Di tengah gempuran produk-produk zombie apocalypse yang tiada habisnya di industri pop culture, somehow duet Danny Boyle dan Alex Garland masih menemukan cara bagaimana membuat 28 Years Later terasa relevan. Tidak hanya terasa relevan, mereka berdua juga berhasil mempertahankan apa yang menjadi ciri khas seri zombie ini tanpa terjebak mengikuti tren yang berkembang di pasar.
Ya, sejak 28 Days Later, seri ini tidak pernah didesain sebagai full zombie apocalypse. Di balik kesadisannya, ada pesan-pesan politik dan kritik sosial yang hendak disaampaikan. Dulu, 28 Days Later dan 28 Weeks Later dibuat sebagai kritik atau potret (dengan filter zombie) akan situasi geopolitik pasca 9/11, betapa mudahnya amarah disulut, kebencian dibentuk, dan perang dimulai namun tidak sebaliknya.
Bagaimana dengan 28 Years Later? Dibuat dengan ingatan Brexit dan COVID-19 masih segar di kepala, Danny Boyle dan Alex Garland memilih untuk mengambil pendekatan yang lebih “intimate” jika tidak ingin dikatakan Isolationism. Alih-alih memperluas wabah Rage Virus ke negara lain yang di-tease 28 Weeks Later, Danny dan Alex balik kanan dan memilih fokus ke Inggris seperti 28 Days Later. Dengan begitu, instead of harus pusing memperluas wabahnya, mereka bisa fokus menceritakan orang yang terjebak di dalamnya seperti kita COVID-19 melanda kita.

28 Years Later (Source: IMDB)
Adapun kisah 28 Years Later disampaikan dari sudut pandang Spike (Alfie Williams) dan kedua orang tuanya, Jamie (Aaron Taylor Johnson) dan Isla (Jodie Comer). Keduanya tinggal di dunia yang dikisahkan berhasil melawan gempuran wabah Rage Virus. Namun, alih-aliih membasminya, apa yang terjadi adalah virus tersebut dipukul balik ke Inggris dan dikurung di sana. Kali ini, NATO tak lagi mencoba mengambil alih Inggris dari wabah tersebut setelah percobaan gagal di 28 Weeks Later.
Mereka yang berada di Inggris mau tak mau belajar untuk “hidup bersama” para zombie rage virus tersebut. Walhasil, sejak dini, penduduk di tanah Britania dilatih untuk bisa berburu dan bertahan hidup di tengah rombongan zombie. Para penduduk senior tidak ingin generasi yang lahir jauh setelah wabah rage virus meledak, dan tidak pernah merasakan langsung betapa brutalnya periode tersebut, tidak tahu caranya melindungi diri. In short, para anak-anak dipaksa untuk dewasa lebih cepat.
Spike berada di tengah proses latihan tersebut. Jamie membawanya ke sebuah pulau yang dijaga ketat, Holy Island, untuk mengasah skill hidupnya di sana. Namun, seiring berjalannya latihan, Spike mendapati banyak hal baru bahwa dunia tidak sesimple menjadi yang memburu atau diburu. Ada banyak rahasia yang harus disembunyikan, keputusan-keputusan sulit yang harus diambil, untuk hidup meskipun hanya untuk sehari lagi.

28 Years Later (Source: IMDB)
Jamie dan Isla, sebagaimana orang tua pada umumnya, memainkan peran berbeda untuk Spike di kisah film iniu. Jika Jamie ingin memastikan Spike menjadi pemburu yang bisa membunuh zombie dengan sekali panah, Isla ingin Jamie untuk juga tumbuh sebagai sosok yang compassionate dan benevolent. Ironisnya, perbedan pendekatan keduanya justru membuat hubungan Jamie dan Isla dingin yang, lagi-lagi, memaksa Spike untuk dewasa lebih cepat karena tak ada lagi yang merawat dan membantu Isla melawan penyakitnya.
Dinamika yang dihadapi Spike, antara menjadi pemburu yang disiplin dan pria yang compassionate di tengah wabah zombie menjadikan 28 Years Later sebagai coming of age yang compelling dan intimate. Kita diajak melihat sudut pandang anak kecil, yang dipaksa dewasa lebih cepat, dalam menalar dunia yang (terpaksa) menutup dirinya dari pengaruh luar akibat wabah yang melanda mereka.
Seperti Ellie di The Last of Us, ada banyak hal yang harus Spike pelajari untuk memahami dunianya, namun ia tidak berada di ruang belajar yang ideal. Ia harus belajar sekaligus membunuh sekaligus menjaga sisi manusianya di dunia yang sudah gila. Hal itu belum menghitung bagaimana ia harus menjadi benang pemersatu orang tuanya yang bagai air dan api, Isla yang begitu halus dan Jamie yang di balik kebrutalannya adalah sosok pria yang begitu sayang pada Spike.

