Review Samsara: Wajib Ditonton Paling Tidak Sekali Seumur Hidup

Nama Garin Nugroho, adalah salah satu dari nama besar perfilman Indonesia yang banyak membuat gebrakan. Salah satunya di tahun 2017, ketika beliau membuat ‘Setan Jawa’ sebuah film bisu dengan iringan musik orkestra live. Kini, Garin kembali dengan karya serupa. Film dengan format film klasik tanpa dialog dan bergambar hitam-putih dengan iringan gamelan yang dipadukan dengan musik kontemporer berjudul Samsara.

 

Mengambil latar tahun 1930, Samsara berkisah tentang Sinta dan Darta. Dua sejoli yang terpisah oleh status sosial. Sinta berasal dari keluarga bangsawan terpandang sedangkan Darta berasal dari keluarga pengrajin bambu. Mereka berdua telah akrab dari kecil, hingga dewasa, cinta mereka pun mekar dan bersatu. Namun, saat Darta hendak melamar Sinta, keluarga Sinta menolak.

 

Di tengah perasaannya yang bergejolak, Darta memutuskan untuk membuat perjanjian dengan Raja Monyet untuk membuat dirinya menjadi seseorang yang berada dan terpandang. Lewat perjanjian tersebut, Darta berhasil mendapatkan Sinta. Mereka pun menikah dan hidup bahagia. Namun, kebahagian itu hanyalah sementara. Karena ada konsekuensi yang harus diterima akibat perjanjian Darta.

 

Samsara (Source: JAFF)

 

Sentuhan klasik film garapan Garin Nugroho ini sangat total dari awal. Mulai dari frame aspect ratio 4:3 hingga penggalan per-act dengan tulisan tentang ceritanya.  Garin tahu betul cara membuat film bisu berkelas. Tata artistik dan busana sangat otentik dan megah. Sinematografinya berhasil memanjakan mata. Kecermatan menempatkan angle dan bayangan membuat pengalaman menonton film dengan format warna hitam putih menjadi menyenangkan.

 

Dalam hal narasi, Samsara punya plot yang cukup sederhana dan dapat dimengerti alurnya walaupun tanpa dialog. Hal tersebut juga berkat para tokoh yang berhasil membawakan setiap karakter dengan ekspresi dan gerak tubuh yang pas dan tak berlebihan. Salah satu yang menarik adalah bagaimana upaya Garin untuk membuat film ini terlihat klasik dengan membuat salah satu karakter komikal yang biasa ditemui pada film-film bergaya slapstick.

 

Samsara (Source: JAFF)

 

Musik pun menjadi kekuatan selanjutnya yang berhasil menghidupkan film ini. Sebagai satu-satunya suara yang muncul dalam film, musik dalam Samsara berhasil membawa alur serta emosi tokoh untuk dapat dirasakan oleh penonton. Sentuhan musik gamelan yang tradisional dipadukan dengan musik kontemporer yang biasa menggunakan sequencer, memiliki porsi dan bagian masing-masing yang pas.

 

Dengan pendekatannya yang unik itu, Samsara menjadi salah satu hasil karya segar di tengah film Indonesia yang mulai nyaman dengan format baku dan lama. Namun, bagi orang-orang yang terbiasa dengan film modern dengan dialog dan permainan warna, maka untuk bisa memahami Samsara akan cukup sulit dicerna. 

 

Tentu menjadi sebuah tantangan, untuk menyaksikan film bisu hitam putih dengan iringan musik gamelan yang lembut tidak berubah menjadi pengantar tidur di bioskop jika film ini dibuka penayangan regulernya nanti. Kalau berhasil menahan kantuk, menonton Samsara akan jadi pengalaman sinema yang tak terlupakan. Bagi anda yang memiliki kondisi “photosensitive”, di bagian seperempat akhir ada bagian dengan adegan cahaya kelap-kelip yang mungkin akan sangat ‘triggering’. 

 

Samsara (Source: JAFF)

 

Samsara sudah tayang lebih dulu sebagai pembuka di perhelatan Jogja-Netpac Asian Film Festival. Adapun film ini akan tayang dalam bentuk cine-concert di Jakarta pada 13-15 Desember 2024 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. 

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment

18 − twelve =