Gelaran Jakarta World Cinema (JWC) telah berakhir. Namun, kesan mendalam yang timbul dari film-film terbaik berbagai belahan dunia masih terasa. Salah satu karya fenomenal dari JWC yang menjadi favorit penonton tahun ini adalah The Substance karya Coralie Fargeat.
Mengambil latar hingar bingar gemerlapnya Hollywood, The Substance berfokus pada kisah Elisabeth Sparkle (Demi Moore). Di duinia hiburan, Elisabeth dikenal karena kecantikannya dan telah memandu acara aerobik fenomenal di televisi selama bertahun-tahun.
Permasalahan muncul ketika ada rencana dari produser Elisabeth untuk menggantikannya dengan sosok baru yang lebih fresh. Umurnya yang sudah tak lagi muda membuat Elisabeth sudah tak lagi ‘menjual’ bagi industri hiburan. Tubuh dan wajah cantiknya mulai tergerus oleh usia, dengan keriput dan suntikan botox menonjol di segala penjurut mukanya. Tentu menjadi momok menakutkan baginya yang hidup di dunia yang menuntutnya tampil tak bercela.
Hal itu terus menghantuinya sampai suatu hari Elisabeth menerima informasi tentang ‘The Substance’. ‘The Substance’, sebagai sebuah obat-obatan, menjanjikan solusi atas masalah yang dihadapi Elisabeth, “replika” dirinya yang tak hanya lebih muda, tetapi juga lebih cantik. “Dirimu yang sempurna”, iming-iming substansi tersebut. Tergiur dan desperate, Elisabeth mencobanya, melahirkan replika dari balik tubuhnya yang ia namai “Sue” (Margaret Qualley)
Sue tidak hanya lebih muda. Ia juga jauh lebih cantik dan jauh lebih pede. She’s ready to rock the entertainment world, seakan-akan tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Hilang sudah insecurity, low self-esteem, kerutan, dan bekas-bekas botox yang selama ini meramaikan dirinya. Tapi, apakah pemakaian The Substance seindah itu, menghapuskan semua masalah yang selama ini ia khawatirkan? Realitanya tidak semudah dan seindah itu.
Layaknya obat-obatan yang lain, ada terms & conditions yang harus diperhatikan oleh Elisabeth. Salah satu peraturan yang krusial adalah hasil replikasi oleh The Substance, dan dirinya yang asli, harus bergantian setiap minggunya. Tepat 7 hari. Peringatan The Substance mewanti-wanti perihal pentingnya keseimbangan antara dua persona yang timbul dari pemakaiannya karena mereka tahu betul kecantikan, di dunia hiburan, mendatangkan power, power is sexy, sexiness is addictive, dan addiction is dangerous.
Benar saja, memakai The Substance tidak serta menghapus semua masalah Elisabeth. Sebaliknya, menimbulkan masalah baru, krisis identitas, antara siapa diri Elisabeth yang definitif, Elisabeth atau persona Sue-nya. Krisis tersebut membuat hidup Elisabeth tidak karuan. Keadaan dari satu minggu ke minggu lainnya begitu kontras, membuat dirinya kesulitan mengendalikan antara persona yang satu dengan yang lain.
Saat menjadi Sue, seakan-akan hidupnya penuh dengan kesenangan dan dirinya menjadi pusat perhatian yang diinginkannya. Seakan-akan sedang berada di surga. Namun, saat berganti kembali menjadi Elisabeth, suasana berubah menjadi kelam dan gelap. Hari-hari yang dilaluinya seperti sedang berada di neraka.
Keadaan kontras inilah yang membuat persona Sue pada diri Elisabeth berusaha untuk take control, menjadi persona yang definitif dan bertahan lebih lama. Segala cara pun dilakukan. Penyimpangan dilakukannya hingga rules utama penggunaan The Substance pun dilanggar. Konsekuensi yang tak pernah ia bayangkan pada tubuhnya perlahan mulai muncul.
