Opium merupakan salah satu jenis obat-obatan yang sering disalahgunakan di masyarakat. Biasanya, Opium diresepkan sebagai pereda nyeri pada beberapa kasus seperti pasca serangan jantung yang berat atau kanker terminal akhir. Namun, tak jarang, bahkan sering, opium digunakan untuk mengobati beberapa penyakit yang tidak memerlukan pereda nyeri kuat. Efek sampingnya, malah menjadikan pasien kecanduan opium.
Di Amerika Serikat, kecanduan opium telah dideklarasikan sebagai bahaya nasional karena mengakibatkan kematian hingga 453 ribu jiwa antara tahun 1999 hingga 2016. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab tingginya angka kecanduan opium adalah peresepan oleh dokter, yang di balik itu terdapat peran korporasi farmasi untuk meraih keuntungan dari penderitaan pasien. Salah satu jenis oipum yang paling umum digunakan adalah fentanil.
Menariknya, masih sedikit sineas yang mengangkat topik tersebut di ranah sinema komersial, meskipun telah banyak didokumentasikan dalam bentuk film dokumneter. David Yates , yang lebih dikenal membesut empat film terakhir Harry Potter, menghadirkan bagaiamana perusahaan farmasi besar memasarkan fentanil dan berperan dalam mengakibatkan epidemi opioid.
Ibu Tunggal, Penari Striprease, dan Sales Obat-obatan
Liza Drake (Emily Blunt), adalah seorang ibu tunggal lulusan SMA yang berusaha menghidupi dirinya dan putri semata wayangnya, Phoebe. Suat hari, ketika ia bekerja di klub striptease, dirinya bertemu dengan seorang eksekutif perusahaan farmasi, Pete Brenner (Chris Evans). Long story short, keduanya berbincang soal karir masing-masing yang membuat Pete kagum akan kerja keras Liza. Ia kemudian berinisiatif menawarkan Liza pekerjaan sebagai sal di tempat ia bekerja, Zanna.
Tanpa Liza ketahui, Zanna, perusahaan tempat Pete bekerja, sedang menghadapi kebangkrutan karena tidak ada satupun dokter yang mau menggunakan obat mereka, Lonafen. Maka tugas berat bagi Liza untuk menemukan dokter yang mau menggunakan obat mereka agar menghindari perusahaan dari kebangkrutan. Gawatnya, pesaing mereka pun banyak dan mereka siap menghalalkan segala cara, termasuk menyuap dokter dengan tiket liburan atau hadiah hadiah berharga.
Tanpa disangka, Liza berhasil membujuk seorang dokter untuk menggunakan Lonafen kepada salah satu pasiennya. Dengan segera, Zanna terhindar dari kebangkrutan seiring semakin banyak dokter yang meresepkan Lonafen berkat strategi Liza dan Pete. Trik Liza satu, memanipulasi para dokter dengan menjadi tempat curhat mereka, sementara Pete yang mengurus aspek bisnis. Dengan cepat karir Liza dan Pete meroket, memungkinkan mereka merekrut sebanyak mungkin orang untuk mereplikasi strategi Liza ke dokter-dokter lainnya.
Masalah kemudian datang ketika Liza dihadapkan dengan berbagai masalah seperti munculnya tumor pada otak putrinya dan beberapa kasus kematian akibat overdosis Lonafen. Liza yang menyadari akhir dari Zanna kemudian mencoba mundur dan menyelamatkan dirinya dari kejatuhan Zanna. Pete, yang sudah kenyang akan kesuksesan, sebaliknya, merasa Zanna masih bisa dieksploitasi lebih jauh. Keduanya yang sebelumnya rekan, berakhir menjadi dua figur yang mencoba memenuhi kepentingannya masing-masing di Zanna.
Eksekusi Yang Kacau Dari Cerita ala The Big Short dan The Wolf of Wall Street
Kredit terbesar patut diberikan pada Emily Blunt sebagai sosok sentral cerita. Penggambaran Liza sebagai ibu tunggal yang kalang kabut mencari uang demi hidup dirinya, putri, dan ibunya hingga mengampukan dirinya membujuk seorang dokter menggunakan obatnya sekiranya mirip dengan aksi Leonardo DiCaprio di The Wolf of Wall Street. Sayangnya, penampilan inspiratif Blunt justru gagal mengangkat penceritaan film yang tidak mengeksplorasi karakter lainnya, termasuk karakter Chris Evans yang tidak mampu mengimbangi Blunt sebagai lead actor.
Penggambaran karakter Liza Drake sebagai POV tampak meyakinkan sebagai kompas moral layaknya peran serupa Blunt sebagai Kate Macer di Sicario. Sayangnya, cerita tidak menyediakan karakter yang kuat pada di Pete Brenner, dengan kita hanya diperlihatkan totalitas Chris Evans beraksi melakukan hal-hal liar yang mirip salah satu dedengkot Stratton Oakmont-nya Jordan Belfort. Pete mungkin disajikan sebagai sosok yang membimbing Liza ketika pertama kalai terjun ke dunia farmasi dengan menunjukkan sisi gelap dan kotornya, namun akhirnya karakternya tenggelam ketika Liza menyadari jalannya keliru dan berbelok untuk menjatuhkan Zanna.
Bagaimana dalam sisi penceritaan? Diambil dari artikel berjudul serupa oleh Evan Hughes di New York Times Magazine, Yates dan penulis skenario Wells Tower mengadaptasi cerita dengan pendekatan non-konservatif. Keduanya sering menyelipkan wawancara beberapa karakternya untuk memperjelas scene kepada para penonton, layaknya reality show, dokumenter, atau bahkan mockumentary. Paruh pertama film pun berjalan lancar dengan menyandingkan penggambaran latar belakang Liza dengan kondisi Zanna berkat peran karkater Liza sebagai POV penonton. Namun, tempo film justru melamban hingga menimbulkan konklusi yang tidak memuaskan akibat betapa mudahnya akhir cerita tercapai.
Yates dan Tower tidak mampu menyajikan cerita gelap bagaimana kapitalisme (industri farmasi) mengeksploitasi penderitaan rasa sakit pasien karena mencoba menjadi lurus, yang sayangnya hal itu justru menjadikan filmnya hambar. Pendekatan McKay di The Big Shorts dan Martin Scorsese di The Wolf Wall Street harusnya memberikan Yates contoh untuk tidak perlunya sebuah kompas moral di mana pelaku kapitalisme hidup. Pada akhirnya, Pain Hustler hanya menjadi sajian yang tanggung tentang bagaimana industri farmasi bertanggung jawab pada penderitaan jutaan pasien.