Apabila dunia yang anda yakini adalah dunia seperti yang dikatakan Dalai Lama “The planet desperately needs more peacemakers, healers, restorers, storytellers, and lovers of all kinds”, maka dunia yang ada di semesta David Fincher berkebalikan 180 derajat. Dan, ketika anda hidup di dunia yang kejam dan tidak berkemanusiaan, maka satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup adalah menjadi kejam dan tidak berkemanusiaan di antara orang-oramg jahat. Dalam film terbarunya The Killer, David Fincher menampilkan dunia tanpa moralitas yang kejam dan berdarah-darah.
Karakter dalam dunia David Fincher lekat akan perlawanan atas realitas dunia yang tidak adil (Fight Club, The Social Network, The Curious Case of Benjamin Button) ataupun ketika kebaikan pada akhirnya gagal dalam menghadapi kejahatan yang tidak berperi (Se7ev, Zodiac). Atapun ketika akhirnya para karakter utamanya mencapai kebahagiaan, sering kali jalan yang mereka lalui begitu berliku dan penuh kesulitan (Mank dan The Game). Oleh karena itu, dalam The Killer, David Fincher menawarkan semestanya sendiri di mana dunia yang dingin berisi orang-orang yang bertindak tanpa peduli.
Setelah drama biografi hitam-putihnya pada tahun 2020, Mank, David Fincher kembali ke dalam genre yang menjadi ciri khasnya sejak akhir dekade 1990-an: Thriller. Di atas kertas, cerita The Killer (yang diadaptasi dari novel grafis Perancis berjudul sama karya Alexis “Matz” Nolent dan Luc Jacamon) terasa sangat cocok untuk director di balik film thriller neo-noir modern seperti Se7en, Fight Club, Zodiac, dan The Girl with the Dragon Tattoo. Walau begitu, harus diakui, The Killer bukan karya terbaik sang sutradara.
Kisah Perburuan Sang Pembunuh
Film dimulai usai sebuah kredit film yang imajinatif (dan cukup membayangkan betapa brutalnya isi film) dengan fokus sang karakter tituler kita (Michael Fassbender, setelah absen dalam empat tahun). Segera kita mengetahui bahwa sang pembunuh menikmati aktivitasnya (baca: mengamati aktivitas korban sembari mendengar The Smiths dan beryoga) yang di permukaan terkesan membosankan. Di bagi dalam beberapa bagian, awal film mengajak kita memahami pola pikir sang karakter utama kita yang tak hanya nameless, tapi juga sinis dan dingin.
Pekerjaan si pembunuh bisa memakan waktu berhari-hari. Terkadang ia pun tak bergerak sama sekali dari tempat ia mengincar mangsanya. Semua itu demi rencana pembunuhan yang sempurna, tanpa jejak, tanpa ia harus mengeksekusi plan B, C, D, dan seterusnya jika plan pertama gagal. Sebagai pembunuh yang dingin, sinis, emotionless, dan kalkulatif, misinya jarang sekali gagal kecuali satu.
Kegagalan itu datang ketika ia mengincar mangsa barunya. Ketika target datang dan siap dibunuh, eksekusi berjalan berantakan, berujung kekacauan yang bukan si pembunuh banget. Ia pun terpaksa harus melarikan diri untuk menghapus jejaknya dan menyusun rencana selanjutnya.
Setelah melarikan diri dari Perancis, si pembunuh kembali ke rumah persembunyiannya untuk menghadapi konsekuensi dari kegagalannya. Kemudian berjalanlah plot klise tentang kisah balas dendam klasik saat si pembunuh secara metodis menargetkan majikannya, dan siapa pun yang terkait dengan mereka, untuk alasan sebenarnya di balik kegagalan misi tersebut.
Cerita The Killer berjalan lambat namun fokus seperti karakter utamanya. Berkat arahan sinematografer pemenang Oscar, Erik Messerschmidt, visualisasi film ini tampak indah untuk menyelimuti dunia kejam dan dingin si pembunuh. Dipasangkan dengan visual luar biasa terseut adalah score yang membetot batin dari pentolan Nine Inch Nails, Trent Reznor dan Atticus Ross.
Seperti karya-karya mereka sebelumnya, Trent dan Atticus menonjolkan musik orisinal yang berbasis elektronik dalam kolaborasi fitur kelima mereka dengan Fincher. Tak bisa dipungkiri, mereka berjasa besar terhadap karya-karya FIncher selama ini, berperan membangun suasana noir misteri seperti yang kita kenal dari Se7en, Zodiac, dan The Girl with the Dragon Tatto.
Ketika sekuen berdarah tiba di film ini, penonton akan terkesiap oleh intensitas audio visual yang disiapkan Erik, Trent, dan Atticus dan diramu lebih jauh oleh David Fincher.
Plot Klise dengan Sentuhan Khas Ala Fincher
The Killer berjalan mengikuti narasi Michael Fassbender yang muram menuju pemikirannya yang paling dalam dan paling gelap. Sebagai alat untuk berinteraksi, narasi ini sangat penting karena sedikitnya jumlah pembicaraan yang sebenarnya dilakukan oleh Fassbender. Melalui narasi dari isi pikiran sang karakter utama kita, kita tahu bahwa kekuatan utama sang karakter utama kita adalah kesabaran, ketelitian, dan perencanaan, aspek terberat untuk dimiliki seorang pembunuh untuk beraksi.
Fincher menekankan bagaimana nihilisme yang dipercayai oleh sang pembunuh membuatnya bertindak sesuai perencanaan yang matang yang kemudian diinterpretasikan dengan pengambilan gambar yang cenderung menimbulkan kesan dingin nan asing. Berkat itu, pendekatan neo-noir Fincher mampu menopang narasi yang disampaikan Fassbender menjadi tak hanya dingin, tetapi juga gelap.
Sayangnya, in general, film ini memiliki plot yang klise jika tidak ingin dikatakan basi. Sudah banyak film menampilkan konsep serupa, namun dengan pendekatan yang lebih mengglorifikasi kekerasan. Beberapa di antaranya seperti seri John Wick, Taken-nya Liam Neeson, The Killer-nya John Woo, dan Le Samouraï karya Jean-Pierre Melville. Untungnya, direksi audio visual David Fincher begitu meyakinkan sehingga keklisean tadi sedikit banyak termaafkan.
Jujur saja, tidak ada hal lain yang benar-benar beresonansi dari film ini jika mencari laga yang compelling. Teknologinya terlalu mudah didapat dan minim imajinasi, targetnya terlalu mudah dilacak, pengejarannya biasa-biasa saja, sebagian besar kematiannya asal-asalan. Yang jelas, para penikmat film aksi jangan banyak berharap sekuen aksi gun fu ala John Wick akan hadir di The Killer. The Killer sangat “kalem”.
The Killer pun bukanlah film yang menawarkan nilai-nilai moralitas seperti film berjudul serupa karya John Woo yang tak hanya mengumbar aksi berdarah-darah ataupun sekuen aksi menawan ala John Wick. Pendekatan David Fincher di fiilm ini lebih mendekatii Le Samourai-nya Melville, yang sama-sama kalem, namun dengan gaya direksi dan dunia yang lebih modern.
Akhiir kata, walaupun overall film ini tidak memuaskan bagi penikmat film aksi, namun bagi penggemar David Fincher, The Killer menjadikannya sebagai bukti kembalinya sosok master of thriller.