Sekitar akhir 90an, saat Thailand diguncang krisis keuangan Asia yang berdampak pada banyak sektor – termasuk perfilman – dan berusaha untuk pulih, seorang sutradara ambisius, Pen-Ek Ratanaruang (Last Life in the Universe, Ploy), justru hadir dengan film yang dipuja-puja berjudul 6ixty9ine (1999). Banyak penonton lokal dan global sepakat film ini jeli – selain menghadirkan crime-thriller yang fresh, dalam menyematkan social commentary terhadap dampak Asian Contagion.
Film ini membeberkan carut-marut Thailand di masa itu dengan amat padat. Judulnya saja ibarat satire terhadap kehidupan dan kultur Thailand yang jungkir-balik. Pen-Ek menampakan kehidupan di masa krisis Thailand – yang dipenuhi dengan gangsters, perjudian, panggilan telepon tidak senonoh, sampai istri potong kelamin suami – tanpa terasa sekadar unjuk pemikiran kritis belaka.
Lebih 20 tahun pasca film 6ixty9ine tayang, tepatnya di tahun ini, menyadari ada momen krisis yang dampaknya kurang lebih serupa, Pen-Ek curi-curi kesempatan mengingatkan kembali masyarakat tentang film suksesnya ini.
Gak muluk-muluk, Pen-Ek mengolah filmnya menjadi series enam episode dengan plot, set lokasi, dialog, sampai angle dan camera movement yang tak jauh berbeda. Barangkali selain sikon sosial ekonomi serta jajaran cast-nya, series ini cuma menawarkan kesegaran lewat tambahan-tambahan adegan yang belum sempat ditayangkan Pen-Ek pada versi filmnya.
Tapi sayang, bagi saya, metode yang dipilih Pen-Ek agaknya terlalu ekstrem, egois, dan maksa. Membuat saya kembali bertanya, apakah proyek ini hanya sekadar senang-senang dan cuan-cuan belaka (memanfaatkan situasi)? Atau, Pen-Ek merasa lima tahun adalah waktu yang kelamaan untuk dirinya gak bikin-bikin film? Atau, apa? Sebab, kalau filmnya saja sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik untuk apa ada versi series?
Persis versi filmnya, 6ixty9ine The Series bercerita tentang Toom (Davika Hoorne) yang dipecat dari pekerjaannya sebagai karyawan di perusahaan asuransi. Dia stres dan bingung mesti ngapain. Paginya – karena kesalahan pengirim dan kamar apartemen Toom yang bernomor 6 sering terbalik jadi nomor 9 – Toom menemukan sekotak berisi uang di depan pintu kamarnya. Tergoda, Toom memutuskan menyimpan uang itu dan kabur dari kejaran orang-orang yang berusaha merebutnya kembali.
Singkatnya, 6ixty9ine mengulas masalah kemiskinan dan pengangguran. Kalau di filmnya, Pen-Ek menggambarkan bagaimana sulitnya hidup di masa krisis keuangan Asia, di seriesnya ia menggambarkan bagaimana sulitnya hidup di masa pandemi. Kedua versi 6ixty9ine menunjukan kalau hidup di masa krisis ekonomi hanya bergantung pada takdir, terserah nasib.
Dari kedua versi 6ixty9ine, setidaknya ada dua perbedaan mencolok, pertama; Seting waktu. Kedua; subplot tentang apa yang tak sempat dipaparkan versi filmnya.
Seting 6ixtynin9
Untuk versi filmnya, ambisi Pen-Ek terasa tulus. Di masa penggarapan film 6ixty9ine, krisis keuangan Asia menyebar dari Thailand dan menyebabkan naiknya angka pengangguran dan kemiskinan. Di masa itu, perekonomian Thailand bukan satu-satunya sektor yang mengalami kemerosotan berkepanjangan. Industri filmnya juga tenggelam. Dalam kurun tahun tersebut, Thailand hanya memproduksi film dalam hitungan jari. Dan, Pen-Ek muda muncul dengan 6ixty9ine-nya.
Sementara itu, di masa pandemi, Thailand juga mengalami kemerosotan ekonomi. PDB negara ini turun lebih dari 6 persen pada tahun 2020 dan banyak pekerja kehilangan pekerjaan. Akibatnya, perjudian dan pertaruhan makin marak. Dan, Pen-Ek tua muncul (lagi-lagi) dengan 6ixty9ine-nya. Baik versi film maupun seriesnya, dapat dipahami, kalau Pen-Ek tahu betul kapan waktu yang tepat untuk memunculkan 6ixty9ine.
Situasi dan kondisi sosial ekonomi yang dibawa film maupun series ini membuatnya mudah menjangkau penonton, tak terkecuali penonton Indonesia. Saya bisa berempati dengan mudah ketika nasib Toom dipermainkan kapitalis dan sekonyong memeroleh kesempatan kedua. Tak sedikit masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang rentan dan mudah tergiur dengan sesuatu yang instan, bukan? Sehingga gampang terjerembap dalam lingkar setan.
Seperti kata salah satu karakter dalam filmnya: The more the economy flops, the hornier people get. Baik film maupun series 6ixty9ine menyajikan kritik sosial secara konstan dan menjanjikan.
Cerita yang Belum Sempat Diungkap
Untuk perbedaan kedua ini, Pen-Ek agak muluk dan – barangkali – terlalu kreatif. Ia membubuhkan 6ixty9ine The Series dengan elemen-elemen supernatural, surealism. Akibatnya, dengan egois pula saya menarik kesimpulan 6ixty9ine The Series terlalu asyik sendiri dan tak punya ambisi apa-apa selain tampil beda. Dalam arti; beda sedikit dari filmnya.
Entah apa maksud elemen tambahan ini. Apakah Pen-Ek berusaha mengejawantahkan narasi nothing really matters, perputaran hal baik dan buruk, tak semua hal yang kita inginkan seindah yang kita bayangkan, di masa krisis uang lebih berharga dari nyawa, atau yang paling suram; orang miskin susah mati. Entahlah.
Yang pasti, inilah salah satu perbedaan mencolok dalam narasi 6ixty9ine The Series. Kemunculan narasi additional ini membuat saya terganggu saat mengikuti cerita secara kausalitas yang lantas semena-mena dibenturkan dengan momen surealisme yang memengaruhi logika cerita.
Dengan misi menceritakan apa yang belum diceritakan versi filmnya, alih-alih, series ini justru terkesan berusaha panjang-pajangain cerita dengan konsep absurd yang mubazir, eksentrik tapi egois. Saya merasa kontrasnya terlalu aneh, apalagi bagi mereka yang familier dengan versi filmnya.
Selain itu, dengan kesempatan enam episode yang dimiliki, Pen-Ek tidak memberi cukup waktu bagi penonton untuk lebih mengenal Toom dan memahami keputusan-keputusannya. Kita hanya tahu Toom miskin, nganggur, dan butuh uang.
Selain adegan yang terasa hanya sekadar senang-senang dan eksperimen, beberapa karakter juga datang dan pergi tanpa meninggalkan kepentingan. Adegan seks (lumayan) frontal yang ditawarkan series ini juga hampir menggeser esensi 6ixty9ine dari komedi gelap menjadi komedi seks stensilan. Cukup disayangkan.