Sebab keterbatasan pengetahuan dan kenangan saya terhadap game-nya, Onimusha justru mengingatkan saya pada Seven Samurai (1954), sebuah film legendaris yang memang kerap menjadi referensi berbagai kalangan sutradara.
Premis cerita yang dibangun kurang lebih mirip dengan film arahan Akira Kurosawa itu. Seorang pendekar pedang, bersama kawan-kawannya, berjuang menyelamatkan desa yang diserang bandit. Pendekar itu Miyamoto Musashi, nama yang sudah tidak asing lagi dalam sejarah feodal Jepang.
Berdasarkan sejarahnya, Miyamoto Musashi adalah seorang ahli pedang dengan rekor tak terkalahkan dalam puluhan duel. Gaya berpedang Nito Ryu (gaya dua pedang) menjadi ciri khasnya. Bukan cuma berbakat tarung fisik, Miyamoto Musashi juga ahli dalam strategi perang dan menekuni filosofi hidup.
Tetapi meski memuat fragmen histori, Onimusha bukan kisah sejarah sepenuhnya. Series 8 episode ini menggunakan pendekatan modern melalui gaya animasi serta bumbu-bumbu supernatural seperti pada video game-nya.
Diadaptasi dari seri game Capcom, series Netflix produksi studio Sublimation arahan Takashi Miike (Ichi the Killer, Audition) ini pada dasarnya memiliki cerita yang berdiri sendiri dengan karakter baru namun berdasarkan elemen dan referensi pada game-nya.
Miyamoto Musashi
Secara harfiah, Onimusha berarti demon warrior. Sebagaimana judulnya, anime ini mengangkat tema peperangan manusia dengan iblis. Sepanjang series, Miyamoto Musashi dipersenjatai sarung tangan pemakan jiwa yang perlahan merabunkan sisi kemanusiaannya.
Sebagai perwujudan tokoh legenda, Miyamoto Musashi memang ditampilkan sebagai pendekar berbakat. Namun dalam Onimusha, sisi kemanusiaan Miyamoto Musashi cenderung lebih ditonjolkan.
Di balik kepiawaiannya mengayunkan pedang, Miyamoto Musashi hanyalah manusia paruh baya pada umumnya yang kompleks. Ia kadang sombong, kadang rendah hati, kadang kejam, kadang penuh kasih sayang, sinis, idealis, mudah lelah, dan takut ketinggian. Ia memiliki moralitas dan empati yang membuatnya menghormati musuh dan sekutunya begitupula sebaliknya. Miyamoto Musashi berjarak dengan tipikal hero anime yang memperjuangan keadilan atau kehormatan.
Di balik ingar bingar nama besar, rekor pertarungan, dan julukan-julukannya, ia berharap dapat mempertahankan sisi kemanusiannya yang kompleks itu. Onimusha menawarkan bagaimana keterampilan, keyakinan, dan emosi Miyamoto Musashi diuji.
Sosok Miyamoto Musashi yang demikian ditunjang dengan pilihan grafis yang sesuai. Meskipun tak sedikit penonton terganggu dengan style animasinya, bagi saya, dengan visi menonjolkan sisi kemanusiaanya, Onimusha sudah tepat memilih gaya animasi seperti ini.
Gabungan 2D dan 3D dalam Onimusha memunculkan raut wajah Miyamoto Musashi dengan lebih realistis. Bahkan mata Miyamoto Musashi yang hampa pun begitu terasa. Terlebih lagi, suara Miyamoto Musashi disokong dengan suara khas bapak-bapak bosan oleh voice actor Akio Otsuka. Di samping itu, seting lokasi, background, dan scene pertarungan pun dapat digarap secara detail dan memanjakan mata.
Potret Zaman
Onimusha mengusung seting periode Edo (masa transisi perdamaian) di Jepang. Anime ini juga memiliki latar yang kaya dan mendalam, sesuai dengan aspek sejarah dan budaya periode tersebut.
Anime ini menggambarkan berbagai lokasi, peristiwa, dan tokoh yang membentuk peradaban Jepang, seperti Pertempuran Okehazama, Insiden Honnoji, Pengepungan Kastil Osaka, dan Keshogunan Tokugawa. Anime ini juga memasukkan unsur cerita rakyat dan mitologi Jepang, seperti Oni dan Genma, sekaligus menciptakan dunia yang realis dan fantasi dengan memadukan sejarah dan elemen supernatural dengan mulus.
Selain histori feodalisme, Onimusha sekaligus mengenang era lama industri perfilman Jepang dengan menghadirkan sosok aktor legendaris andalan Kurosawa sekaligus pemeran Miyamoto Musashi dalam trilogi Samurai, yakni Toshiro Mifune. Onimusha menggambar sosok Mifune lewat karakter Miyamoto Musashi.
Sekadar Lewat
Series yang dipenuhi adegan kekerasan dan tebas-tebasan ini dibuka dengan konflik yang padat dan berjalan secara intens. Pengalaman menonton anime dengan level yang berbeda begitu terasa lewat tone, mood, scoring, serta musiknya yang pas dan menarik. Tapi di balik itu semua, Onimusha masih memiliki masalah-masalah khas adaptasi.
Ada beberapa elemen dasar dalam narasi Onimusha yang tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga cukup membingungkan bagi penonton awam. Di samping itu, ada kebimbangan dalam hal pacing yang kadang terasa terlalu cepat dan kadang terlalu lambat.
Pada akhirnya, penggalan dialog Miyamoto Musashi dalam adegan dual Onimusha barangkali dapat menyimpulkan review series ini; “Tak ada pertempuran yang berarti. Cuma hantu dan seorang Oni yang mengisi waktu,”. Ironisnya, Onimusha juga terasa sekadar lewat saja untuk mengisi waktu luang penontonnya.