Menjelang perhelatan Oscars 95 yang akan tayang besok Senin waktu Indonesia, tak ada salahnya kita melihat kembali beberapa film yang masuk nominasi Best Picture. Salah satunya ya Top Gun: Maverick.
Top Gun: Maverick, sekuel dari Top Gun (1986), adalah film yang siap membetot adrenaline dan emosi kalian. Tidak hanya menghadirkan dogfight yang begitu ganas dan kaya akan practical effect, tetapi juga cerita yang deep dan nostalgia yang begitu respectful terhadap prekuelnya. Tidak sekali kami dibuat merinding dan bertepuk tangan atas apa yang ditawarkan Top Gun: Maverick.
Hebatnya, meski film ini rilis nyaris 4 dekade setelah prekuelnya, Top Gun: Maverick tidak menutup dirinya dari penonton baru. Meski ada banyak hal di ceritanya yang mengacu langsung ke peristiwa di prekuelnya, film ini lebih menekankan “passing the baton” dari fighter lama ke fighter baru. Dengan kata lain, penonton baru tidak akan kesulitan untuk mengikuti ceritanya.
Meski kisah Top Gun: Maverick relatif accessible ke penonton baru, kami sangat merekomendasikan penonton lama maupun baru untuk menonton prekuelnya. Mengetahui apa yang terjadi di film Top Gun pertama akan memberikan “emotional damage” yang lebih menghentak ketika menonton Top Gun: Maverick. Rasanya seperti ketika melihat tiga Spider-man berayun bersama di film Spider-Man: No Way Home.
Seperti prekuelnya, kisah film ini disampaikan dari sudut pandang pilot jet tempur Pete Mitchell aka Maverick (Tom Cruise). Usai menuntaskan dinasnya di Fighter Weapon School alias Top Gun, Maverick menghabiskan karirnya dengan berpindah-pindah dari satu unit ke unit lainnya. Tak hanya itu, ia juga menolak naik pangkat agar tidak “dikandangkan” ke posisi administratif. Menurut Maverick, dengan karakternya yang begajulan, pangkat kapten dan tugas lapangan sudah lebih dari cukup.
Meski sudah lulus dari Top Gun, yang disebut-sebut unit jet tempur paling elit di AL Amerika, Maverick tidak bisa sepenuhnya “kabur” darinya. Mantan wingmannya, Tom Kazansky aka Iceman (Val Kilmer), memerintahkan Maverick untuk kembali ke Top Gun. Gara-garanya, ada misi “nyaris bunuh diri” yang membutuhkan keahliannya. Namun, Iceman tidak meminta Maverick untuk terbang, melainkan memintanya mempersiapkan lulusan terbaru Top Gun untuk menjalani misi tersebut.
Maverick awalnya menolak, menyakini dirinya bukan instruktur panutan. Namun, ia berubah pikiran ketika mengetahui Bradly Bradshaw aka Rooster (Miles Teller) masuk dalam daftar pilot yang harus dilatih. Rooster bukan pilot biasa, dia anak dari Goose (Anthony Edwards), almarhum rekan Maverick. Tidak ingin Rooster tewas dalam misi terbaru seperti ayahnya, Maverick memutuskan kembali ke Top Gun dan melatihnya langsung dengan metode beresiko.
Jujur saja, kami awalnya memasang ekspektasi rendah terhadap film ini. Kami memprediksi Top Gun: Maverick akan berakhir sebagai tipikal film Tom Cruise yang terlalu menonjolkan sang superstar. Prekuelnya sendiri, meski memorable, tidak bisa dibilang sempurna. Kisahnya, terkadang, seperti opera sabun dengan fokus yang terlalu berlebihan ke romansa Maverick dan Charlie (Kelly Mcgillis). Di sisi lain, penggambaran jet tempurnya pun tidak akurat di mana F-5A disebut MIG-28.
Di luar dugaan, Top Gun: Maverick melebihi ekspektasi kami. Sutradara Joseph Kosinski (Tron: Legacy; Oblivion), yang pernah membuat iklan rokok Indonesia, berhasil mempelajari apa saja yang salah dari Top Gun. Hal-hal yang benar, kemudian, ia poles menjadi elemen yang engaging dari Top Gun: Maverick. Salah satunya tentu soal dogfight, elemen integral dari film jet tempur manapun.
