Review Tár: Ada Politik Di Balik Musik

Belakangan ini, cara mengapresiasi seni kerap direduksi mengikuti identitas macam apa yang sedang dianut si pembuatnya. Bahkan, seni yang dihasilkan pun kerap dipolitisasi tergantung kepentingan siapa yang sedang ditunggangi. Meski bukan sebuah sentilan langsung, Tár adalah judul film yang berhasil menempati posisi senetral mungkin untuk menjadi pengamat di antara dua kutub politik berseberangan.

 

Kisah Tár dibuka dengan monolog panjang yang menjabarkan apa saja prestasi gemilang yang berhasil diraih oleh Lydia Tár (Cate Blanchett) sebagai konduktor-komposer wanita di tengah dominasi kaum pria di profesi yang sama. Raihan penghargaan EGOT seolah menjadi penegas kejeniusannya dalam meracik komposisi musik.

 

Layaknya seorang jenius super terkenal, hidup Lydia tidak jauh dari penyakit khas yang selalu menghampiri orang di puncak ketenaran. Sejatinya dia adalah sosok megalomaniak egois yang merasa mempunyai kuasa tak terbatas. Langkah otoriter kerap ditempuh demi menghasilkan sebuah karya musik yang sempurna. Tak pernah terlintas di kepalanya bahwa para korban dari metodenya kelak akan menjadi sumber masalah yang bakal terus menghantam.

 

Tár (source: IMDB)

Tár (source: IMDB)

 

Di bawah komando Todd Field, Tár berhasil memaparkan segala bentuk politik di belakang layar pertunjukkan orkestra dengan cukup akurat. Adegan yang melibatkan berbagai permainan instrumen musik juga terlihat sangat otentik. Satu-satunya masalah film ini yang mencegah banyak orang untuk menontonnya adalah di satu jam pertamanya.

 

Satu jam pertama film ini berisi sekumpulan dialog panjang yang entah ingin mengarah ke mana dan berpotensi menjemukan. Meskipun begitu, dialog panjang ini juga berfungsi untuk menjelaskan bagaimana politik di dalam musik bekerja. Tentu saja pemilihan anggota dan kru orkestra bukan semata-mata hanya karena dia jago, tapi juga harus didasari kontribusi sekunder apa yang berhasil ditawarkannya. Dalam hal ini, Tár berhasil memuluskan eksposisinya dengan baik.

 

Karena ini adalah biopik tentang seorang konduktor-komposer fiktif, bagaimana dengan pengalaman musikalnya? Well, rasanya seperti dipaksa menelan ceramah dari guru musik setelah kita lupa berlatih materi musik harian. Omelannya tidak jauh dari “Mozart dulu waktu kecil…” atau “kamu nggak malu sama Beethoven yang tuli…”. Bagi siapapun yang pernah mengikuti kursus musik, sosok Lydia Tár dijamin berhasil membangkitkan semua memori menegangkan itu.

 

Kalau bukan karena Lydia Tár, film ini hanya berakhir menjadi eksplorasi musik tanpa esensi. Karakternya yang kejam tapi penuh dedikasi digambarkan dengan sangat baik oleh sebuah adegan di satu jam pertamanya. Tengok saja bagaimana dia tidak ragu mempermalukan seorang mahasiswa hanya karena mengaitkan komposer masa lalu seperti Bach dengan tendensi misoginisnya. Bagi Lydia, sebuah seni harus diapresiasi apa adanya,  lepas dari identitas yang dianut  penciptanya.

 

Tár (source: IMDB)

Tár (source: IMDB)

 

Lydia memanglah unik dan kontradiktif. Di dunia nyata, dia bisa saja menjadi orang yang selalu dibela para SJW karena kehidupan pribadinya. Namun di sisi lain, dia sendiri juga sosok yang melawan budaya cancel culture buatan para SJW itu tadi. Karena itulah, sosok Lydia Tár yang diperankan oleh Cate Blanchett dengan kualitas akting oscars worthy ini berhasil menempatkan posisi filmnya dengan tanpa memihak.

 

Walaupun digambarkan penuh prestasi, tapi kemampuan Lydia dalam mengolah dan menciptakan komposisi miliknya sendiri tidak pernah ditunjukkan. Kita tidak memiliki bukti apapun dia dapat menggubah komposisi musik apapun yang mengantarkannya ke berbagai penghargaan bergengsi. Satu-satunya bukti Lydia memiliki kepekaan musik di atas rata-rata hanyalah saat dia berhasil menerjemahkan bunyi acak seperti suara bel ke dalam not musik. Itupun tidak pernah dijelaskan apakah kemampuan ini hanyalah relative pitch atau karunia langka berupa perfect pitch yang termahsyur itu.

 

Dengan durasi yang menyentuh dua jam lebih, film ini harusnya memiliki ruang untuk sekadar menunjukkan kemampuan Lydia hingga semua orang rela menuruti semua tuntutannya. Sayangnya kemampuan musikal Lydia hanya sebatas ajang pamer istilah teknis musik yang pretensius. Sebut saja glissando, crescendo, pianissimo dan lain-lain.

 

Seperti berbagai istilah musik yang bisa dikutip dari Lydia, pianissimo yang lembutnya hampir menyerupai keheningan adalah bagaimana babak pertama film ini bercerita. Diikuti oleh mezzo sebagai lompatan intensitas yang mewakili babak keduanya, dan diakhiri dengan hentakan forte di mana semua instrumen seolah berdesakkan mengisi lembar partitur layaknya masalah-masalah yang dialami Lydia di babak ketiganya.

 

Tár (source: IMDB)

Tár (source: IMDB)

 

Sulit untuk tidak mengira kalau film ini adalah biopik nyata. Sosok konduktor-komposer narsistik seperti Lydia adalah hal wajar yang bisa kita temui di konservatori musik. Sejatinya Tár adalah sebuah repertoire dalam wujud visual yang sama-sama memuat tiga babak penuh dinamika.

 

Lydia Tár mungkin bukanlah seorang manusia sempurna, tapi dia adalah pegiat seni penuh dedikasi yang mengutamakan keindahan seni sebagai ekspresi jiwa berisi kebahagiaan maupun kesedihan. Nama belakangnya pun juga merupakan akronim dari tiga kata bermakna berbeda. Tár adalah dia apa adanya, Rat adalah tabiat buruknya, dan Art adalah keindahan yang ingin dia bagikan.

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment