Buya Hamka Vol I merupakan sebuah film biopik keluaran terbaru dari Falcon Pictures dan Starvision Plus yang telah rilis di liburan Idul Fitri 2023 kali ini. Pengerjaannya sendiri menggandeng Majelis UIlama Indonesia sebagai penasehat pembuatan filmnya.
Adapun karakter Buya Hamka diperankan oleh Vino G Bastian dan istrinya, Siti Raham, diperankan oleh Laudya Cinthya Bella. Selain Vino dan Bella, Film ini juga diperankan oleh banyak aktor Indonesia, seperti Donny Damara, Desy Ratnasari, Marthino Lio, Anjasmara, dan masih banyak lagi.
Volume I menceritakan periode di mana Buya Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar dan berhasil memberikan kemajuan yang pesat. Hal tersebut membuat Hamka dan keluarganya pindah ke Medan. Selain pindah cabang pengurus Muhammadiyah, ia juga diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masyarakat.
Posisi sebagai pengurus dan pimred membuat Hamka kerap berbenturan dengan pihak Jepang. Hal itu pun membuat tempat ia bekerja harus ditutup karena dianggap berbahaya. Belum usai masalah dengan Jepang, Buya Hamka juga kehilangan anaknya yang meninggal karena sakit.
Situasi yang kian rumit membuat Hamka mulai melobi Jepang, mencari jalan damai. Usaha Hamka malah membuatnya dianggap sebagai penjilat dan dimusuhi, hingga ia diminta untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Muhammadiyah. Ruwet.
Biaya Produksi Fantastis Film Buya Hamka yang Tidak Bisa Dibohongi
Biaya produksi yang sangat besar membuat film ini terasa sangat niat dan baik dalam menggambarkan keadaan Pulau Sumatera zaman pra kemerdekaan termasuk daerah Minang. Production design, tata busana, make up hingga sinematografi digambarkan dengan sangat baik pada film ini hingga minangnya bahkan terlihat seperti nyata.
Secara tone warna, sangat variatif dan tidak monoton sama sekali. Kadang kusam saat momen flashback ataupun lebih colourful saat periode tertentu. Sayangnya, sisi audio tidak seimpresif sisa visualnya. Walau sektor audionya terasa mahal, kaya, dan cocok dengan berbagai adegan, scoringnya terkadang bisa terasa begitu berisik dan menutupi dialog penting.
Vino is The One and Only for Buya Hamka’s Roles
Sebagai aktor papan atas yang kebetulan memiliki keturunan Minang, Vino sangat baik dan cocok memerankan tokoh sebesar Buya Hamka. Bahkan, menurut pribadi penulis sendiri, tidak bisa membayangkan siapa aktor yang bisa memerankan mendiang Hamka selain Vino. Aktor bunglon sekelas Reza Rahadian yang serba bisa sepertinya tidak cocok juga
Hal yang membuat peran Vino sebagai Hamka begitu nyata adalah logat Minang yang dikeluarkan. Terasa begitu ril dan tidak terasa dipaksakan. Hal itu bisa jadi karena darah Minang yang ada pada dirinya. Selain itu, Vino juga berhasil memerankan peran lintas generasi Buya Hamka dengan begitu meyakinkan, baik saat ia masih muda, ketika menjadi bapak, dan saat sudah tua renta. Permainan gesturnya sangat rancak dan tepat usia Hamka.
Laudya Chintya Bella sebagai istri Buya Hamka juga menampilkan peran yang solid dan menjadi penyokong yang baik bagi peran Vino. Tapi, dalam banyak bagian, Bella sepertinya masih terlihat kaku dalam penggunaan logat Minang.
Peran-peran pendukung pada film ini juga bermain baik dan Suprisingly, peran Ir. Soekarno yang diperankan oleh Anjasmara paling menarik perhatian penulis. Aura karismatik seorang Ir. Soekarno pada diri Anjasmara begitu kuat dan meyakinkan sebagai pelopor kemerdekaan Indonesia. Cara duduk, permainan gestur tubuh, dan micro expressionnya terlihat seperti aslinya.
Kelemahan Film Biopik Indonesia yang Kembali Terulang
Ketika memutuskan untuk membuat sebuah film biopik, terdapat tantangan tersendiri dalam prosesnya. Selain berbicara mengenai produksi set film yang harus sesuai pada masanya, sebuah skrip film biopik mau tidak mau harus merangkum kisah hidup seorang tokoh serapi mungkin dalam durasi sekitar dua jam.
Bukan hal yang mudah dalam merangkum kisah hidup seorang tokoh hebat dengan kanvas yang begitu kecil dan tak dapat bergerak bebas. Hanya tangan-tangan gila yang bisa membuat skrip film biopik mengalir seperti, The King Speech (2010), atau yang lebih modern (walau loosley based) yakni Goodfellas (1990).
Sayangnya, film ini seakan melanjutkan tren buruk skenario film biopik Indonesia. Dalam hal transisi, masih terasa melompat kasar dari perpindahan masa ke masa. Alurnya tidak mengalir dengan mulus, cenderung ngebut akibat dialog yang terlalu to the point.
Dialog yang terlalu to the point tersebut lagi-lagi harus ditambah dengan jenis-jenis pembicaraan yang seakan menggurui atau menceramahi seperti film religi pada umumnya. Jujur penulis terasa bosan dengan tipe dialog tersebut. Untungnya, saat adegan keluarga, film ini berhasil membawa penonton ke perasaan yang lebih humanis dan personal. Hamka digambarkan sangat mencurahkan perasaan rapuhnya kepada Raham dan anak-anak.
Sepertinya film ini terinspirasi Habibie Ainun (2012) yang metode penceritaannya terasa cukup menggurui tapi di satu sisi terasa personal jika sedang adegan keluarga. But overall dari review ini, film Buya Hamka ini sangat cocok tayang sebagai film lebaran, dimana selain melihat megahnya produksi juga ada pesan-pesan yang cukup tersampaikan dengan baik.
Film Buya Hamka sendiri terbagi dalam tiga volume dimana volume dua dirumorkan tayang saat libur Idul Adha. By The Way, Selamat Hari Raya Idul Fitri ya and Happy Holiday !!!.