya Kurokawa) yang menjadi poros cerita. Ia hidup bersama ibunya, Saori Mugino (Sakura Ando), dan menyimpan duka masa lalu akan kepergian sang ayah. Duka itulah yang membentuknya menjadi sosok tertutup nan misterius.
Suatu ketika, Minato mendapati dirinya terkena masalah karena selalu pulang dengan tubuh penuh lebam. Ia berkelit, menjelaskan semua itu hasil dari hukuman gurunya di sekolah, Michitoshi Hori (Eita Nagayama). Alhasil masalah makin meruncing, lalu sang ibu pergi ke sekolah guna mencari penjelasan dari pihak yang bertanggungjawab.
Pertemuan antara para guru dan Saori inilah yang melahirkan adanya tiga sudut pandang. Sebab, masalahnya begitu kompleks. Hori, sebagai guru, tentu saja yang paling gencar menerima tudingan. Namun, ia sendiri menyebut Minato adalah sosok bermasalah yang kerap melakukan bullying terhadap teman sekelasnya. Berawal dari situlah Monster menelanjangi tiga karakter utamanya, Minato, Saori, dan Hori.
Meski disampaikan dalam tiga babak penceritaan dibalut tiga sudut pandang berbeda, Monster sukses menghindari kebingungan yang kerap menjadi efek samping dari teknik Rashomon Effect ini. Semua sudut pandangnya solid, berisi argumentasi meyakinkan, dan menghasilkan perspektif baru sebagai bahan refleksi diri. Siapa monsternya?
Tiga sudut pandang ini ampuh untuk mempermainkan emosi penonton. Kita dibuat untuk mempercayai salah satunya, lalu mengetuk palu bersalah pada satu lainnya selaku hakim netral. Tatkala sudut pandangnya berpindah, kita dipenuhi dilema karena ketiganya juga bukan sosok yang sepenuhnya tidak bersalah. Lagi-lagi, siapa monsternya?
Minato, Saori, dan Hori adalah korban dari perspektif moral yang dihasilkan oleh nilai pandang masyarakat. Nilai pandang itu dipengaruhi oleh rumor, fisik, dan masa lalu. Tiap kali ketiganya melangkah, tudingan bertubi-tubi selalu mendera. Manusia selalu mudah memberi cap monster kepada siapapun yang terlihat berbeda, padahal tak ada yang tahu siapa monsternya.
Hirokazu Kore-eda sebagai sutradara juga piawai menerapkan kredo “show don’t tell”. Filmnya tak perlu cerewet menjelaskan banyak hal, cukup visual saja yang berbicara. Segala tindak-tanduk karakternya yang menyemai bibit kecurigaan juga disampaikan tanpa perlu banyak berbicara. Biarkan penonton yang menilai sendiri siapa monsternya.
Kore-eda turut menyentil berbagai aspek masyarakat yang gagal menjalankan tugasnya. Fenomena sekolah sebagaj institusi pendidikan yang lebih peduli pada akreditasi alih-alih murid adalah salah satunya. Ada pula sindiran terhadap masyarakat yang lebih gemar menciptakan stereotipe ketimbang merangkul perbedaan. Siapa monsternya?
Stereotipe itulah yang menghancurkan Minato secara perlahan kala ia menyadari adanya ikatan istimewa dengan teman sekelasnya, Yori Hoshikawa (Hinata Hiiragi). Dia terpaksa bersembunyi demi menghindari sterotipe, terpaksa memendam jati diri, lalu berujung melukai diri sendiri agar terhindar dari pertanyaan “siapa monsternya?”
Perjalanan Minato dan Yori melengkapi kepingan tiga sudut pandang yang pelik ini. Diiringi musik indah sebagai komposisi final gubahan mendiang Ryuichi Sakamoto, keduanya melepas dunia penuh monster, lalu berlarian bahagia melewati terowongan gelap sebagai proses menjemput cahaya keabadian.
Kita semua adalah monsternya.