The Shadow Strays, karya terbaru dari sutradara Timo Tjahjanto, tidak sepenuhnya berhasil menjawab hype-nya yang mendakik tinggi sebelum rilis. Berbagai review awal, yang beberapa di antaranya datang dari influencer dan content creator, menyebutnya salah satu film laga terbaik Indonesia. Choreography yang memukau hingga breathtaking action adalah beberapa poin yang banyak ditonjolkan dalam early reviews dengan tambahan reminder “jangan terlalu dibawa serius”.
IMO, ketika early reviews sebuah film sudah dibumbui dengan disclaimer “jangan terlalu dibawa serius”, “matikan otak anda”, hingga “jangan pikirin ceritanya”, it’s a red flag. Itu adalah pertanda bahwa filmnya, secara kualitas, sejatinya tidak seindah apa yang disampaikan. I did hope I was wrong before writing this review, tetapi kekhawatiran itu, sadly, terwujud.
The Shadow Strays, mungkin, film terlemah Timo Tjahjanto setelah Headshot. Walau harus diakui bahwa laga yang dihadirkan film ini, pada titik tertentu, sungguh memanjakan mata, breathtaking, visceral, dengan kebrutalannya yang tiada henti, hal itu tidak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, laga yang dihadirkan mulai melelahkan untuk ditonton dan berbagai kelemahan mulai menggantikanya, terutama dari sisi karakter dan story.
Story The Shadow Strays disampaikan dari sudut pandang seorang ninja/ assassin berusia 17 tahun, “13” (Aurora Ribero). Akibat keraguannya yang timbul saat menjalankan high-profile killing ke pimpinan Yakuza di Jepang, 13 diberhentikan dari posisinya untuk sementara waktu. Tanpa arahan, tanpa misi, ia diisolir di sebuah rumah susun kumuh hingga organisasinya, The Shadow, merasa 13 sudah mentally siap untuk kembali berakhsi.
Pada awalnya 13 menjalani hukuman itu dengan penuh amarah, kekesalan, merasa The Shadow dan instrukturnya, Umbra (Hana Malasan), bersikap tidak adil kepadanya. Namun, perlahan, 13 melunak sejak berkenalan dengan seorang bocah bernama Monji (Ali Fikry).
Monji mengingatkan 13 akan dirinya sendiri, seorang yatim piatu yang terbaikan dan hanya mengenal kekerasan sebagai solusi. Menurut 13, Monji memiliki masa depan yang lebih baik dibanding dirinya jika bisa berdamai dengan situasinya. Kebanyakan amarah Monji bersumber dari ibunya yang dikenal sebagai pemadat, kerap menelantarkannya, dan meninggal karena overdosis.
Monji hakul yakin bahwa ibunya telah dibunuh, bukan overdosis seperti yang disampaikan kepolisian. Relasi ibunya dengan berbagai pejabat pemerintahan, pebisnis, dan aparat penegak hukum menyakinkan Monji bahwa ibunya dibunuh karena rahasia yang disimpannya. Benar saja, tak lama setelah ibunya dimakamkan, Monji diculik oleh sekelompok begundal.
13 tidak mau tinggal diam atas penculikan itu. Ia siap mengorbankan segalanya, menghilangkan nyawa jika perlu, untuk menemukan Monji. Walau sadar bahwa dengan mencari Monji berarti ia melawan masa hukuman dari The Shadow, 13 sudah bodo amat dengan hal tewrsebut. Tak ia sadari, mencari Monji berarti juga berurusan dengan salah satu gembong mafia terbesar di Jakarta yang ironisnya merupakan pejabat pemerintahan.
Dua hal terlintas di kepala ketika mengikuti cerita The Shadow Strays. Hal pertama, betapa gemarnya Timo akhir-akhir ini menggunakan organisasi rahasia dan “rogue agent” sebagai elemen penting ceritanya. Pada film Headshot, di mana ia menjadi penulis naskahnya, karakter Ishmael yang diperankan Iko Uwais adalah anggota organisasi kejahatan yang membelot karena amnesia yang ia derita.
Hal serupa kembali muncul di The Night Comes For Us. Protagonis Ito, yang diperankan Joe Taslim, adalah anggota dari organisasi triad The Six Seas yang membelot karena merasa bersalah telah membantai habis penduduk sebuah desa. Di film The Big Four, protagonis Topan (diperankan Abimana), berhadapan dengan seorang agen yang mengkhianati organisasinya, Suranto aka Antonio Sandoval (Marthino Lio).
Mendapati Timo menggunakan elemen yang sama pada The Shadow Strays, membuat kisah film ini terasa by-the-numbers. Timo seperti main aman, mengikuti SOP tertentu, yang menghalangi The Shadow Strays untuk terasa distinctive dibandingkan film-film ia sebelumnya.
