Lebih dari setengah dekade sejak Charles Bronson menembaki para sampah masyarakat di New York pada dekade 1970-an dalam film Death Wish, genre vigilante masih bertahan bahkan hingga memasuki abad ke-21. Di tengah derasnya film-film superhero dan biopik, sosok main hakim sendiri ternyata masih dinikmati oleh masyarakat sehingga studio-studio masih rutin memproduksi film-film vigilante, meskipun tidak orisinil dan hanya daur ulang (remake atau sekuel). Sebagai salah satu produk paling populer dalam genre vigilante di dekade 1980an, studio jelas melihat potensi untuk me-remake serial televisi The Equalizer menjadi film untuk meraup pundi-pundi penonton sekaligus nostalgia.
Sejak diperkenalkan (kembali) pada tahun 2014, The Equalizer kesulitan merumuskan formula dalam penceritaan mereka. Sutradara Antoine Fuqua hanya berhasul mengandalkan kebintangan dan karisma pemeran utama mereka, Denzel Washington, yang memerankan Robert McCall. Gawatnya, problem itu bertahan hingga film ketiga yang berjudul simply The Equalizer 3.
Setelah membongkar sindikat mafia Rusia di film pertama dan mencoba memasuki konsep psikologis McCall dalam menghadapi sesama agen pemerintah di film kedua, The Equalizer 3 (yang berpotensi menjadi yang terakhir) mengambil fokus yang berbeda lagi. Kali ini sutradara Antoine Fuqua mengajak penonton untuk menemani McCall mencari damai dalam hidupnya.
Fisik dan Umur sebagai Musuh Sejati Sang Equalizer
The Equalizer 3 dibuka dengan adegan yang lebih mencekam dibandingkan dua film awalnya. Tubuh-tubuh yang bergelimang darah langsung tersajikan diiringi dengan hadirnya sang antagonis (pertama), seorang bos mafia di Sisilia.
Usai sekuen aksi tembak-menembak yang intens, sang karakter utama Robert McCall terluka akibat tembakan putra sang antagonis. Hendak menyerah karena lukanya, McCall justru terbangun di sebuah kota kecil Altamonte di pesisir selatan Italia. Seiring penyembuhan lukanya yang lamban dan fisik yang semakin renta, McCall mulai mendapatkan teman dari kota asing nan jauh dari negara asalnya.
Namun, kedamaian yang McCall temukan tergangggu dengan fakta bahwa wilayah pesisir selatan Italia justru dikuasai oleh mafia. Kehidupan warga kota kecil Altamonte juga terusik oleh keinginan keluarga mafia Camorra yang ingin menguasai wilayah mereka demi bisnis mafia.
Kedatangan CIA yang dipimpin oleh Emma Collins (Dakota Fanning) justru menambah friksi antara McCall dengan mafia yang kemudian berdampak pada hajat hidup masyarakat Altamonte. McCall akhirnya harus beraksi lagi dengan tubuh yang renta dan usia yang semakin tua untuk menghadapi serangan demi serangan mafia
Kredit terbesar patut diberikan kepada Denzel Washington yang tak hanya untuk pertama kamilnya berakting di sebuah film franchise (remake), tetapi juga penampilannya sebagai sosok pembunuh bayaran yang renta dan seakan siap menyambut maut.
Maunya Western, Tapi Eksekusi Melempem
Dari pemilihan setting, jelas kentara Fuqua mencoba membawa suasana western ke The Equalizer 3. Kota kecil di Italia Selatan dengan sosok misterius yang tergerak untuk membela warga-warganya dari “bandit”, kurang western apa lagi? Sedikit banyak mengingatkan kolaborasi Fuqua dan Washington sebelumnya, remake The Magnificent Seven, yang tidak seapik versi John Sturges ataupun inspirasi utamanya, Seven Samurai.
Inspirasi western movie tidak berhenti di situ. Fuqua dan sinematografer Robert Richardson banyak memasukkan detail ala western movie lainnya seperti bagaimana sosok McCall yang menatap matahari terbenam di laut (yang melambangkan dekatnya akhir hidup). Pengambilan gambar rendah sosok McCall dengan teknik kontras pun melambangkan bagaimana sosok The Equalizer yang melihat dunia sebagai hitam dan putih dengan dirinya sebabagi sosok pembela orang lemah.
Pendekatan itu membuat The Equalizer 3 tidak serumit pendahulunya yang mengikuti plot pembelotan agen rahasia yang kecewa terhadap negara yang ia layani. Plotnya lebih sederhana, namun tidak sedangkal film pertamanya. Walau begitu, tetap saja membuat film ini terasa tidak maksimal dan itu diperparah dengan barisan karakter yang tidak compelling dan tidak well-developed pula.
Salah satu contohnya adalah karakter CIA Emma Collins yang mempertemukan lagi Dakota Fanning dengan Washington sejak duet ikonik mereka di Man of Fire. Sosok Collins hanya diletakkan di sela cerita tanpa memberinya makna dan berakhir menjadi upaya nostalgia saja.
Penulis Richard Wenk dan Fuqua tidak memberikan Fanning penampilan yang mumpuni sebagai agen CIA yang memiliki peran dalam mengungkap transaksi narkoba mafia. Fanning mungkin saja dapat lebih berperan apabila Fuqua tahu bagaimana mengintegrasikan karakternya dengan kisah hidup McCall.
Dalam penyajiannya, tampaknya Fuqua mencoba menampatkan karakter Collins sebagai kompas moral dari McCall ibarat karakter Kate Macer di film Sicario. Namun, eksekusinya gagal karena tidak adanya (entah disengaja atau tidak) ruang untuk mengeksplorasi ambiguitas Collins dalam menentukan bagaimana sebaiknya mafia ditindak di Italia, apakah percaya pada sistem hukum, pasifis, atau mengglorifikasi kekerasan seperti McCall.
Maunya Sadis, Tapi Malah Kurang Imajinatif
Selain kurangnya peran karakter pendukung, The Equalizer 3 jugalah film yang repetitif. Meskipun dapat dipahami bahwa faktor usia sang aktor utama (Denzel Washington akan berusia 69 tahun tahun ini) tidak memungkinkannya melakukan stunt ala John Wick, secara keseluruhan koreografi yang ditampilkan film ini kasar.
Fuqua ingin menampilkan aksi McCall yang berdarah-darah secara gamblang-bahkan cenderung gory untuk menunjukkan brutalitas sang protagonis. Namun, dalam pengambilan gambar yang dilakukan, hasil akhirnya justru terasa kurang imajinatif dan menggigit. Akhirnya, film penutup ini menjadi jatuh sebatas film aksi yang terkesan medioker.
Jika dicari komparasi langsunganya, film ini mengingatkan dengan trilogi Taken Liam Neeson yang kualitasnya terus turun, namun setidaknya Taken memiliki film pertama yang ikonik dan menjadi pemicu keluarnya film bapak-bapak ganas.
Mengakhiri review ini dengan sedikit Fun fact, akhir seri waralaba The Equalizer dirilis di tahun yang sama dengan akhir waralaba John Wick, di mana kedua waralaba ini juga diawali di tahun yang sama. Sulit untuk tidak menyamakan seri ini dengan John Wick.
Namun, di saat John Wick dapat menyajikan koreografinya secara dinamis dan imajinatif, The Equalizer hanya berputar di antara aksi beradarah nan brutal antara orang baik melawan orang jahat. Yah, pada akhirnya, kedua karakter utama mereka sama-sama menemukan kedamaian yang mereka cari, tapi jalannya ke sana berbeda bak surga dan neraka.