Siapa yang menyangka film adaptasi game Sonic The Hedgehog bisa sampai sejauh ini serinya. Setelah nyaris dimulai dengan buruk akibat desain Sonic yang terlalu mengerikan dan melenceng jauh dari sumber aslinya, seri ini terus berlanjut hingga film ketiganya, Sonic The Hedgehog 3. Lalu, bagaimana Sonic 3 jika dibandingkan dengan kedua prekuelnya? Meminjam judul lagu Daft Punk, “Harder, Better, Faster, Stronger”.
Ya, Sonic The Hedgehog 3 menjadi satu dari sedikitnya trilogi (so far) yang berhasil mempertahankan kualitasnya hingga film ketiga. Bahkan kualitasnya naik terus, menjadikan pencapaian film ini tidak bisa diremehkan. Bahkan, penulis berani mengatakan bahwa Sonic The Hedgehog 3 adalah adaptasi game ke film terbaik sejauh ini. Rating Rotten Tomatoes-nya gak boong, per review ini ditulis sudah dapat label “Certified Fresh”
Sebagaimana sudah di-tease di akhir film Sonic The Hedgehog 2, Sonic The Hedgehog 3 sekaligus menjadi introduksi atas rival utama Sonic di gamenya, Shadow The Hedgehog. Pertama kali muncul di Sonic Adventures 2, Shadow pada gamenya dikisahkan sebagai subjek kelinci percobaan ilmuan Gerald Robotnik yang ingin menciptakan makhluk “The Ultimate Lifeform”. Namun, pada prosesnya, Shadow dianggap ancaman berbahaya yang menjadikannya target yang harus dimusnahkan.
Bagaimana dengan filmnya? Kurang lebih sama. Menyakini Shadow sebagai makhluk berbahaya, organisasi militer GUN menugaskan “Team Sonic” yang terdiri atas Sonic (Ben Schwartz), Knuckles (Idris Elba), dan Tails (Colleen O’Shaughnessey) untuk menangkapnya. Alih-alih berhasil menangkap, Sonic cs malah menjadi bulan-bulanan Shadow. Ia terlalu brutal, kuat, dan yang terutama cepat, menyebabkan Sonic cs dengan mudah dikalahkannya.
Desperate, Sonic menjalin aliansi berbahaya dengan musuh lamanya, Ivo Robotnik (Jim Carrey), untuk mengalahkan Shadow. Namun, tidak diketahui Sonic, Shadow memiliki alasan yang tragis kenapa ia kabur dari lab eksperimennya dan mengutuk manusia atas apa yang terjadi pada dirinya. Semua itu berkaitan dengan Maria, cucu Gerald Robotnik, yang sudah ia anggap teman sendiri.
Kembali duduk di kursi sutradara adalah Jeff Fowler, jebolan Blur Studios milik Tim Miller (Deadpool, Love Death Robot). Seperti kedua prekuelnya, Jeff tidak membuat kisah yang sepenuhnya baru untuk Sonic the Hedgehog 3. Ia mencomot sejumlah elemen dari lore Sonic yang sudah lebih dulu terbentuk di gamenya. Apabila film sebelumnya banyak mengambil dari game Sonic The Hedgehog 2 dan 3 dengan memperkenalkan karakter Knuckles the Echidna, film ketiga ini banyak mengambil elemen dari Sonic Adventures 2 dan Shadow The Hedgehog.
Fowler sukses mempertahankan elemen-elemen penting dari kedua game tersebut dan di saat bersamaan menambahkan element human relation dalam kisahnya. Semuanya terjalin dengan rapih, balance, di mana setiap elemen memiliki kontribusinya masing-masing tanpa mengkanibal satu sama lain. Problem yang dirasakan pada kedua prekuelnya, di mana elemen manusia terasa seperti filler, tak terulang di sini.
Highlight kisahnya jelas ada pada dualitas Shadow dan Sonic. Walaupun film ini berjudul Sonic The Hedgehog 3, tak bisa disangkal bahwa sesekali film ini juga pantas disebut Sonic & Shadow. Kisah Shadow dibangun dengan dark, kontemplatif, yet heartwarming, bahkan relatable dengan origin Sonic di mana sama-sama ada tragedi di dalamnya, menjadikan mereka dua sisi dari mata koin yang sama. Yang membedakan kisah keduanya adalah bagaimana cara Sonic dan Shadow menyikapi tragedi masing-masing.
Ketika Sonic adalah representasi dari Optimism, Family, dan Joy, Shadow adalah representasi dari Anger, Hate, Loss, dan Grief sekaligus. Ia adalah orang yang salah, di waktu dan tempat yang salah. Ketika Shadow harus menghadapi kehilangan terbesar dalam hidupnya, ia tidak berada dalam lingkungan yang bakal meyambutnya dengan hangat. Sonic mendapat Tom (James Marsden) yang menerimanya sebagai keluarga, Shadow memiliki Maria yang direbut paksa darinya.
