F1: The Movie menjadi upaya kesekian Liberty Media, pemilik lisensi F1, untuk memperkenalkan olahraga balap jet darat itu ke khalayak luas. Setelah sukses dengan (semi) dokumentar Drive to Survive di Netflix, yang mendramatisir internal tim f1 dan pembalapnya, F1: The Movie diciptakan untuk mendramatisir lebih jauh apa yang dirasakan tim dan pembalap tiap race weekend. And, boy of boy, film ini melebihi ekspektasi gw…in a good way.
Di tangan sutradara Top Gun Maverick, Joseph Kosinski, F1: The Movie is an audio visual and technical feast. Film ini tidak hanya berhasil menangkap ketegangan balap F1 dari angle yang lebih cinematic, tetapi juga menghadirkan sensasi duduk di kursi balap F1. Hal itu diperkuat dengan chemistry caset-nya yang likeable, terutama dari duo Brad Pitt dan Damson Idris yang di film ini berperan sebagai teammate Sonny Hayes dan Joshua Pearce.
Keduanya dikisahkan beradu untuk menetapkan siapa pembalap nomor 1 di tim f1 (fiktif) APXGp (dibaca: Apex GP). Bagi Sonny Hayes, yang bisa dikatakan uzur dengan usianya yang sudah menyentuh kepala 5, bergabung ke APXGp adalah kesempatan kedua baginya untuk kembali beraksi di kasta tertinggi balap single seater itu.

F1: The Movie (Source: Apple)
Terakhir membalap di F1 pada tahun 92, sebagai rookie untuk tim Camel Team Lotus, Sonny mendapati karir F1-nya hanya seumur jagung. Diirinya menderita kecelakaan hebat saat beradu dengan pembalap legendaris Ayrton Senna dari tim Honda Marlboro Mclaren. Hal itu memaksanya pensiun lebih awal dari F1 dan sejak saat itu menghabiskan hari-harinya dengan berjudi, main perempuan, dan mencoba berbagai bentuk balap mobil.
Dewi fortuna datang ketika mantan rekan Sonny di Lotus, Ruben Cervantes (Javier Bardem), menawarkannya posisi pembalap di APXGp, Di bawah manajemen Ruben selama 2,5 musim, APXGp selalu gagal mendulang point. Ia mendapat kesempatan satu tahun lagi, pada 2023, untuk membuktikan kepada para pemegang saham bahwa APXGp patut dipertahankan. Problemnya, musim balap 2023 hanya tersisa 9 balapan lagi.
Merekrut Sonny sebagai pembalap pengganti (yang ke-9) dan upgrade terbaru untuk mobil APXGp adalah harapan terakhir Ruben. Gayung bersambut, Sonny menerima tawaran tersebut, namun mendapat respon dingin dari calon teammatenya, Joshua Pearce. Mendapati Sonny tidak terlampau jauh darinya dalam hal lap time ketika sesi uji coba di sirkuti Silverstone, Inggris, Joshua memandanganya sebagai ancaman.

F1: The Movie (Source: Apple)
Naik kelas ke F1 dan digadang-gadangkan sebagai the Next Big Thing, Joshua Pearce merasa terjebak di APXGp. Pefroma APXGp yang tak kunjung membaik membuatnya khawatir akan kehilangan kesempatan untuk bergabung ke tim besar seperti Scuderia Ferrarri, Mclaren F1 Team, ataupun Red Bull Racing. Oleh karenanya, ketika Sonny datang, perform, dan mulai mengubah dinamika di tim, Joshua meradang.
Bagaimana F1 memperkenalkan kedua jagoannya begitu apik. Skill balap yang ditonjolkan lewat sajian audio visual yang langsung memnjakan indera penonton. Perkenalan Sonny Hayes, misalnya, dibuka dengan sesi balap endurance (jarak jauh) di Daytona 24 Hours. Tidak pakai lama, sutradara Joseph Kosinski langsung membawa kita melihat wheel to wheel yang brutal antara Sonny dan pembalap lainnya di mana ia diperlihatkan tidak ragu untuk membalap secara agresif, memanfaatkan segala gap yang ada, bahkan jika harus beradu badan sekalipun.
Bagaimana dengan Joshua? Ia diperkenalkan lewat sesi uji coba di Silverstone di mana dirinya mengendari upgrade terbaru mobil APXGp dan mencentak “Purple Sector” (catatan waktu tercapat) pada 2 dari 3 sektor di sirkuit bekas lanud angkatan udara Inggris itu. Memanfaatkan 15 kamera yang dipasangkan di mobil, Konsinski mengajak kita untuk merasakan langsung betapa kencangnya F1 dari berbagai angle. Hasilnya adalah sebuah scene yang bikin saya gak sadar sudah duduk di ujung kursi dari awal hingga akhir.

