Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)
Review Joker Folie a Deux: Musikal yang Gagal

Joker: Folie a Deux adalah salah satu contoh nyata sekuel yang terlalu eksperimental tapi gagal. Alih-alih melanjutkan formula sukses yang sudah terbukti pada film pertama, yang menghantarkannya pada 11 nominasi Academy Awards, sutradara Todd Philips mengambil pendekatan yang berbeda yang sayangnya hit and miss dengan lebih banyak miss-nya. 

 

Pendekatan baru itu adalah Musical yang diperkenalkan lewat musical therapy yang tengah dijalani persona asli Joker, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix). Sejak insiden kerusuhan yang terjadi pada film sebelumnya, Arthur menghabiskan hari-harinya di Arkham Asylum, tersiksa dan tertindas di mana ia dipaksa untuk menghibur para sipir yang bekerja di sana. Sembari menunggu proses hukum terhadap dirinya, di mana pengacaranya menyarankannya untuk men-treat Arthor dan Joker sebagai dua kepribadian berbeda, ia berkenalan dengan Harleen “Harley” Quinzel (Lady Gaga) yang tidak hanya memujanya, tetapi juga mengenalkan musik sebagai coping mechanism atas penderitaan yang diderita Arthur. 

 

Ya, sejak awal Joker: Folie a Deux diperkenalkan ke publik, penekanan diarahkan pada unsur musicalnya. Penekanan itu makin terasa ketika  penyanyi dan aktris Lady Gaga diumumkan memerankan love interest dari sang titular character, Harley Quinn. Hal itu membuat banyak fans menebak-nebak what kind of musical yang akan dibawakan Joker: Folie a Deux mengingat film pertama sangat kental nunasa crime dan psychological thriller-nya yang Scorsese sekali. Apalagi, musikal dan crime drama adalah kombo yang langka ada jika tidak ingin dikatakan tidak wajar. 

 

Apa yang penulis dapati, pendekatan musical pada Joker: Folie a Deux terkesan nanggung, malu-malu, yang membuat eksekusinya tidak maksimal. Di satu sisi, film ini berusaha sekali mempertahankan nuansa Scorsese-esque yang bleak, gritty, emotional di mana membuat prekuelnya terasa begitu distinktif dibandingkan film-film adaptasi komik DC lainnya. Di sisi lain, berusaha tampil teatrikal, lighthearted, yang merupakan ciri khas dari film musical. Namun, film ini gagal menghadirkan tone yang seimbang dan transisi yang mulus antara elemen lighthearted dan hiperbola musical dengan emotional depth dari crime/ psychological dramanya.,

 

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

 

Bahkan, kalau mau jujur, Joker: Folie a Deux disebut film musikal pun sepertinya sedikit kurang tepat. Konsep ‘bernyanyi’ pada film ini hanya dibawakan oleh karakter Joker dan Harley Quinn, sementara karakter lain tidak. Kedua karakter itu pun bernyanyi dalam imajinasi mereka saja, bukan untuk berinteraksi langsung dengan apa yang terjadi di sekitar mereka. Lagu-lagu yang dibawakan juga kebanyakan vintaga pop hits, sehingga unsur kebaruan lewat original music tidak hadir di sini.

 

Penulis bisa memahami bahwa terisolirnya elemen menyanyi pada karakter Joker dan Harley Quinn saja untuk menegaskan betapa delusional dan tenggelamnya mereka dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri di kepala mereka. Namun, resep sukses dari beberapa film musical yang ikonik seperti Les Miserables, West Side Story, hingga La La Land adalah bagaimana tokoh-tokoh yang berada di dalamnya menghadapi, berinteraksi, dan mengintepretasi kehidupan dengan cara bernyanyi dan menari, tidak berhenti di berimajinasi seperti Joker dan Harley yang membuat konsep film ini terasa nanggung. 

 

Situasi musikal yang nanggung ini diperparah dengan porsi yang, ironisnya, tidak bisa dikatakan banyak. Begitu kisah film ini masuk lebih jauh ke dalam kasus-kasus kriminal yang menjerat Joker, yang dibawakan via drama di persidangan, otomatis musical number dikesampingkan begitu saja.  Sedikit banyak mengingatkan dengan betapa cepatnya family drama pada prekuelnya hilang begitu Joker makin tenggelam dalam delusinya. 

