Film diyakini bisa menjadi tempat yang bebas untuk siapa saja bercerita. Termasuk bagi kaum transpuan yang acapkali dipandang sebelah mata karena identitasnya. Tak banyak film yang mengangkat kisah tentang transpuan. Salah satu yang cukup lugas menyuarakan hal ini adalah film “Lovely Man” karya Teddy Soeriaatmadja pada tahun 2011 yang lalu.
Kini, Ismail Basbeth, yang sebelumnya menyutradarai “Keluarga Cemara 2”, kembali dengan keberanian dan hatinya untuk membuat sebuah film yang berjudul “Sara”.
Berkisah tentang Sara (Asha Smara Dara), seorang transpuan, yang kembali ke kampung halamannya setelah mendapat kabar kalau bapaknya meninggal. Ini adalah kepulangannya yang pertama kali setelah 20 tahun tak berkunjung. Di dermaga kapal, Ia dijemput oleh Ayu (Mian Tiara) teman semasa kecilnya yang menyukainya. Sampai saat ini, Ayu masih menyukai Pandu, nama saat Sara kecil.
Sesampainya di rumah, jasad bapaknya sudah hendak dikebumikan. Sara mendapati ibunya (Christine Hakim) tertidur di kamar. Kata orang-orang setelah ayahnya wafat, ibu jatuh pingsan dan sampai Sara datang belum juga bangun.
Sara terus berusaha agar ibunya dapat bangun dari tidurnya. Mulai dari menyentuhnya, memeluknya, hingga mencium tangannya, tidak ada satu pun yang berhasil. Ia pun tidur di samping ibunya, untuk berharap keesokan harinya ibunya bangun.
Benar saja, Ibunya pun bangun. Pertama kali yang diucapkan ibu adalah, “Bapak ke mana?”. Sontak mendengar hal tersebut, Sara menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan mencoba memperkenalkan dirinya Namun, Ibunya tak percaya terhadap ucapannya. Ia juga tak mengenalinya.
Ibunya yang merasa bahwa bapak masih hidup, mencari bapak ke seluruh tempat. Sara yang kebingungan dengan tingkah Ibunya, terus menemaninya sembari mencari cara agar ibunya dapat mengetahui yang sebenarnya.
erita yang coba diangkat dalam film ini cukup menarik. Walaupun pada awalnya cerita cukup stagnan, terkesan lambat, atau bahkan sengaja diulur agar terlihat lebih lama, pada akhirnya cerita berhasil di built up dengan baik dengan emosi yang hendak disampaikan dapat tampil apik.
Film ini tak membawa banyak agenda atau konflik di dalamnya, ataupun agenda untuk mengangkat isu tentang penerimaan kaum trans di masyarakat. Plotnya sederhana, ceritanya juga tidak kompleks. Pengambilan gambarnya pun cenderung statis, tak ada pergerakan kamera sama sekali.
Namun, kesederhanaan yang dipandang baik bisa menjadi bumerang bagi beberapa orang. Untuk kamu yang tak menyukai storytelling lambat yang sering diperlihatkan Ismail Basbeth dalam film-filmnya, mungkin kamu tak akan betah.
Surprisingly, Sara menjadi tontonan yang cukup menyenangkan. Bagian akhir dari film ini cukup menggambarkan perjalan Sara untuk “kembali hidup” dan menerima masa lalunya, tak lupa hidup bersama dengan mereka. Tanpa harus memandang latar belakang kisahnya, Sara adalah cerita pencarian rumah yang sejati.