Review Film Hunger: Adakah Makanan yang Dibuat dengan Cinta?

Ada gak makanan yang dibuat dengan cinta? Pertanyaan ini terngiang di kepala saya sepanjang Aoy (Chutimon Chuengcharoensukying) bersinggungan dengan Chef Paul (Nopachai Chaiyanam) dalam film teranyar garapan Sitisiri Mongkolsiri, Hunger. Kontra belief system keduanya terhadap masakan dan cinta terjadi sepanjang film. Tapi, meski berkutat pada dunia dapur, Hunger tak sekadar berdongeng soal makanan, secara lebih dalam, film Thailand yang satu ini berbicara soal ambisi, dendam, sampai kelas sosial.

 

Hunger berkisah tentang Aoy, koki amatir kedai kaki lima milik keluarganya di daerah kota tua. Aoy lihai memasak mi tumis kecap tradisional (Rad-na) dan mi goreng (Pad-see-ew). Ia anak sulung yang mau tidak mau menjelma menjadi tulang punggung demi menghidupi keluarganya. Sebagai orang yang lahir dan besar dalam keluarga kelas ekonomi rendah yang penuh kasih, Aoy digambarkan sebagai karakter yang ambisius dan oportunis, meskipun agak sedikit syok dan kena mental kala dirinya dihadapkan pada sesuatu di luar kebiasaannya.

 

Hidup Aoy yang ngebosenin mulai berubah kala dirinya mengadu nasib dengan bekerja di bawah arahan kepala chef profesional dalam tim Hunger, Chef Paul. Chef Paul terkenal seantero Thailand, bahkan kalangan selebritas sampai politisi berebut untuk bisa mencicipi masakannya. Ia adalah orang yang ambisius, perfeksionis, bertemperamen tinggi, intimidatif, dan tak punya rasa welas asih dengan bawahannya.

 

Salah satu kekuatan cerita Hunger ada pada karakternya. Protagonis dan antagonis dikembangkan secara baik dengan karakterisasi yang bisa dimengerti dan dipahami penonton sedari awal. Aoy, misalnya, dapat dengan mudah diidentifikasi, mulai dari want, need, strength, dan weakness-nya. Lewat adegan-adegan dalam Hunger, Aoy yang tampak kaget dengan kehidupan kelas atas mau tidak mau menampakkan dirinya yang katrok, pengecut, kecil hati, dan asal ngomong. Penonton dibuat yakin dan percaya kalau Aoy memang dibesarkan dalam keluarga yang seperti itu.

 

Sedangkan Chef Paul yang intimidatif, dalam tiap adegannya, selalu menatap mata lawan bicaranya –  kalaupun tidak, ia malah terkesan merendahkan lawan bicaranya. Tak jarang juga Chef Paul berbicara sambil mengarahkan pisau ke lawan bicaranya. Ia tak segan mencaci, menampar, menjambak bawahannya di hadapan karyawan lain apabila melakukan kesalahan.

 

Kontras dunia dan sikap kedua karakter ini ditunjukan sejak awal adegan. Kedua karakter ambisius dengan caranya masing-masing. Tekad mereka berasal dari dua hal yang kontradiktif dengan tujuan akhir yang berseberangan.

 

Kerasnya Dunia Dapur

 

Hunger (Sumber: IMDb)

 

Tidak seperti The Menu yang, menurut saya, hanya sekadar bentuk gimik sinema yang mengeksploitasi dunia dapur demi ide cerita yang fresh lantas abai dengan karakter-karakternya, Hunger punya protagonis, antagonis, dan karakter pendukung yang kokoh. Bahkan, penonton bisa dibuat empati dengan karakter-karakter minor.

 

Hunger juga berhasil merepresentasi dunia dapur yang keras (meskipun kadang terasa agak psycho), di mana tidak ada demokrasi di dalamnya, melainkan kediktatoran. Berbagai masakan yang dihidangkan juga berpotensi bikin penonton ngiler dengan plating yang super cantik dan mewah ditambah proses pembuatan yang akrobatik nan mesmerizing.

 

Terstruktur tapi Gak Kaku

 

Hunger menyodorkan premis yang dijanjikan di menit-menit awal cerita. Inciting Incident dipaparkan dengan cepat, tapi tidak terasa terburu-buru. Penonton yang sudah paham akan dunia dan sikap karakter telah siap untuk melangkah ke jenjang cerita yang lebih jauh.  Film ini dapat diidentifikasi secara jelas aspek narasinya. Mulai dari pengenalan karakter sampai final battle, sangat terasa alurnya. Meskipun aspek ini cukup tertebak, Hunger mampu membalutnya dengan plot yang tetap bikin penasaran.

 

Di sela-sela cerita dapur yang keras, Hunger menyisipkan sub-plot romance yang manis. Meski hanya secuil, romance dalam Hunger cukup menarik untuk diikuti. Di samping itu, kehadirannya juga tidak menggangu tema besar cerita. Keduanya berjalan beriringan, meskipun dunia dapur lebih menonjol.

 

Selain plot cerita, dialog turut ditata dengan rapi, baik dialog bertensi tinggi maupun komedi receh. Dialog tiap karakter tampak jelas berpatok pada rumus tertentu. Meski begitu Mongkolsiri meramu dialognya dengan sangat cerdas dan tidak terkesan kaku hanya karena mengikuti rumus tertentu, begitupun dengan komedi pematahan ekspektasinya.

 

Makanan dan Kelas Sosial

 

Hunger (Sumber: Cinema Escapist)

 

Kehadiran Aoy sebagai satu-satunya perempuan dalam tim Chef Paul bisa jadi representasi cinta dalam setiap hidangan. Aoy hidup dalam keluarga dan lingkar pertemanan yang penuh cinta. Ia bekerja banting tulang sebagai koki di kedai tak lain karena cintanya pada keluarga. Kehadirannya dalam tim Hunger pun memantik cinta dalam lingkar tim dapur Chef Paul.

 

Bukan cuma cinta, mirip Triangle of Sadness arahan Ruben Ostlund, Hunger juga bicara kelas sosial yang penuh metafora dan konotasi lewat sepiring makanan. Mongkolsiri lebih jauh menyoroti bagaimana seseorang memandang makanan, khususnya dalam ranah kelas sosial golongan bawah dan golongan atas.

 

Di kelas sosial golongan atas, makanan disajikan dengan begitu mewah, steril, lengkap dengan pertujukan-pertunjukan yang sejatinya tidak begitu penting, namun begitulah cara mereka menghargai makanan. Meskipun entah kenapa, dalam tangkapan saya, Mongkolsiri berusaha memvisualkan adegan makan kelas atas dengan nuansa yang brutal, arogan, dan sedikit menjijikan.

 

Sementara itu, di kelas bawah, makanan disajikan dengan sederhana semata-mata untuk memenuhi perut kosong orang yang mengonsumsinya agar dapat bertahan hidup. Steril; belum tentu, mewah; apalagi, pertunjukan; omong-kosong. Meski begitu, selalu ada kehangatan ketika menyakiskan kelas bawah mengonsumsi makanannya bersama kerabat dan teman yang diliputi dengan kesederhanaan, meskipun (kadang) dengan mengesampingkan manner.

 

Lewat diferensiasi kelas sosial tersebut, perang belief system antara Aoy dan Chef Paul semakin tebal yang menular dan membuat penontonnya ikut-ikutan menanggung beban pertanyaan: Sebenarnya ada tidak makanan yang dibuat dengan cinta?

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment

15 + twelve =