Setelah The Square (2017) berhasil meraih kesuksesan, Roben Ostlund kembali hadir dengan film terbarunya berjudul Triangle of Sadness. Meski review ini sedikit telat mengingat filmnya sudah tayang sejak akhir tahun lalu, relevansinya belum hilang. Film ini masuk dalam jajaran nominator Best Picture Oscars 2023 yang akan diumumkan pemenangnya esok Senin waktu Indonesia.
Triangle of Sadness sendiri, seperti karya-karya Ostlund sebelumnya, mengangkat genre satirical black komedi tiga babak dengan aktor-aktor terkenal yang mengisi jajaran castnya. Beberapa diantaranya adalah Harris Dickinson, Charlbi Dean dan Dolly de Leon. Adapun film ini merupakan film terakhir Dean sebelum meninggal dunia.
Sebelum debut di bioskop, Triangle of Sadness tayang perdana di Festival Film Cannes 2022 pada 21 Mei 2022 lalu. Roben Ostlund, seperti saat memutar The Square, mendapat tepuk tangan meriah selama delapan menit dan memenangkan Palme d’Or. Selain itu, film ini pun mendapat ulasan positif dari berbagai pihak.
Seperti disampaikan sebelumnya, Triangle of Sadness menyampaikan kisah tiga babak yang menceritakan pasangan Carl (Harris Dickinson) dan Yaya (Charlbi Dean). Babak pertama menceritakan Carl yang mengikuti audisi model dan menjalin hubungan dengan Yaya yang juga seorang model dan influencer. Saat makan malam di restoran mewah, mereka bertengkar perihal perbedaan pandangan uang dan peran gender.
Kisah Carl dan Yaya berlanjut ke babak kedua di kapal pesiar. Mereka mendapatkan tiket plesir gratis sebagai imbalan atas promosi media sosialnya. Mereka tidak sendirian, namun ditemani sekumpulan orang-orang kaya dari berbagai negara dengan tingkah laku mereka yang nyentrik.
Pada awalnya semua baik-baik saja. Para kru, walau dengan setengah hati, pun memenuhi segala permintaan aneh bin ajaib para penumpang kapal. Namun perjalanan mereka yang “menyenangkan” itu harus berakhir saat makan malam. Tiba-tiba saja badai datang menghajar. Belum berhenti sampai di situ, kapal juga diserang bajak laut menggunakan granat. Komplit.
Babak ketiga adalah dampak dari serangan tersebut. Sekelompok kecil, termasuk Carl dan Yaya. selamat dari serangan namun terdampar di pulau terpencil. Bak kisah Lord of The Flies, konfik mulai bermunculan. Ketika status dan struktur sosial para orang-orang kaya itu tak lagi berfungsi di pulau terpencil, apa yang terjadi selanjutnya adalah kekacauan, kesedihan, yang meminimalkan kesempatan mereka untuk bertahan.
Bisa dilihat dari sinopsisnya, Triangle of Sadness memiliki tujuan yang sangat-sangat jelas: Mengolok-olok orang kaya. Semua terpampang jelas dari bagaimana para karakter orang kaya diperlakukan di film ini. Ostlund tampak begitu yakin betapa out of this world-nya mereka ketika dikeluarkan dari zona nyaman, di mana uang dan popularitas tidak bekerja.
Di pulau terpencil, semua itu tak ada gunanya. Kemampuan survival menjadi kunci utama bertahan hidup. Namun, para orang kaya, yang di mata Ostlund terbiasa dimanja oleh kemewahan dan kekuasaan, tak mengenal apa itu bertahan ketika semuanya dipreteli satu per satu. Ya, seperti yang bisa diduga, kekacauan demi kekacauan yang muncul.
Bagusnya, Ostlund tidak memperlakukan para karakter kaya di film ini sebagai karikatur. Mereka tetap diperlakukan manusiawi, dengan segala cacat dan kelebihannya, membuat kami sesekali bersimpati dengan nasib mereka juga. Namun, tetap saja, betapa tidak self-awarenya mereka lebih sering mengundang tawa dibanding rasa kasihan.
Makan Malam Kapten menjadi adegan yang palik epic di film ini. Dengan adanya badai dan ombak besar, menyebabkan sebagian tamu mabuk laut dan kemudian muntah. Sementara yang lainnya berusaha tetap menjaga kehormatan walau akhirnya tidak bisa.
Selain kritik sosial ke kaum elit dalam wujud komedi, ada banyak isu lain yang dibawa Ostlund lewat Triangle of Sadness. Kesetaraan gender, ras, kapitalis-komunis, orang kaya yang merasa berkuasa, serta rasisme adalah beberapa isu yang dibawa Ostlund. Tidak akan ada habisnya bila kita membahas semua isu-isu yang ada di film ini. Namun, salah satunya yang paling patut di-highlight adalah equality as a center of conflict berbagai karakternya.
Sayangnya, dengan segala isu dan komedi yang dibawa, Triangle of Sadness tergolong lamban. Dialog-dialog berbobot yang terasa halus, menyakitkan, dan mendampingi komedinya juga bisa terasa menjemukan. Butuh sedikit kesabaran untuk bisa fully invested ke “kegilaan” yang ditawarkan film ini.
Pada akhirnya, satir adalah kelebihan utama yang dimiliki Triangle of Sadness. Sinematrografi-nya juga ciamik. Komedi hitam dengan social commentary berhasil dieksekusi Roben Ostlund dengan stereotipe diiringi struktur yang elegan.
ANDRA, ISTMAN
1 comment
[…] cuma cinta, mirip Triangle of Sadness arahan Ruben Ostlund, Hunger juga bicara kelas sosial yang penuh metafora dan konotasi lewat […]