Keaslian pendaratan di bulan oleh Apollo 11 masih menjadi misteri hingga sekarang. Walau catatan sejarah menegaskan pendaratan pada tahun 1965 tersebut asli seasli-aslinya, patut kita sadari bahwa sejarah bisa begitu lentur. Sejarah bisa dibentuk dan dikarang oleh siapapun, baik untuk kepentingan pribadi ataupun politik. Apalagi, pendaratan itu berlatar perlombaan ke luar angkasa antara Amerika dan Uni Soviet.
Fly Me To The Moon, disutradarai oleh Greg Berlanti, menelusuri kembali sejarah pendaratan yang disebut Neil Armstrong sebagai “Lompatan Besar Umat Manusia” itu. Namun, ia tidak berpegang pada catatan sejarah. Sebaliknya, ia condong pada teori-teori konspirasi bahwa pendaratan itu direkayasa dan menyampaikannya sebagai sebuah kisah komedi romantis.
Kisah Fly Me To The Moon disampaikan dari sudut pandang Cole Davis (Channing Tatum), kapal proyek peluncuran Apollo 1 yang dianggap gagal total. Kegagalan tersebut mematahkan semangatnya, bahkan menghilangkain gairahnya untuk meladeni perlombaan ke luar angkasa . Dampaknya merembet ke NASA yang perlahan juga kehilangan kepercayaan publik.
Situasi itu tidak bisa diterima tangan kanan Presiden Nixon, Moe Berkus (Woody Harrelson). Berupaya memperbaiki citra NASA di publik, ia merekrut spesialis marketing, Kelly Jones (Scarlett Johansson). Keputusan Moe tepat, Kelly berhasil menyelamatkan citra NASA dengan kemampuan marketingnya. Bahkan, hal itu membuat Moe melibatkan Kelly pada proyek Apollo 11 yang ditangani Cole.
Moe tidak mau proyek Apollo 11 mengalami nasib yang sama dengan proyek-proyek pendahulunya alias gagal. Di sisi lain, Cole dan Kelly dihadapkan pada kondisi SDM yang serba terbatas. Tantangan itu membuat keduanya kian dekat yang kemudian mengantarkan mereka pada sebuah ide gila, merekayasan pendaratan ke bulan ala film-film Hollywood.
Pendekatan komedi romantis yang diambil Berlanti merupakan nafas segar dalam penggambaran proyek Apollo 11. Bagaimana tidak, proyek tersebut sudah dibelejeti dari berbagai sudut dan perspektif oleh industri perfilman. Ingin pendekatan historis? Ada The First Man. Ingin pendekatan thriller? Ada Operation Avalanche. Ingin pendekatan kearifan lokal? Ada The Science of Fiction.
Pendekatan komedi romantis adalah pendekatan yang, sejauh pengetahuan penulis, belum pernah dipakai. Dan, Berlanti mengeksekusinya dengan apik. Fly Me To The Moon tidak hanya menghibur, tetapi juga charming karena sukses menunjukkan bahwa di balik dinginnya kalkulasi peluncuran roket, ada sosok-sosok manusiawi yang selama ini dianggap bak robot.
Untuk yang bingung dan ngantuk dengan film Oppenheimer, film ini bisa dikatakan kebalikannya, lebih ringan dan ‘ramah alur’ sehingga mudah diikuti dengan durasi 2 jam. Pengembangan ceritanya komprehensif, pacingnya tepat, takaran romance-comedy-dramanya tidak berlebihan.
Sebagai sebuah romcom, bisa ditebak penekanan Fly Me To The Moon ada pada akting jajaran castnya. Film ini bukan sebuah demonstrasi capaian teknis Hollywood ala Oppenheimer karena hal tersebut akan membunuh premis dasar film ini, cinta di balik rakayasa NASA. Kunci keberhasilan ceritanya ada pada bagaimana cast-cast yang ada berhasil menunjukkan sisi charming dari program perjalanan ke bulan.
Scarlett Johansson, undeniably, adalah highlight dari cast film ini. Membuang karakteristik dingin Natasha Romanoff yang bertahun-tahun melekat pada dirinya, Scarlett hadir sebagai sosok Kelly yang bubbly, flirty, dan manipulative. Karakter yang ia perankan, by command, mampu mengubah-ubah aksesnnya untuk mengelabui pria-pria misoginis yang meremehkannya, menunjukkan bahwa dirinya mampu menjungkirbalikkan citra NASA jika ia mau. She’s the real deal.
Channing Tatum, di sisi lain, hadir sebagai sparing partner yang pas untuk karakter Scarlett. Ia berhasil memerankan Cole sebagai sosok yang straight shooter dan tidak mudah dikelabui oleh Kelly. Perbedaan itu membuat dinamika Cole dan Kelly begitu asyik dinikmati, dari yang awalnya saling curiga menjadi adore antara keduanya. Tanpa karisma Scarlett dan Channing, dinamika tersebut tak akan terbentuk.
Surprisingly, akting yang baik tidak hanya hadir dari kedua tokoh utama, tetapi juga para supporting actor seperti Ray Romano dan Jim Rash yang bertanggung jawab atas produksi rekayasa NASA. In short, setiap karakter, baik utama maupun pendukung, didevelop dengan baik sehingga memiliki karakteristik, mannerism, energi, dan aksi heroik masing-masing yang khas.
Walau tadi di awal dikatakan film ini tidak didesain sebagai sebuah technical achievement, bukan berarti film ini buruk pada sektor audio visual. Sinematografinya enak dipandang, editingnya pun unik, membuat Fly Me To The Men nyaman dipandang dan enak didengar. Dari sekian banyak adegan di film ini, intro-nya salah satu bagian terkeren.
Soundtrack yang digunakan pun bisa dibilang proper untuk memperkuat nuansa film. Mayoritas dari lagu-lagu yang digunakan rilis pada tahun 1960-an, sama dengan latar waktu film. Ada juga renditon Fly Me To The Moon yang lebih modern dari Jaz Hayat yang diputar di awal film. Selain pilihan lagunya yang bagus dan sesuai dengan tema, scoring film juga jadi highlight. Hampir setiap adegan penting di isi dengan scoring sehingga lebih emosional.
Akhir kata, jika film ini diibaratkan makanan, Fly Me To The Mon adalah sebuah comfort food yang akan membuatmu nyaman secara cerita, akting, visual, maupun audio. Presentasinya relatively pas di berbagai sektor walaupun ada kalinya konflik dan masalah yang dihadirkan bisa datang bertubi-tubi. But, rest assured, tidak ada hal yang akan membuatmu merasa overwhelming.
ANDIKALIX, DIMAS FADHILLAH