Didaulat sebagai closing film di JAFF edisi ke-18, 13 Bom di Jakarta semestinya tampil meledak-ledak bak kembang api penanda usainya gemerlap pesta pora. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ledakannya tak bergerumuh, padam disiram kegagalan memenuhi ekspektasi.
Indonesia telah lama dijejali jajaran film berbahan dasar spektakel aksi. Keberagaman dan diferensiasi tontonan asli lokal turut membawa kebaruan, termasuk proyek terdahulu besutan Angga Dwimas Sasongko, Mencuri Raden Saleh. Sayangnya, alih-alih meneruskan kebaruan tersebut, Angga malah putar balik dan terperangkap dalam keklisean.
13 Bom di Jakarta gagal mengatrol kualitas yang telah ditetapkan film aksi lokal terdahulu. Jalinan cerita generiknya sangatlah 80-an sekali, di mana melupakan kekuatan sebuah plot dan lebih menitikberatkan aksi baku tembak repetitif yang injeksi intensitasnya berasal dari shaky camera movement tanpa henti. Mencatut nama “Jakarta” di judulnya pun juga sebuah kesiaan. Sebab, ia bisa diisi dengan nama apa saja karena latarnya tak mempengaruhi penceritaan.
Padahal di awal filmnya, 13 Bom di Jakarta sempat menyajikan kompleksitas isu sosial yang begitu masif. Filmnya dibuka dengan kisah kemiskinan struktural hingga korupsi yang sistemik. Naskahnya meluap-luap penuh kemarahan. Kita bisa dengan mudah ikut mengacungkan jari tengah pada kegagalan sistemik yang telah sekian lama menghinggapi bumi pertiwi.
Berkat naskahnya pula, aksi terorisme yang dilancarkan Arok (Rio Dewanto) bisa dijustifikasi. Kita tanpa sadar ikut bergabung menjadi aliansinya. Namun apakah dampak aksi terorisme ini juga semasif isu yang diperanginya? Nyatanya tidak. Huru-hara mencekam hanya muncul sebatas di ruang kantor Biro Intelijen. Tidak ada gambaran kepanikan yang melanda orang-orang di selasar jalan ibukota.
Hanya Damaskus (Rukman Rosardi), Karin (Putri Ayudya), dan Emil (Ganindra Bimo) yang terlecut karena aksi teror tersebut. Ketiganya merupakan pimpinan biro intelijen di masing-masing divisinya yang bertugas menangani segala kegiatan terorisme. Damaskus sebagai pimpinan perfeksionis, Karin yang ahli teknologi, dan Emil si tukang pukul adalah kekhasan karakter yang patut diapresiasi, sekaligus penebusan dosa karena film garapan Angga Dwimas Sasongko sebelumnya gagal menampilkan hal serupa.
Kemudian satu per satu bom diledakkan. Namun, lupakan saja tentang dentuman bom antiklimaks dan CGI mentahnya. Melihat adanya 13 bom tertanam di jantung ibukota tak melahirkan kekacauan yang tampak di depan mata. Jajaran anggota biro intelijennya minim urgensi karena tak diburu oleh detik-detik waktu. Benang merah penyelidikan juga diungkap dengan samar sebagai bentuk kemalasan naskahnya menampilkan investigasi.
Setelah beberapa aksi teror dilancarkan, para teroris meminta tebusan dalam bentuk bitcoin yang tidak jelas apa kegunaannya selain untuk menaruh product placement. Jumlah iklan berbalut eksposisi tentang crypto yang bertubi-tubi menyerang pun masih lebih banyak jumlahnya dibanding deretan bom yang diledakkan.
Dari berbagai polemik tentang crypto itulah muncul sebuah kontradiksi cerita. Para teroris digambarkan sangat menguasai teknologi, tapi mereka salah memahami bagaimana cara kerja crypto. Padahal crypto pula yang menjadi tujuan final mereka, yakni menciptakan dunia baru tanpa mata uang konvensional.
Kesalahpahaman itulah yang turut menempatkan peran duo dynamic pada sosok Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), dua orang pendiri perusahaan trading, di konflik ini. Mereka berdualah yang menjadi salah satu alasan Arok untuk membentuk sebuah grup terorisme. Sayang meskipun diplot sebagai duo dynamic, hanya Chicco Kurniawan yang berhasil menampilkan dinamika karakternya, sementara Ardhito Pramono mudah terlupakan kapan saja.
Di tengah pasangan duo dynamic tersebut hadirlah Agnes (Lutesha), rekan kerja sekaligus tunangan William. Seperti biasa, kualitas akting yang disajikan Lutesha sangat di atas rata-rata sehingga membayangi dua kawannya. Kalau bukan karena diperankan Lutesha, karakter Agnes hanya akan berakhir sebagai tunangan William yang tak jelas apa fungsinya.
Konflik pertama belum selesai, film ini memaksa hadirnya konflik-konflik bercabang demi kesan kompleksitas yang akhirnya malah membuat ceritanya penuh sesak. Entah konflik internal antar anggota biro intelijen, atau konflik antar sesama anggota teroris, semuanya tidak terjahit dengan rapi. Alhasil motivasi menjadi aspek penting yang dikorbankan karena ada keharusan memangkas durasi film demi alasan komersialisasi.
Semua karakter di film ini memiliki motivasi yang setipis kertas, hanya sebatas ucapan di bibir. Padahal hampir semuanya memiliki faktor kehilangan yang mampu menguatkan karakterisasi andai digali lebih dalam lagi. Aksi teror Arok memerangi kemapanan bahkan lebih efektif menggaet simpati dibanding sisi personalnya. Kita tak terkoneksi dengan pergulatan batin mereka, dilema mereka, dan segala keputusannya.
Ketiadaan ruang untuk menjalin emosi dengan penonton ini turut mempengaruhi twist di akhir cerita. Dibangun tanpa pondasi yang kokoh, hadirnya twist bak upaya sia-sia membangunkan penonton setelah tidur panjang di separuh durasi. Dengan segudang potensi dan jargon “film action terbesar Indonesia tahun ini”, ledakan 13 Bom di Jakarta hanya bergemuruh di kantor Pak Damaskus.