Hal kedua, kisah yang digarap Timo untuk The Shadow Strays sendiri, in general, juga relatively sudah overused. Ada banyak film dengan premis serupa, bahkan yang sama-sama tentang organisasi Ninja. Beberapa nama bisa disebut seperti Ninja Assassin, Ninja, atau yang relatif baru dan sama-sama dari Netflix adalah House of Ninja. Di luar film tentang Ninja, ada Taken dan Leon The Professional yang terlintas di kepala.
Sejatinya tidak salah menggunakan premis yang sama berulang-ulang. Namun, ketika tidak ada unser novelty yang ditawarkan, experience yang didapat tidak akan maksimal, menjadikan The Shadow Strays masuk dalam ranah “been there, done that”.
Gawatnya, kekuatan utama The Shadow Strays, laga-nya, juga memiliki masalah yang sama. Permainan senpi dan sajam di film ini terasa repetitif, berulang-ulang, dengan perbedaan satu sama lain terasa marginal. Sebrutal-brutalnya laga yang dihadirkan, mau itu dari kepala putus, gepeng, hingga dibakar, jika tidak menawarkan hal baru, ya lama kelamaan akan membosankan juga.
Problem itu kentara jelas pada warehouse shootout yang terjadi pada third act The Shadow Strays. Sequence tersebut basically hanya laga tusuk-tusukan dan hujan peluru yang lucunya tidak ada satupun yang mengenai 13. Jika peluru memang didesain untuk tidak mengenai protagonis atau protagonisnya kebal terhadap peluru, ya sebaiknya jangan menghadirkan shootout sejak awal.
Problem tersebut diperparah masalah pacing. Beberapa adegan laga memiliki durasi terlampau lama dan memiliki jeda antar laga yang terlampau singkat. Walhasil, tidak ada cukup ruang bagi penonton untuk bernafas, mencerna laga maupun cerita yang disampaikan. Kombinasi masalah laga repetitif dan pacing tersebut menjadikan The Shadow Strays film yang forgettable, jika tidak ingin dikatakan membosankan dan melelahkan.
Apa yang dialami The Shadow Strays tersebut sedikit banyak mengingatkan dengan The Raid pertama. Film Gareth Evans itu juga memiliki masalah pacing yang untungnya tertupi presentasi laga yang masih langka untuk standar film Indonesia saat itu. Pada The Raid 2 pacing yang dihadirkan lebih mulus dengan tiap laga memiliki koreografi yang khas, durasi yang pas, dan cukup ruang untuk fleshed out ceritanya.
Timo mungkin bisa belajar banyak dari pacing The Raid 2 tersebut untuk proyek-proyek dia berikutnya seperti Nobody 2 yang dibintangi Bob Odenkirk. Penggantian editor mungkin juga bisa dipertimbangkan di mana ia membutuhkan penyunting yang berani menekan laganya yang terlalu berlebihan. Lucunya, problem pacing ini tidak dialami The Night Comes For Us di mana Timo berhasil menghadirkan laga yang kreatif dan inovatif, meski bukan level The Raid 2.
Story-wise, The Shadow Strays juga tidak bebas dari masalah. The most interesting part dari film ini, imo, adalah plot The Shadow dan Umbra. Bagaimana The Shadow menghadapi masalah desertir dan Umbra mencoba memproses bagaimana organisasi yang begitu tight dan disiplin bisa dikhianati kanan kiri jauh lebih menarik dibanding 13 mencari Monji. Di satu sisi, plot Monji tidak menawarkan konflik yang berbobot, di sisi lain, tidak ada cukup development untuk membuat penonton care dengan 13 dan Monji.
Dan, ketika plot Umbra dan 13 akhirnya bertemu pada titik yang sama, The Shadow Strays sudah terlalu melelahkan untuk ditonton akibat laga yang eksesif dan repetitif. Di sisi lain, pertemuan dua plot itu juga tidak dieksekusi dengan baik, tanpa build up yang proper, sehingga konflik antara 13 dan Umbra berujung setengah matang, tidak berbobot. Seandainya sejak awal konfliknya adalah Umbra mengejar 13 yang desertir, kisahnya akan lebih straightforward, pacing lebih manageable, walau unoriginal.
Dengan sekian banyak masalah yang ada, lalu apa yang bisa dipuji dari film ini? Audio visualnya. Untuk ukuran film Indonesia, The Shadow Strays memiliki sektor visual dan audio yang tergolong mewah, bahkan kelas Hollywood. Dengan kualitas yang ditampilkan, no wonder Timo menjadi sutradara yang dipilih untuk mendirect Nobody 2.
In the end, The Shadow Strays adalah film yang termakan oleh hype-nya sendiri di mana apa yang diteriakkan di publik tidak sebanding dengan kualitas yang dihadirkan. It’s a weak movie in many sector, kecuali audio dan visualnya. Ketika ada memujinya sampai menirukan gerakan sembah sujud, penulis bertanya-tanya, “apakah kita menonton film yang sama?”. Well, kembali ke awal, experience dan review sebuah film itu sangat subjektif.