“Dibalik keindahan Pulau Rote dan kontribusinya sebagai penyumbang TKI terbanyak di Indonesia, tingkat kekerasan seksual dan pembunuhan di sana sangat tinggi”
Kurang lebih begitulah kata-kata yang disampaikan Jeremias Nyangoen selaku penulis dan sutradara Women from Rote Island. Film yang berhasil menyabet 4 piala citra dari kategori yang bergengsi, termasuk Film Cerita Panjang terbaik, cukup mendapat atensi yang besar dari masyarakat Indonesia.
Ekspektasi setiap orang, apalagi para kaum sinefil, pun menjadi sangat tinggi. Termasuk pada gelaran JAFF tahun ini. Women From Rote Island menjadi salah satu film yang paling cepat sold out saat dibuka penjualan di hari pertama.
Selain karena prestasinya, Women From Rote Island punya isu yang kuat untuk diangkat. Tak hanya dari sisi kekerasan seksual saja, namun Film ini juga menjadi manifestasi dari keadaan Indonesia Timur yang kadang tak terjamah.
Martha dan yang Tak Terlihat dari Pulau Rote
Satu keluarga harus menghadapi rasa berduka, ditinggalkan oleh sang kepala Keluarga, Abram. Abram pernah berpesan agar dirinya tak boleh dikubur dulu sebelum Martha datang.
Martha sendiri adalah seorang TKI yang bekerja di Malaysia. Sudah 8 hari sejak Abram meninggal, Martha belum kunjung pulang. Rasa ragu muncul dari semua orang-orang yang ingin Abram segera dikuburkan. Orpa, ibu Martha, tetap bersikukuh untuk tak menguburkan Abram hingga Martha datang.
Keragu-raguan itu pun hilang ketika akhirnya Martha datang. Martha ternyata diantar oleh kepala desa untuk sampai di rumahnya. Martha hanya diam. Tak ada satu kata atau tangisan.
Semua orang pun mengantarkan Martha untuk mengucapkan salam terakhirnya kepada Abram. Tangis pun pecah dari setiap sanak saudara yang datang. Namun Martha tidak. Martha hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada ayahnya.
Setelah Abram dikebumikan, Orpa dan adik Martha, Bertha, menyadari ada sesuatu yang janggan terhadap Martha. Orang-orang sekitarnya yakin bahwa Martha memiliki penyakit kejiwaan. Namun entah dengan alasan apa, Orpa tak membawanya ke rumah sakit untuk memeriksakannya.
Sejak pertama kali menginjakan kaki di tanah Rote, Martha sangat terobsesi dengan hewan burung. Setiap kali Ia menemukannya pasti Ia sangat gembira dan senang. Namun, keadaan sekitarnya bukanlah lingkungan yang baik. Ia sempat mengalami pelecehan seksual hingga hampir diperkosa. Martha harus menghadapi semua di tengah perasaan yang masih berduka.
Cerita yang Traumatik dibalut Sinematografi yang Apik
Women from Rote Island berjalan sangat fluktuatif. Dimulai dengan sangat intens di awal, kemudian mulai melambat di pertengahan. Perlahan-lahan, menjadi sangat mencekam dan menimbulkan perasaan tidak enak dari penonton.
Kekuatan Women from Rote Island jelas terdapat pada orisinalitas. Secara cerita dan latar, sedikit mengingatkan kepada film Women Talking. Setiap pemeran dalam film ini sangat padu. Tak hanya pemain utamanya, tetapi setiap pemeran pendukung dan cameo juga mendukungnya cerita untuk semakin believable.
Dialog yang dilontarkan dalam film ini mengalir dengan sangat natural. Penggunaan Bahasa lokal khas Rote juga otentik tak coba untuk dilebih-lebihkan. Tak hanya penggunaan bahasa, segala hal pendukung seperti set, pakaian, keadaan sosial, hingga adat istiadat yang ada di film ditampilkan dengan sangat otentik.
Semuanya didukung oleh sinematografi yang berhasil menambahkan intensitas serta emosi untuk setiap adegannya. Mayoritas semua gambar diambil secara long take dan dieksekusi dengan sangat baik. Terlihat bahwa teknis dari film ini cukup matang karena untuk membuat sebuah scene long take tidaklah mudah.
Walau beitu, banyak hal dari sisi teknis sendiri masih belum terlalu maksimal. Beberapa transisi kurang mulus dan terasa sangat ‘kuno’. Ada beberapa bagian yang sangat triggering dan mengganggu kenyamanan penonton. Adegan kekerasan juga ditampilkan cukup eksplisit dan bisa membuat penonton bergidik ngeri.
Dari sisi penceritaan, sebagai pemenang skenario asli terbaik FFI 2023, Women From Rote Island masih punya beberapa kekurangan. Terlalu banyak hal yang rasanya ingin disampaikan dalam film ini. Beberapa kali terasa hilang arah dan berantakan.
Ada juga narasi yang terkesan menjustifikasi stigma yang ada di masyarakat tentang Laki-laki dan Perempuan. Kemudian ada tambahan sub plot juga mungkin terasa dibuat-buat. Tak ada dasar yang berarti dan hanya membuat penonton semakin frustasi dengan cerita yang tragis.
Dari sini maka wajar jika anda melihat reaksi dan respon yang cukup beragam. Tapi. sekali lagi, film adalah tentang perspektif dari setiap orang yang menonton. Tentunya akan memunculkan banyak pertanyaan.
Sebagai film yang mendapat atensi besar pasca FFI 2023, Women from Rote Island berhasil mengusik penonton dengan pertanyaan dan persepsi. Namun, itulah bagian dari pengalaman menonton, bukan? Jika akhirnya ada kesempatan untuk menonton, persiapkanlah diri kalian.