Tidak bisa dipungikiri bahwa Inside Out 1, yang rilis 9 tahun lalu, merupakan salah satu karya Pixar terjenius. Disutradarai Pete Docter, yang sekarang menjabat Kepala Kreatif Pixar sepeninggalan John Lasseter, film tersebut menelusuri sisi psikologis anak-anak untuk melihat elemen inner-self apa saja yang mendefinisikan mereka. Melanjutkan kisah tersebut adalah tantangan besar dan “beban” itu jaduh ke pundak Kelsey Mann, sutradara pendatang baru di Pixar.
Inside Out 2 adalah babak baru dengan emosi-emosi baru mengisi inner-self Riley (Kensington Tallman), protagonis dari Inside Out 1. Menginjak usia 13 tahun, Riley dikisahkan memasuki masa puber di mana ia mulai mempertanyakan self-concept, value, dan aspiration dirinya. Dari yang awalnya ia begitu pede dan ambisius untuk menjadi atlet ice hockey, sekarang ia ketakutan akan pilihan-pilihan yang telah ia ambil. Bahkan, Riley menyakini the world is currently against her karena apapun yang ia lakukan terasa salah.
Deep down, dalam dirinya, pergulatan besar, sebuah hostile takeover, memang tengah terjadi. Emosi-emosi baru, manifestasi dari ketakutan Riley, bermunculan. Mereka adalah Anxiety (Maya Hawke), Envy (Ayo Edebiri), Embarrasment (Paul Walter Hauser), dan Boredom ( Adele Exarchopoulos). Secara paksa mereka mengambil alih kendali diri Riley dari Joy (Amy Poehler), Anger (Lewis Black), Fear (Tony Hale), Disgust (Liza Lapira), dan Sadness (Phyliss Smith).
Apa yang terjadi selanjutnya adalah petualangan dan pertarungan emosi yang akan menentukan jati diri Riley ke depannya yang gawatnya terjadi di saat Riley mengikuti hockey camp yang ia impi-impikan.
Friendship and family are still the essence of this movie, walau begitu hal tersebut tidak mengurangi daging utama franchise Inside Out soal eksplorasi inner-self remaja puber. Emosi-emosi baru diperkenalkan secara rancak dan detail di bawah direksi Kelsey Mann. Bagaimana mereka bekerja di otak Riley dan apa dampaknya ke karakter dia tetap asyik dilihat. However, rest assured, kehadiran emosi-emosi baru tadi tak serta merta menghapus peran ensemble emosi yang lama.
Film ini menegaskan bahwa pada akhirnya kita tidak bisa mengabaikan satu emosi dan hanya mengandalkan emosi tertentu. Inside Out 2 menggambarkan bahwa sejatinya proses sebuah pendewasaan itu ditandai dengan penerimaan perasaan dan emosi-emosi baru, tetapi tanpa meninggalkan emosi yang sudah lama hadir.
Mengikuti kisah Riley mencoba menerima emosi-emosi barunya is like walking down a memory lane, mengingat kembali masa-masa sulit memberi label pada perasaan atau emosi tertentu yang dirasakan ketika remaja dulu. Tak berlebihan juga menyebut film ini sebagai sesi terapi untuk penulis.
Dari sekian banyak emosi baru, highlight jelas pada manifestasi Anxiety. Treatment terhadap karakter Anxiety di film ini membuatnya sangat efektif untuk menimbulkan rasa cemas ketika mengikuti kisah Riley karena banyak berperan terhadap keputusan-keputusan moral baru Riley yang sebelumnya sudah dibentuk sedemikian rupa oleh Joy and the Gank. Acungan jempol patut diberikan kepada Maya Hawke.
In short, Inside Out 2 merupakan film yang terdeliver dengan manis sambil membawa penonton dewasa merefleksi masa remaja mereka yang mungkin masih clueless dan unaware tentang perasaan mereka.
Satu hal yang menjadi catatan dari penulis, ketika Joy and the Gank berada di back of Riley’s Mind, terdapat 1 Deep Dark Secret Riley yang belum diceritakan di film ini namun visualisasinya sudah ditampilkan, apakah tanda akan ada Inside Out 3? Riley in her University era? We will see in the future!