The Crow (Source: IMDB)
Review The Crow (2024): Remake Yang Hancur Lebur

Dalam dunia perfilman seringkali kita menemukan karya yang mengusung konsep dan ide yang sangat menarik, berusaha mengeksplorasi tema-tema yang mendalam dan emosional. Namun, konsep yang inovatif dan penuh semangat tidak selalu berujung pada hasil yang memuaskan. Langkah atau uji coba kreatif seperti itu sering kali membuka pintu untuk penilaian yang lebih mendalam (dan kritis) tentang bagaimana ide-ide tersebut diimplementasikan. Itulah yang terjadi pada The Crow (2024), film The Crow kesekian sekaligus remake dari film pertamanya yang infamous akibat “menewaskan” putra aktor laga Bruce Lee, Brandon Lee.

 

Berrusaha mempertahankan spirit film aslinya, The Crow sejatinya adalah sebuah film yang menawarkan keunikan dalam premisnya—mengisahkan seorang pria yang dibunuh bersama cinta dalam hidupnya dan bangkit dari kematian untuk membalaskan dendamnya. Dalam hal ini, film ini tidak hanya memiliki integritas dalam konsepnya, tetapi juga mencoba menyajikan sesuatu yang berbeda dalam genre thriller balas dendam. Namun, seperti yang sering terjadi dalam dunia perfilman, integritas dalam konsep tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas yang memuaskan.

 

Dari segi elemen cerita, film ini memiliki banyak kelemahan. Salah satu yang utama adalah penggunaan kilas balik yang sarat simbolisme terhadap trauma masa kecil Eric Draven ( Bill Skarsgård). Kilas balik ini, yang melibatkan perjalanan Draven ke rumah sakit jiwa, terkadang terasa memaksa dan tidak selalu sukses dalam memperdalam karakterisasinya. Sementara itu, kisah cinta utama, yang seharusnya menjadi pusat emosional dari film ini, tidak terdevelop dengan baik.

 

The Crow (Source: IMDB)

The Crow (Source: IMDB)

 

Hal itu berdampak pada proses transformasi Eric menjadi The Crow itu sendiri. Proses bercerita yang lamban, rumit, tidak fokus, dan kurang terstruktur, membuat trasnsformasi Eric menjad The Crow, malaikat kematian dengan sentuhan mirip Joker, terasa kurang convincing dan menghentak. Eric baru terasa menyakinkan sebagai The Crow di akhir film. 

 

Meskipun sistem metafisik yang mendukung alur ceritanya terkesan rumit, film ini mengejutkan dengan kemampuannya untuk meyakinkan di bagian akhir. “The Crow” tidak hadir untuk mencari teman, tetapi untuk menjadi diri sendiri, dan itu tampak jelas dalam pelaksanaan ceritanya. Film ini berusaha untuk mencerminkan semangat karya-karya John Keats dan Edgar Allan Poe, serta mengadaptasi materi sumbernya dari novel grafis karya James O’Barr.

 

Kekerasan yang ditampilkan sangat brutal, bahkan menurut standar film thriller balas dendam—terlihat sangat flamboyan dan berlebihan, mirip dengan film thriller art-house/grindhouse seperti “Drive” atau “Only God Forgives.” Seolah-olah film ini berusaha keras untuk mengejutkan penonton yang sudah terbiasa dengan segala jenis kejutan. Namun, tidak ada dunia yang dapat menjadikannya film yang hebat, atau bahkan yang bersifat komersial.

 

Sektor cerita tersebut diperburuk akting yang kurang memadai pula, salah satunya dari FKA Twigs, yang memerankan love interest sekaligus motivasi utama dari misi balas dendam Eric.  Bill Skarsgård, meskipun berusaha keras, tidak jauh lebih baik. Keduanya tampaknya berinvestasi penuh dalam kisah cinta tersebut, tetapi mungkin akan lebih baik jika karakter-karakter mereka tidak tampak teler bahkan ketika mereka tidak menggunakan narkoba.

 

The Crow (Source: IMDB)

The Crow (Source: IMDB)

 

Sutradara Rupert Sanders, yang sebelumnya dikenal dengan “Snow White and the Huntsman” dan “Ghost in the Shell,” tampaknya terlalu bergantung pada montase stereotip “pasangan kekasih yang sedang bersenang-senang” yang tampaknya diisi dengan makna sekunder. Adegan seperti Eric mencium Shelly melalui tirai putih tipis yang menunjukkan kain kafan, dan gambaran seperti “Titanic” tentang dirinya tenggelam ke dalam kegelapan pelabuhan, terasa seperti upaya berlebihan yang dapat digantikan dengan adegan yang lebih manusiawi dan autentik.

 

Tokoh antagonis utama dalam film ini, Roeg (diperankan oleh Danny Huston), bukanlah penjahat manusia biasa, tetapi makhluk jahat dan kuat yang telah ada sejak lama. Berbeda dengan kisah-kisah legenda The Crow sebelumnya, film ini mengandung banyak elemen gaib, di luar sekadar menghidupkan kembali tokoh utama.

 

Lewat villlainnya, film ini menggambarkan kejahatan sebagai sumber kekuatan atau energi yang dapat dimanfaatkan untuk merusak dan menghancurkan. Hal ini membawa cerita lebih dekat ke kisah Orpheus, yang mencoba menyelamatkan istrinya Eurydice dari Hades, meskipun “The Crow” menghabiskan sebagian besar adegan metafisiknya di ruang antara yang penuh api penyucian.

 

 

 

Salah Besar Membandingkannya Dengan The Crow 1994

 

The Crow (Source: IMDB)

The Crow (Source: IMDB)

 

Jika kita melihat ke belakang pada versi 1994 yang disutradarai oleh Alex Proyas, film tersebut menjadi contoh bagaimana gaya visual yang kuat dapat menjadi substansi. Karakterisasi dalam versi Proyas mungkin datar sekaligus ikonik, namun tampilannya sangat dipengaruhi oleh video musik kontemporer, sampul album, dan seni komik.

 

Setelah Brandon Lee meninggal dunia karena kecelakaan senjata properti, tim produksi menggunakan stuntman, yang di masa depan menjadi sutradara seri John Wick, Chad Stahelski  dan teknik pengkomposisian kasar untuk memastikan The Crow pertama dapat dirilis. Hasilnya adalah film yang terasa dihantui oleh kematian dalam lebih dari satu cara. Meskipun hasil akhirnya lebih baik daripada yang diharapkan, seharusnya diakui bahwa hal itu tidak lepas dari bagaimana penonton mengetahui trauma yang nyata di balik produksinya. 

 

The Crow terbaru tidak bebas dari masalah walau apa yang dialami tidak setragis film pertamanya. Film ini telah mengalami berbagai perubahan sejak 2008 dengan banyak sutradara dan aktor yang terlibat. Walau pada akhirnya berhasil dibuat, seperti yang kalian bisa baca di atas,  hasil akhirnya mengecewakan. The Crow 2.0″ adalah bencana total yang tak terduga. Alur cerita yang tidak koheren dan pembuatan yang asal-asalan menjadikannya salah satu pembuatan ulang terburuk dan paling tidak berguna yang pernah dibuat.

 

The Crow (Source: IMDB)

The Crow (Source: IMDB)

 

Versi baru ini tidak terfokus, tidak bertenaga, dan tidak lincah seperti film tahun 1994. The Crow 2024 lebih terasa seperti sebuah film sedih dengan sedikit elemen film horor dan dongeng Eropa Utara. Skarsgård yang berotot dan kekar tidak memiliki keanggunan seperti Brandon Lee. Jika Eric Draven dalam versi Lee adalah sosok yang licik dan penuh daya tarik, Skarsgård lebih mirip golem tanah liat yang merenung, yang diciptakan untuk menghancurkan kejahatan.  Dia terlihat juga seperti white rapper Amerika karena ada beragam bentuk tato di tubuh dan di wajah. 

 

Film ini tampaknya paling memahami dirinya sendiri saat menunjukkan bagaimana Eric, yang berubah menjadi mesin pembunuh demi penebusan dan keadilan, telah memilih untuk menjadi apa yang dilihatnya. Dia mengosongkan dirinya dari cinta yang membuatnya lebih baik saat Shelly masih hidup. Efek di layar mencerminkan kalimat Edgar Allan Poe, “Tahun-tahun cinta telah terlupakan, Dalam kebencian sesaat.” Meskipun film ini tidak sepenuhnya berhasil dalam pengertian konvensional, ada momen-momen yang benar-benar memukau.

 

Ada sebuah adegan di mana Eric dan Shelly berjalan melintasi jembatan dan Shelly, tanpa bercanda, berbicara tentang melompat, membayangkan lompatan ganda yang berakhir dengan kematian mereka. Shelly membayangkan bahwa para remaja akan membuat kuil untuk mereka. Mungkin, suatu hari nanti, para remaja akan membuat kuil mereka sendiri untuk film ini, dengan cara mereka sendiri. Ini adalah jenis film yang, jika Anda menontonnya saat berusia 14 tahun, mungkin akan Anda tonton berulang kali dan menginspirasi Anda untuk menjelajahi lebih banyak karya seni dan puisi.

 

The Crow (Source: IMDB)

The Crow (Source: IMDB)

 

Akhir kata, seperti kebanyakan remake, tidak mengherankan film ini gagal. Sejak awal memang tidak pernah ada kebutuhan nyata untuk membuat ulang The Crow.  Film aslinya masih layak untuk ditonton berkat arahan Alex Proyas yang sangat bergaya dan kehadiran Brandon Lee yang tragis.

 

Meskipun The Crow terbaru menawarkan jalan yang mungkin bisa menuju sesuatu yang lebih baik, penulis William Schneider dan Zach Baylin tampaknya memilih untuk melewatkan kesempatan ini dan memilih jalan yang lebih buruk. Penampilan Bill Skarsgård sebagai Eric Draven dan FKA Twigs sebagai Shelly tidak berhasil membawa karakter-karakter ini ke dalam kehidupan dengan cara yang memadai. Mengubah latar asli dan menghilangkan realisme yang mendasarinya untuk menciptakan fantasi monster-of-the-week yang konyol adalah langkah yang sangat salah dan menghancurkan. Perubahan demi perubahan hanya memperburuk kualitas film, membuatnya menjadi produk yang sulit dipahami dan tidak layak untuk dirilis.

 

MARTIN AXCEL

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment