Ali Topan mungkin merupakan salah satu karya yang tak asing bagi kebanyakan orang. Berawal dari novel “Ali Topan Anak Jalanan” karya Teguh Esha yang kemudian difilmkan pada tahun 1977. Tak banyak yang tahu kalau cerita Ali Topan bermula dari cerita bersambung yang terbit di salah satu majalah tahun 1972.
Dari bentuk novel dan film kemudian “Ali Topan Anak Jalanan” diadaptasi menjadi series (atau lebih tepat disebut sinetron) pada tahun 90an. Selang beberapa dekade, Visinema dan Legacy Pictures mengangkat kembali kisah Ali dengan judul yang lebih ringkas yaitu, “Ali Topan”.
Bukan tanpa alasan akhirnya film ini hanya mengambil judul “Ali Topan”. Upaya untuk menyesuaikan jaman serta pergaulan dilakukan agar film ini masih relevan. Tren anak muda yang edgy adalah mereka-mereka yang biasanya dijuluki anak skena. Ali Topan masa kini pun menjelma menjadi anak muda skena yang menyuarakan suara kaum yang terpinggirkan.
Melalui warung seni yang diinisiasi oleh Ali dan teman-temannya, sebuah konser amal hendak dilakukan. Di tengah persiapannya, Ali dipertemukan dengan Anna Karenina, seorang anak pengusaha properti dan industri ternama. Pertemuan keduanya tak disengaja karena Anna ‘dibawa kabur’ oleh sahabatnya yang juga anggota geng Ali.
Tak disangka, walaupun cara pendekatan yang agak cringe, Ali berhasil menarik hati Anna. Anna melihat sesuatu pada Ali yang tak dapat dimilikinya, yaitu kebebasan.
Orangtua yang demanding membuat Anna tak dapat bebas memilih jalannya sendiri. Ya, apa yang dirasakan oleh Anna mungkin masih sangat relevan bagi anak muda sekarang. Anak muda yang menginginkan kebebasan namun tak pernah bisa bebas dari yang mengekang mereka.
Namun,tentu kehadiran Ali di kehidupan Anna membuat banyak pihak kebakaran jenggot., Termasuk Boy, anak seorang menteri, yang memang mengincar hati Anna. Menggunakan segala yang Ia punya, Boy mencoba untuk mengusik hubungan Anna dan Ali.
Boy menjadi simbol dari kaum kelas atas yang memiliki segudang privilege. Tentu kehadiran Boy menjadi sosok antagonis mutlak yang mudah ditemui saat ini. Di mana banyak para pejabat dapat menggunakan segala yang ia miliki demi kepentingan pribadi dan menguntungkan diri sendiri.
Puncaknya adalah ketika Boy merekayasa kericuhan yang terjadi saat konser amal di warung seni sedang berlangsung. Alhasil, warung seni milik Ali dan kawan-kawan ditutup.
Di tengah kegaduhan tersebut, Ali malah kabur bersama Anna. Bermodalkan sepeda motor dan kenekatan, sepasang sejoli ini melakukan perjalanan mencari kebebasan.
Memang sejujurnya bukanlah pilihan yang baik untuk anak muda kabur dari masalah. Namun, seiring berjalannya waktu, kita akan melihat bagaimana Ali dan Anna berjuang di tengah krisis yang sedang dialami mereka berdua.
Film garapan sutradara Sidharta Tata ini berhasil membawa kisah Ali Topan yang legendaris menjadi sangat relevan dirasakan oleh penontonnya. Tak hanya sekadar membawa sebuah karya IP yang beken di masa lalu, namun cerita juga berhasil dibangun kembali dengan tidak sembarangan.
Keputusan untuk membuat film lebih relatable dengan memasukan unsur skena ataupun musik dan komunitas underground digarap dengan tidak asal-asalan. Semuanya berhasil disokong dengan baik lewat tata rias dan production design yang mumpuni.
Selain itu, chemistry antara Jefri Nichol dan Lutesha sebagai Ali dan Anna benar-benar menjadi kekuatan dari film ini. Romance yang ditampilkan tidak murahan dan tak seperti yang ditampilkan pada film-film Indonesia kebanyakan. Tak selalu momen kebersamaan mereka diromantisasi sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati tanpa harus berlarut-larut dalam percintaan belaka.
Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana pemilihan lagu soundtrack yang dirasa sangat pas. Soundtrack tak hanya menjadi musik pengiring, namun juga membantu para tokoh bercerita.
Lagu-lagu yang dipilih juga berhasil menggambarkan pribadi Ali Topan dan juga teman-temannya. Sebut saja beberapa lagu seperti “Kuning” dari Morfem dan “Serana” dari For Revenge yang punya lirik cukup sentimental yang dirasa dapat membuat beberapa yang menontonnya menitihkan air mata.
Walaupun punya segudang potensi, Ali Topan tak begitu berhasil mengeksekusi cerita dengan mulus. Timbunan subplot yang sebenarnya menarik untuk diulas, namun tak terselesaikan dengan jelas.
Tak terlalu banyak penggambaran latar belakang tokoh, termasuk Ali dan Anna. Sampai akhir film tak terlalu jelas sebenarnya Anna ini berkuliah di mana dan jurusan apa. Penggambaran mengenai teman-teman Ali dan bagaimana mereka bisa menjadi satu geng pun sangat minim. Juga dengan Boy yang tidak diketahui motivasinya untuk mendapatkan hati Anna. Dan masih banyak hal lain yang tak terjelaskan dalam film ini.
Walaupun demikian, film ini berhasil menghidupkan kembali kisah legendaris ini dengan sentuhan yang sesuai dengan zaman yang terus berubah. Ali Topan dapat disaksikan mulai 14 Februari 2024, di bioskop terdekat.