28 Years Later (Source: IMDB)
Untuk mengamplifikasi dinamika ini, Danny dan Garland menyisipkan montase-montase prajurit anak-anak dan puisi Rudyard Kipling. Hasilnya efektif, membuat kita peduli akan masa depan Spike yang terancam kehilangan ibunya akibat penyakit yang ia derita.
Harapan untuk menyelamatkan Isla hadir dalam wujud Dr. Kelson (Ralph Fiennes). Ia dikabarkan menyembunyikan diri di Holy Island yang penuh dengan zombie. Spiker berambisi menemukannya jika Jamie tidak ingin menolong ibunya. Gawatnya, bak Nemesis di Resident Evil 3 atau Bloater di The Last of Us, zombie terkuat juga berada di Holy Island, Alpha.
Kehadiran Alpha, harus diakui, membawa ketegangan tersendiri pada kisah coming of age Spike yang sejatinya intimate ini. Alpha hadir sebagai tour de force, sebuah kekuatan natural yang sulit dibendung, even oleh Jamie yang pemburu berpengalaman. Ia kuat, ia ganas, dan ia pintar, membuat kehadirannya seperti lokomotif kereta api yang siap menghantammu dengan sekuat tenaga hingga seluruh tulang tubuhmu tercerai berai.

28 Years Later (Source: IMDB)
Di sisi lain, hadirnya Alpha juga bisa dilihat sebagai cara Danny Boyle dan Alex Garland membuat 28 Years Later tidak terasa ketinggalan zaman walaupun fokusnya tetap pada relasi antar manusianya. Sejak 28 Days Later, ribuan film zombie telah dirilis ke pasar. Dari zombie yang jalan sampai zombie yang lari ada semua. Dengan standar sekaranmg, zombie rage virus yang dibuat Danny dan Garland untuk 28 Days Later tak lagi menyeramkam sehingga diciptakanlah Alpha yang tidak original-original amat juga.
Adapun hal yang tidak boleh lupa di-highlight dari film ini adalah bagaimana Danny mencoba mempertahankan gaya produksi gerilya yang ia majukan di 28 Days Later. Sempat hilang di 28 Weeks Later, Danny ingin sensasi filming yang “mentah” itu hadir kembali. Nah, jika di 28 Days Later ia menggunakan kamera handycam, kali ini ia menggunakan kamera Iphone 15.
Pemilihan kamera yang tidak umum tersebut, di saat kebanyakan director berlomba-lomba mendapatkan label “Filmed on IMAX” atau “Filmed for IMAX”, bisa dikatakan langkah gila. Bentuknya yang jauh lebih kecil dibandingkan kamera IMAX memungkinkan Danny menghadirkan pengambilan gambar yang kinetic dan immersive pada adegan-adegan laga, terutama ketika Spike dan Jamie berhadapan dengan Alpha. Lucu juga penggunaan iPhone ini ditekankan di poster promosinya.

28 Years Later (Source: IMDB)
Tidak semua gambar yang diambil dengan iPhone ini terasa cinematic meski di tangan sutradara dan DOP berpengalaman. Beberapa shot yang diambil masih sangat kasar dan repetitif pada adegan tertentu. Lucunya, hal ini adalah problem yang juga terasa pada 28 Days Later dulu.
Kekurangan 28 Years Later tidak berhenti di situ., Walau naskah yang digarap Garland bisa dikatakan bagus, beberapa plot holes hadir di filmnya, terutama untuk mengaddress beberapa detil yang ditinggalkan 28 Weeks Later. Salah satunya perihal anak-anak dari Alice, pasien dengan gejalan asymptomatic dari rage virus, yang nasibnya tidak jelas sejak helikopter mereka ditemukan jatuh di akhir 28 Weeks Later.
Selain itu, film ini juga berakhir kurang maksimal. Beberapa detil seperti terasa tidak tuntas disampaikan. Untungnya, sekuel film ini, dengan subtitle The Bone Temple, sudah berjalan produksinya dan akan hadir tak lama lagi.. Masalahnya, apakah masalah pada tiga film 28 akan terjawab di The Bone Temple? We’ll see.
DIMAS FADHILLAH | ISTMAN MP