Hilangnya Maria menegaskan Shadow berada di dalam zona yang hanya memandangnya sebagai dua hal, kelinci percobaan serta ancaman, dan itu menjadikan karakternya kompleks sekaligus sympathetic. Acungan jempol patut diberikan kepada Keanu Reeves karena berhasil menampilkan persona kompleks tersebut pada Shadow tanpa sampai menjadikannya edgelord.
Betapa menonjolnya peran Shadow dalam film ini pada akhirnya menjadi pedang bermata dua. Walaupun peran Sonic gak bisa dikatakan sedikit, Shadow sedikit banyak mencuri spotlightnya dan hal itu terasa pada third act. Subplot Shadow dan Maria yang dibangun dari awal menjadi tanggung saat kita “diingatkan” filmnya bahwa ini film Sonic, bukan film Shadow.
Dengan menonjolnya Shadow, apakah karakter lain menjadi tampilan? Seperti dikatakakan di awal, film ini berhasil memastikan setiap karakter yang ada memiliki kontribusi ke kisah pertarungan Sonic dan Shadow. Karakter Ivo dan Gerald Robotnik, misalnya, melengkapi sisi manusia pada kisah Shadow. Gerlad, di satu sisi, menciptakan Shadow sebagai representasi kebenciannya terhadap dunia yang mengasingkannya. Ivo, di sisi lain, melihat Shadow sebagai hal yang mempertemukan ia kembali dengan ayahnya.
Knuckles dan Tails juga berkontribusi pada sisi Sonic. Mereka hadir sebagai support yang efektif bagi Sonic, membantunya di mana-masa yang sulit ketika mengalahkan Shadow hampir dirasa mustahil. Namun, secara screentime, bisa dikatakan penampilan mereka relatif terbatas.
Semua elemen di atas disampaikan dalam durasi yang relatif pendek, 109 menit. Penulis bisa paham jika ada kekhawatiran durasi yang terbatas itu akan memicu plothole dalam kisah Sonic dan Shadow.. Untungnya, walau film ini memiliki pacing yang cepat, konsistensi tetap ada dalam membangun alur cerita yang adaa. Walhasil, rest assured, kalian bakal tetap mendapati film ini sebagai sebuah experience yang komplit.
Kelebihan Sonic the Hedgehog 3 tidak hanya pada sisi cerita saja. Dari sisi visual, film ini memiliki efek CGI yang jauh lebih bagus. Two thumbs up untuk Jim Carrey dan tim produksi yang mampu menampilkan Carrey sebagai Robotnik dan kakek Robotnik secara bersamaan hampir tanpa cela. Seolah-olah, kedua karakter tersebut memang diperankan oleh dua orang yang berbeda. Komedi dari Jim Carrey saat memerankan dua karakter ini sangat cerdas.
Film ini juga memiliki referensi pop-culture yang sangat banyak. Banyak video game seperti Mario, Pokemon, dan jelas Sonic itu sendiri, muncul dalam film ini. Bahkan, beberapa film seperti Popeye, Casper, Akira, FF: Tokyo Drift dan lainnya, dimunculkan sebagai easter egg. Film ini seolah ingin memunculkan pop culture yang berjaya bersama dengan Sonic pada zamannya. P.S.: You should watch when Knuckles is scared of ghosts.
Tapi, beberapa penonton, khususnya yang seumuran dengan Gen-Z atau di bawahnya, kemungkinan tidak akan relatable dengan beberapa reference yang disampaikan. Mereka mungkin bisa memahami referensi yang ditampilkan seperti saat adegan Sonic meniru The Beatles. Tapi, jika tidak pernah merasakan langsung konteks yang direferensikan, impactnya tidak akan maksimal.
Sektor audio juga, surprisingly, lebih bagus dibandiung prekuelnya. Film ini berhasil memilih score dan soundtrack yang tepat untuk setiap adegan, mulai dari lagu untuk penggambaran Tokyo, penggambaran London, bahkan komedi dan aksi dari Sonic Team. Lagu seperti One OK Rock saat bertempur, The Prodigy pada Robotnik, adalah beberapa yang apik. Namun, soundtrack yang patutr di-highlight jelas Live & Learn yange merupakan theme dari Shadow di Sonic Adventures 2. Diaransemen ulang oleh Junkie Xl, you get, arguably, the best version of it. Live & Learn rasa Mad Max mudahnya.
Terakhir, komentar ini penulis sampaikan bukan untuk filmnya, tapi untuk penerjemah subtitle-nya. Banyak sekali puns, komedi dan phrases yang diterjemahkan seadanya. Penonton yang membaca subtitle jadi tidak bisa menikmati komedi yang disampaikan secara verbal. Kalau mau nonton di bioskop, cari bioskop yang subtitle-nya juga dengan bahasa Inggris.
DIMAS FADHILLAH, ISTMAN