F1: The Movie (Source: Apple)
Kedua scene yang dijelaskan di atas baru appetizernya saja. Seiring berjalannya film, sajian balapan yang ditampilkan kian thrilling dengan highlight ada pada balapan di sirkuit legendaris Hungaroring (Hungaria), Monza (Italia), dan Yas Marina (Abu Dhabi). Di ketiga balapan, segala bentuk ketegangan yang biasa muncul di sesi balap F1 asli didramatisir berkali-kali lipat mulai dari sekedar saling salip menyalip, membalap di tengah hujan deras, adu strategi pit, hingga kecelakaan. Hasilnya sungguh the edge of your seat experience. Breathtaking dari awal hingg akhir.
Dalam menghadirkan ketegangan itu, terasa jelas gaya Konsinski ketika menyutradarai Top Gun: Maverick terbawa ke film ini. Penonton benar-benar dibawa serasa duduk di cockpit F1 dan melaju kencang bersama Sonny dan Johnny, meliuk-liuk baik di tikungan cepat ataupun lambat, beradu balap dengan sejumlah pembalap terbaik di dunia.
Ketika Sonny Hayes beradu balap dengan juara bertahan F1 dari tim Red Bull Racing, Max Verstappen, angle yang digunakan Konsinski membuat saya merasakan betul betapa mengerikannya ketika melihat Max mengekor di belakang atau bahkan sudah di samping mobil. Gaya membalapnya yang cerdik, jika tidak ingin dikatakan licik, membuat segala bentuk misjudgment bisa digunakannya untuk menyingkirkan lawan. Rasanya seperti ketika melihat F14 beradu dengan pesawat tempur generasi ke-5 di Top Gun Maverick.

F1: The Movie (Source: Apple)
Keberhasilan menghadirkan sensasi menaiki mobil F1 yang immersif itu tak lepas dari keputusan Konsinski dan producer Jerry Bruckheimer untuk menggunakan mobil balap sungguhan saat shooting, walau bukan mobil F1. Film ini menggunakan mobil F2 yang dimodifikasi menyerupai mobil F1 dengan bantuan AMG Mercedes Petronas F1 Team. Jadi, baik Brad maupun Damson sungguhan mengendari salah satu mobil terkencang di dunia ketika menjalani shooting F1: The Movie.
Immersion dari F1: The Movie tidak hanya hadir di sisi balapannya, tapi juga di luar balapannya. Untuk memperkenalkan dunia F1 ke publik luas, Konsinski sebanyak mungkin menshoot filmnya bersamaan dengan race weekend F1 sungguhan sepanjang musim 2023 dan 2024. Hasilnya adalah potret kegiatan F1 yang relatif komprehensif mulai dari aktivitas di paddock (area tim F1) hingga uji coba aerodinamika mobil F1 di wind tunnel.
Sayangnya, interaksi antara pembalap F1 di film ini begitu minum dan nyaris tanpa dialog. Hal itu membuat keberadaan APXGp tak jarang terasa disconnected dengan keberadaan tim-tim F1 lainnya. Namun, bisa dipahami, para pembalap F1 lainnya bukan aktor.