Dogfight atau pertempuran jet tempur di Top Gun: Maverick begitu beringas, tegang, dan memacu adrenaline. Mengandalkan practical effect plus kamera yang ditempatkan di sekujur tubuh F/A-18 Super Hornet, kami serasa dibawa ke segala pertempuran yang ada. Ketika unit musuh menembakkan Surface-to-air Missile (SAM) ke unit Maverick, rasanya seperti diburu rudal sungguhan hingga kami menahan nafas. Ketika Kenny Lodgins membuat lagu Highway to Danger Zone sebagai OST Top Gun, mungkin dogfight di Top Gun: Maverick yang ia bayangkan.
F/A-18 sendiri, dengan tubuhnya yang lebih ramping, memungkinkan Kosinski menghadirkan dogfight yang lebih lincah dengan manuver-manuver tak terduga di ketinggian rendah. Setting pertempurannya pun tak main-main, ceruk-ceruk pegunungan di mana kami dibawa meliuk-liuk di antara tebing dan ruas jembatan sempit. Jika Maverick masih menggunakan jet tempur F-14 Tomcat seperti di prekuelnya, mungkin unit yang dipimpinnya sudah tewas duluan.
Keberhasilan Top Gun: Maverick menghadirkan dogfight yang begitu visceral sedikit banyak berkat breakneck cinematography dari Claudio Miranda. Sebagai kompatriot Kosinski di Tron: Legacy dan Oblivion, ia tahu betul bagaimana menghadirkan pertarungan jet tempur dengan cinematography yang tajam dan immersif. Hasilnya sungguh kentara dan memanjakan mati.
Bicara soal jet tempur, Top Gun: Maverick menampilkan unit yang lebih variatif dibandingkan prekuelnya. Meski F/A-18 mengisi 80 persen isi film, Top Gun: Maverick juga menghadirkan F-14 Tomcat, SR-72, dan juga Sukhoi SU-57. Dari ketiga nama terakhir, F-14 dan SU-57 akan memiliki peran paling vital dalam plot soal mana yang lebih penting, jet atau pilot. Buat penggemar jet tempur, you’re in for a treat.
Untungnya, porsi jet tempur itu tak lagi diganggu oleh plot romance. Kosinski memangkas durasi plot romance Maverick yang tak lagi bersama Charlie, tetapi bersama Penny (Jennifer Connelly). Porsinya sungguh minor, namun tetap penting untuk development karakter Maverick agar lebih down to earth.
Adapun major plot dari Top Gun: Maverick adalah hubungan Maverick dan Rooster. Puluhan tahun berlalu, Maverick masih merasa bersalah atas kematian Goose. Saking merasa bersalahnya, Maverick sampai di satu titik sempat menghalangi Rooster menjadi pilot. Ia lebih memilih dibenci Rooster dibanding kehilangan anggota “keluarganya” lagi. Namun, namanya takdir, Maverick tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Rooster menjadi pilot jet tempur.
Film ini memakai pendakatan yang mirip dengan Creed dalam menggarap plot Maverick dan Rooster. Seperti Rocky yang mencoba menggantikan Appolo bagi Adonis, Maverick mencoba menempatkan dirinya sebagai ayah dari Rooster. Padahal, apa yang dibutuhkn Rooster bukan sekadar father-figure, tetapi juga mentor dan wingman. Dinamika respect-hate relationship antara keduanya, walau predictable, digarap dengan apik, membuatnya plot-nya tidak unbearable seperti Maverick dan Charlie.
Sayangnya, meski film ini mencoba membangun ceritanya dengan relasi Maverick – Rooster sebagai fondasinya, tetap saja Tom Cruise mendapat peran yang kelewat menonjol. Saking menonjolnya, karakter baru seperti Rooster, Phoenix (Monica Barbaro), Bob (Lewis Pullman), Payback (Hay Ellis), dan Hangman (Glen Powell) tidak memiliki kesempatan untuk bersinar atau bahkan mengimbangi Maverick. Walhasil, elemen passing the baton dari fighter lama ke baru bisa dikatakan nanggung.
Akhir kata, dengan segala kelebihannya, Top Gun: Maverick adalah salah satu film ter-fun dan terbaik 2022. Joseph Kosinski berhasil memadukan elemen nostalgia tahun 80an dengan cerita yang lebih deeper plus dogfight yang lebih beringas dibanding prekuelnya. Di sisi lain, ia tidak lupa memasukkan wajah-wajah baru yang bakal menjadi masa depan franchise Top Gun ke depannya. Bagi thrillseeker dan penonton yang ingin melepas kangen dengan seri Top Gun, film ini bisa menjadi pilihan.
1 comment
[…] Cukup unik mengingat dari figur-figur masa lalu, Hunt menghadapi tantangan masa depan. Mungkin Tom Cruise sadar usia dan ingin mengkontraskan bahwa Hunt juga manusia, usia menjadi pertanda, sementara […]