Anatomy of A Fall, salah satu kandidat Best Picture Oscar tahun ini, bukan courtroom drama biasan. Tidak seperti kebanyakan ‘kompatriot’-nya yang berfokus pada mencari ‘siapa’, Anatomy of a Fall mengalihkan perhatiannya pada ‘mengapa’. Sesuai judulnya, film ini mengajak kita untuk mengurai satu per satu lapisan misteri bagai dokter bedah yang membedah anatomi tubuh pasiennya.
Kisah misteri Anatomy of a Fall didasari oleh tewasnya seorang musisi bernama Samuel Maleski (Samuel Theis) pada suatu pagi. Tubuh tak bernyawanya ditemukan oleh Daniel (Milo Machado- Graner) seusai jalan-jalan bersama anjingnya. Dia pun bergegas memanggil sang ibu, Sandra Voyter (Sandra Hüller) yang beberapa jam sebelumnya tengah diwawancarai perihal karya tulisnya. Jadilah anggota keluarga inti tersebut terjerat pusaran misteri tak berujung.
Beberapa hari kemudian, hasil investigasi menyeret nama Sandra karena ditemukannya ketidakwajaran dalam proses kematian Samuel. Hal itu diperburuk kegagalan Daniel dalam mengidentifikasi ketidakbersalahan ibunya dikarenakan penyakit penglihatan yang dideritanya. Sandra, mau tak mau, harus menghubungi pengacara kenalannya, Renzi (Swann Arlaud), untuk membela diri di tengah peliknya situasi.
Arahnya bisa ditebak, segala misteri yang menyelimuti kematian Samuel harus dituntaskan melalui meja hijau. Sandra, yang tadinya berstatus janda berduka, dipaksa berlapang dada mengemban status sebagai tersangka. Namun, saat Daniel mulai memberikan kesaksian tambahan atas kematian ayahnya, the plot thickens. Dugaan dan sangkaan mulai mengarah pada pertanyaan, “apa betul Sandara pelakunya?”
Pikiran kalian dijamin akan makin kusut untuk memilih siapa yang akan disalahkan ketika Daniel mulai memberikan keterangan yang fishy, bahkan menurut dirinya sendiri. Kebingungan tersebut adalah hasil dicekokinya kita oleh produk film serupa olahan Hollywood yang terlalu fokus menghakimi tanpa memanusiakan karakternya. Anatomy of a Fall tidaklah demikian. Naskahnya bergulir pelan untuk mengupas masing-masing karakternya, meniadakan prasangka, dan seringkali menyediakan dua sisi argumentasi.
Salah satu ccontohnya ketika adegan peradilan menyoroti retaknya kondisi rumah tangga Samuel dan Sandra. Naskah garapan sutradara Justine Triet bisa adil menjelaskan alasan di balik perilaku keduanya yang masing-masing menjurus ke arah disfungsional. Samuel didera depresi karena maskulinitasnya tergerus akibat dibayangi hegemoni sang istri, begitu pula Sandra yang tidak tahan menghadapi tindakan abusif suaminya yang insecure. Akumulasi dari sebab-sebab tersebutlah yang kemudian memunculkan hipotesis kedua: apakah Samuel mati bunuh diri?
Sebagai sajian courtroom drama, Anatomy of a Fall mungkin menjadi salah satu yang paling realistis kala menampilkan silat lidah drama peradilannya. Begitu realistis hingga sosok jaksa penuntut yang agresif dan menyebalkan mampu dijustifikasi karena itulah tugasnya. Intrik dan emosi tentu saja masih diselipkan guna menguatkan pengadeganan, tapi kesan proses hukum yang kaku dan prosedural begitu kuat terpancar.
Film arahan Justine Triet ini juga mampu mengeksplorasi tindak KDRT dengan detail yang mengagumkan hanya dengan menggunakan rekaman suara perkelahian di antara Samuel dan Sandra. Suara pukulan, perkakas pecah, dan makian adalah wujud sebenar-benarnya dari cekcok rumah tangga yang menghantui tiap rumah di sekitar kita. Begitu kuat kesan nyata itu hingga bantuan visual tak dibutuhkan.
Minimnya celotehan tajam dan saling tunjuk ala dramatisasi Hollywood menyisakan ruang bagi penonton untuk memilih keberpihakan. Naskahnya bernarasi tanpa menghakimi dengan hanya menyodorkan kumpulan fakta untuk dinilai kesahihannya. Kita diberi tahu, mencari tahu, lalu mengetahui. Entah pengetahuan macam apa yang ingin diketahui penonton, itu bukan urusan filmnya.
Treatment Justine Triet ke naskahnya sendiri seolah berulang kali mencoba membujuk penonton untuk membatasi prasangka. Tak bernafsu mengungkap ‘siapa’, sepenuh hati mengutarakan ‘mengapa’, dan biarlah ‘siapa’ itu tersingkap dengan sendirinya berkat interpretasi atas ‘mengapa’. Sebuah hal sederhana yang berulang kali gagal dilakukan mayoritas film misteri Hollywood yang netralitasnya sering goyah ketika memasuki pergantian babak.
Perjalanan dua setengah jam Anatomy of a Fall juga terasa singkat. Lapisan misteri di tiap menitnya begitu menggoda untuk diikuti, dikupas perlahan tanpa meninggalkan jejak kebosanan. Perjalanan yang turut mengantarkan Anatomy of a Fall meraih penghargaan Palme d’Or—puncak apresiasi tertinggi di gelaran Cannes Film Festival.
Meski bersenjatakan dialog dan eksposisi verbal lainnya, Anatomy of a Fall tak lupa bercerita secara subtil. Kiatnya ‘memeriahkan’ kematian Samuel dengan latar versi instrumental dari lagu Pimp milik 50 Cent adalah langkah jenius. Sebab, lirik lagu tersebut secara eksplisit sudah lebih dari cukup mendistraksi perhatian penonton untuk menyalahkan… yang mana, ya?