F1: The Movie (Source: Apple)
Lucunya, dengan segala capaian teknisnya, problem teknis di film ini pun tidak bisa dikatakan sedikit. Walau Kosinski berhasil menghindari elemen klise khas film balapan seperti ganti gigi yang secara ajaib bikin mobil melaju kesetanan, ada beberapa problem yang cukup mencolok untuk saya yang sudah mengikuti F1 dari 94.
Pertama, karena mobil APXGp adalah hasil modifikasi mobil F2, dimensinya lebih kecil dibanding mobil F1 sungguhan. Dalam laga wheel to wheel yang diambil secara medium ke close up, hal ini gak seberapa kelihatan. Tapi, begitu filmnya mengambil shot dari jauh, keliatan lah ada problem scaling antara mobil APXGp dengan mobil F1 lainnya. Terasa mungil di tengah mobil-mobil F1 yang dikenal lebar.
Tidak berhenti di situ, beberapa kecelakaan juga ditampilkan secara tidak wajar. Salah satunya adalah mobil yang melayang ke udara ketika salah melibas kerb (pembatas jalan). Mengingat film ini di-shoot pada musim yang menekankan konsep ground effect, agar mobil kian dekat ke daratan track, tidak seharusnya ada kejadian mobil melayang ketika kecelakaan. Ini sudah Driven-level nonsense.
Strategi Sonny Hayes yang menekankan combat dan chaos, walau masih ranah probable, tidak masuk di nalar saya. Sepanjang film, Sonny diperlihatkan sebagai wujud ekstrim dari Max Verstappen yang kerap memanfaatkan regulasi F1 untuk kepentingannya dan tim. Beberapa bentuknya adalah dengan sengaja menghalangi mobil di jalur pit stop, menjebak lawan untuk melakukan overtake secara ilegal, dan dengan sengaja memposisikan mobilnya untuk ditabrak agar ia bisa memicu safety car ala Singapore 2008 (if you know, you know).

F1: The Movie (Source: Apple)
Dalam situasi balap normal, aksi Sonny akan membuat federasi balap mobil internasional (FIA) menghadiahinya dengan berbagai poin penalti yang bisa membuatnya didiskors dari balapn. Namun, di film, tidak ada satupun penalti poin yang diberikan ke Sonny atas segala shenanigan yang ia lakukan di sirkuit balap. Jika balap F1 selonggar itu, saya bisa membayangkan kekecauan yang terjadi.
Masih banyak hal aneh lainnya bagi penggemar F1 sejati seperti APXGp selalu sukses mengeksekusi strategi overcut (pit stop belakangan) untuk meraih posisi hingga masih bisanya mobil F1 APXGp mengejar pembalap di depannya setelah pitstop selama belasan detik. Bagaimana Sonny selalu siap mengorbankan racenya untuk tim dan tidak ragu untuk ngambek di pitsop ketika strateginya tak disetujui crew pun gak wajar.
Di luar sisi teknis, problem film ini kentara ada pada gayanya bercerita. Berusaha seramah mungkin pada mereka yang tidak biasa menonton F1, film ini berusaha menyuapi penonton di segala trivia dan detil perihal F1. Bahkan, komentator F1 yang mengiringi jalannya balapan berubah menjadi seperti kamus dibanding komentator. Pelanggaran terhadap kredo “Show Don’t Tell” ini membuat narasi F1 The Movie terasa clumsy.
Di sisi lain, F1: The Movie juga kerap terlihat tidak pede pada cerita rivalitas yang mereka bangun. Instead of membiarkan rivalitas (dan mentorship) Sonny dan Joshua berkembang secara natural, film ini somehow harus memunculkan antagonis dan konspirasi dadakan di third act. Walau tertebak dan kluenya sudah ditebar sejak awal film, elemen-elemen “lawan” ini bisa lebih natural jika Kosinski mengerjakan PR-nya untuk memahami politik di F1, seperti apa cara kerjanya, dan siapa saja pemain regulernya.
So, apakah F1: The Movie layak ditonton? Jawabannya: jelas banget dan tontonlah di bioskop IMAX untuk mendapat cinematic experience yang maksimal. Dan, film ini adalah pengenalan yang bagus untuk mereka yang belum menonton F1 atauapun sudah lam agak menonton F1. Saya berani bertaruh akan banyak yang menonton balapan f1 di Red Bull Ring, Austria, akhir pekan ini gara-gara film ini. Secara garis besar, dari sisi balap, film ini menangkap esensinya apa F1 itu. Namun, patut digarsibawahi, ada beberapa hal teknis yang di luar nurul.