Krisis identitas, sisi gelap dunia hiburan, dan inevitable decline of aging di balik kisah body horrornya membuat The Substance pun berhasil menjadi sajian horror yang menarik, fresh dan total. Tak sekadar untuk menakut-nakuti atau membuat bergidik ngeri, tapi juga membuat kita membayangkan betapa kejamnya dunia hiburan dengan segala obsesinya akan kecantikan yang sejatinya tidak abadi itu.
Plot sangat otentik dan rapi. Motivasi Elisabeth pun jelas terbingkai lewat perasaan dan emosi dari hal-hal yang dilaluinya. Konflik antara persona dirinya dan Sue yang lebih muda pun sedikit banyak mengingatkan dengan pertempuran Narrator dan Tyler Durden di Fight Club, sementara latar dunia hiburannya mengingatkan dengan Sunset Boulevard yang klasik itu.
Menarik bagaimana cara Fargeat mendireksi film ini agar ceritanya mengalir dengan mulus. The Substance tak mencoba untuk menjerumuskan tokoh utamanya dalam plot yang sudah ditentukan. Ada pilihan atau cara-cara yang diberikan pada Elisabeth maupun Sue untuk menghindari kengerian yang mereka alami, baik secara jasmani maupun rohani.
Mulai dari pilihannya untuk berdamai dengan keadaan dirinya dan memulai hidup baru di usianya sekarang, hingga pilihan untuk menghentikan layanan The Substance. Tentu pilihan itu tak akan dipilihnya. Predictable? Jelas. Film ini sejatinya sangat mudah diketahui alurnya dan kita tahu bahwa Elisabeth memiliki pilihan dalam hidupnya. Namun bagaimana hal yang tertebak itu masih bisa disisipi kejutan-kejutan di luar nurul, yang mengguncang fisik dan menyipitkan mata, adalah hal yang menjadi kekuatan film ini.
Penampilan Demi Moore sebagai Elisabeth dan Margaret Qualley sebagai Sue benar-benar sangat memukau. Keduanya memiliki persona kuat untuk identitasnya masing-masing. Yang tak kalah memukau juga adalah special effect, makeup, dan hal-hal teknis lainnya untuk dapat membangun kengerian yang terasa sangat nyata. Semua terbingkai cantik dalam balutan sinematografi yang indah. Permainan warna, penempatan objek, hingga transisi antar scene sangat kreatif dan cukup eksploratif. Hal ini juga yang membuat durasi 140 menit tak terasa membosankan.
Meskipun banyak aspek yang mengesankan, The Substance rasanya bukan film yang dapat dinikmati semua orang. Bagi yang menyukai genre body horror mungkin akan terkesan dengan apa yang ditampilkan Namun, bagi yang tak terbiasa dengan genre seperti ini, tentu tak mengherankan jika tak suka. This is not a movie for the fainted heart.
Bagi penulis pribadi, mungkin agak sulit menemukan kekurangan dari film ini, karena banyak aspek yang berhasil membuat penulis terkesan. Namun bagus atau tidaknya sebuah film kembali lagi pada setiap penonton yang menikmatinya.
Maka, tak berlebihan rasanya jika mengatakan ‘The Substance’ adalah salah satu film tersolid di tahun ini. Segala elemen di dalamnya sangat kuat, tak hanya dari totalitas body horror yang ditampilkan, namun juga meninggalkan pesan, bahwa apapun pilihan yang kita ambil tentu punya resiko dan konsekuensinya masing-masing, di manapun kita berada.
Melihat tema film dan beberapa scene yang cukup explicit, nampaknya agak sulit untuk berharap film ini dapat penayangan reguler di bioskop. Kalau pun, iya, tentu akan banyak sensor yang cukup mengganggu pengalaman menonton.
Namun yang pasti, jika suatu saat ada kesempatan untuk menonton The Substance, segeralah menonton untuk dapat merasakan pengalaman menonton film bertema body horror yang berbeda dari yang lain dengan presentasi dan persona yang kuat.
NOTE : The Substance sangat tidak disarankan bagi penonton yang memiliki Trypanophobia (ketakutan pada jarum suntik), ketakutan terhadap luka terbuka, hingga darah. I warned You!