 

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

 

Untungnya, konsep yang nanggung itu tidak menular pada penggambaran dan pengembangan Joker. Film ini mampu menunjukkan kembali bahwa Joker versi Joaquin Phoenix tidaklah kalah berbahaya dari versi Jack Nicholson (Batman), Heath Ledger (The Dark Knight), atau bahkan Mark Hamill (Batman: The Animated Series). Ia bisa mengerahkan massa dengan begitu effortless untuk menjalankan apa yang ia minta karena statusnya yang di-mesiaskan oleh sebagian besar pengikut radikalnya. 

 

Phoenix sendiri tampak kian “nyaman” dengan perannya sebagai Arthur Fleck maupun persona Jokernya. Ia bisa tampil sebagai kedua sisi yang kontras dari koin yang sama tersebut. Ketika tampil sebagai Arthur, Phoenix secara convincing tampak menderita, introvert,  insecure, dan kikuk, menegaskan persona Arthur sebagai pria yang tertindas oleh keluarga dan  situasi Gotham yang abusive untuk orang-orang sakit sepertinya. Kertika cerita mengharuskan ia menjadi Joker, bak hentikkan jari, ia berubah menjadi sosok yang confident, dangerous, dan karismatik dengan sebatang rokok di tangannya.

 

Karakter Harley Quinn sendiri, sebagai pendatang baru, tidak bisa dikatakan buruk. Karakternya tidak berhenti sebagai love interest semata dari Joker, namun juga berkontribusi besar terhadap kisah yang disampaikan. Harley di sini ibarat pengikut kultus Charles Manson, salah satu inspirasi karakter Joker, yang tergila-gila dan memuja Joker setinggi langit. Ia adalah jawaban dari apa yang dibutuhkan Arthur pada film pertama, sosok yang begitu menyanyangi, memanusiakan, dan memujanya, di mana tidak ia dapat dari family dan society. They are a match made in their own heaven. 

 

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

 

Lady Gaga berkontribusi dalam menghadirkan rendition Harley versi Todd Philips itu. Ia berbeda dari Harley-harley konvensional yang sudah ribuan kali ditampilkan di layar. Tapi pendapat pribadi, eneng Gaga belum memberikan performa Harley yang lebih baik jika dibandingkan dengan teteh Margot Robbie yang sangat sukses memerankan karakter Harley di film DC lainnya.

 

Mengapa Lady Gaga belum bisa menyaingi Margot Robbie? Jika kita bandingkan peran Jokernya Phoenix dengan para pemain Joker yang lama, Phoenix dapat memberikan Joker yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda. Meski Lady Gaga memerankan peran Harley Quinn yang baru dan berbeda, tapi itu dirasa belum cukup membuat kita melupakan Margot Robbie.

 

Hal itu diperburuk dengan elemen musical yang nanggung tadi, di mana tidak memberi cukup ruang bagi Gaga untuk memaksimalkan bakatnya sebagaimana terlihat di A Star is Born. Padahal, Gaga sudah memodulasi suaranya untuk memisahkan Harley as a person dan Harley sebagai lover dari Joker. 

 

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

Joker: Folie a Deux (Source: IMDB)

 

Konsep cerita yang tidak menggunakan alur dan karakter pada komik DC juga sedikit banyak berperan. Hal itu membuat karakter Harley di Joker: Folie a Deux berkembang menjadi tokoh yang terlalu berbeda, lebih independen dan tidak bergantung sepenuhnya pada karakter Joker. Ia bisa berubah 180 derajat meninggalkan Joker jika dirasaa sudah tidak lagi menarik. Persona Joker yang ia cintai, bukan Arthur-nya. Hal itu  berbeda dengan konsep Harley OG yang selalu mengekor Joker apapun yang terjadi. Meskipun Harley dibuang dan dicampakkan oleh Joker, Harley tetap menunjukan loyalitasnya. 

 

Problem pada karakter Harley juga terjadi pada karakter Harvey Dent yang dibawakan oleh Harry Lawtey. Sebuah wawancara, Lawtey menyatakan bahwa ia tidak mau menjadikan Harvey Dent manapun sebagai patokannya untuk berperan. Benar saja, karakter Harvey Dentnya jadi terlalu  berbeda, menghilangkan background dan development character  yang pernah ada di berbagai macam versi. Keseimbangan antara direksi baru dan original adalah pendekatan yang ideal, tetapi Joker: Folie a Deux lebih banyak meminjam nama-nama dari tokoh DC kemudian menyematkannya dengan alur cerita dan kualitas karakter yang jauh berbeda.

 

Akhir kata, film ini cukup baik dalam mengangkat konsep psychological drama. Sayangnya nilai thriller dan musikalnya belum cukup menjadikannya sebuah film dengan konsep yang baru dibandingkan film Joker pendahulunya. 

DIMAS FADHILLAH

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment