Siksa Neraka adalah salah satu produk peninggalan dekade 1980 hingga awal 2000an yang kembali populer di media sosial. Terlepas dari hikmah/pesan yang bisa diambil, yang populer justru gambaran penyiksaan yang menyenangkan bagi pecinta torture porn dan mimpi buruk bagi pembaca biasa. Mengingat kepopulerannya di media sosial, maka tak heran apabila akhirnya studio memilih mengangkat ceritanya menjadi sebuah film.
Bagi sebagian orang, film yang menampilkan torture porn tentu akan menimbulkan pengalaman traumatis (saya masih belum bisa melupakan adegan kura-kura di film Cannibal Holocaust). Namun, pasar segmen tersebut masih bertahan berkat kehadiran beberapa judul film besar seperti waralaba Saw yang bertahan lebih dari dua dekade. Namun, menampilkan cerita penggambaran The Divine Comedy versi gore-nya adalah tantangan sendiri.
Ketika saya akhirnya menonton versi film Siksa Neraka, yang justru muncul bukanlah keinginan untuk bertaubat dan berjanji untuk tidak berdosa seumur hidup lagi. Apa yang timbul malah sebuah pertanyaan, “Apakah diperlukan ancaman siksaan untuk menjadi orang baik ?”
Keluarga Agamis sebagai Penyamar Kebusukan Manusia
Di awal cerita, kita akan diajak berkenalan dengan sebuah keluarga yang agamis di sebuah desa. Sang ayah, Syakir (Aryo Wahab) adalah seorang ustadz terpandang. Bersama istrinya, Rika (Astri Nurdin), mereka memiliki empat anak yaitu Saleh (Ricky Farel), Fajar (Kiesha Alvaro), Tyas (Ratu Sofya), dan Azizah (Nayla Purnama) yang dididik secara islami. Namun, di balik didikan agamis mereka, mereka justru telah melakukan berbagai maksiat mulai dari berjudi, zina, bahkan memfitnah orang hingga yang difitnah bunuh diri.
Suatu hari, ketika orang tua mereka sedang pergi, diam-diam Saleh sang kakak mengajak saudara-saudaranya ke lomba menyanyi yang ingin diikuti sang adik, Azizah. Naasnya, mobil mereka terhanyut banjir dan tidak ditemukan. Namun, ketika sang orang tua sedang bersedih, mereka tak tahu bahwa anak-anak mereka sedang menjalani siksaan akibat dosa-dosa mereka di dunia. Mereka harus bersatu kembali di neraka sementara kedua orang tua mereka bertanya-tanya apakah mereka telah mendapatkan bekal untuk kehidupan di akhirat.
Di awal film, Anggy Umbara selaku sutradara tidak terburu-buru untuk segera menghadirkan neraka bagi karakternya. Namun, tidak bisa dikatakan cukup proper juga untuk character development. Menggunakan naskah yang digarap Lele Laila dan MB Rahimsyah, sejak awal semua karakter utama digambarkan hitam dan putih secara kepribadian sehingga Anggy tidak butuh waktu lama untuk membawa keempat orang karakter utama ke neraka.
Kondisi itu mungkin memberikan perspektif pada penonton bahwa keempat orang itu pantas untuk masuk neraka. Namun, kemudian, akan menjadi pertanyaan mengenai kenapa siksaan bagi mereka harus langsung berwujud neraka? Apakah mereka perlu langsung ke neraka dulu tanpa perlu ke Pengadilan Hari Akhir atau sejenisnya?
Jelas hal ini tidak terpikirkan oleh sang sutradara atau penulis naskah karena bagi mereka yang terpenting adalah segera menghadirkan neraka dalam film. Angggy (yang juga sering menyutradarai film-film komikal yang sarat efek visual) seperti tidak sabar untuk segera menampilkan berbagai jenis siksaan yang ada.
Sayangnya, terlepas dari kualitasnya, beragam siksaan justru terasa lama sehingga tidak menimbulkan efek syok bagi penonton. Anggy perlu melihat kembali Saw X atau Evil Dead Rise perihal bagaimana menampilkan torture porn yang mampu membuat penonton syok akan apa yang mereka lihat. Sayangnya, semua siksaan yang ada justru tidak dapat menjawab pertanyaan saya di bawah ini.
Apa Hikmah-nya Nonton Film Ini?
Begitu keluar dari teater bioskop, sembari berjalan menuju musholla (karena sudah masuk waktu maghrib, bukan karena filmnya) saya bertanya-tanya seberapa pentingkah menggambarkan siksaan neraka? Soalnya, bagi saya, cukup dengan membaca berita-berita tentang hukuman ringan yang diterima koruptor uang rakyat miliaran untuk membuat saya skeptis dan berpikir bahwa mungkin memang diperlukan ancaman akan siksaan bagi mereka yang jahat.
Di sisi lain, film ini juga dangkal menggambarkan apa dampak dari dosa yang dilakukan. Dampak dari dosa itu tidak terbatas pad aperkara hukuman di alam sesudah mati, tapi perihal akibatnya ke orang-orang di sekitar pendosa.
Jelas sekali penulis naskah dan sang sutradara tidak berusaha menggali lebih dalam arti siksaan. Usaha penggambaran karakter Pak Ustadz sebagai seorang ayah yang telah memberikan banyak pelajaran agama bagi anaknya justru terasa gagal karena minimnya menit untuk menampilkan pikiran sang karakter ustadz.
Hal iitu menjadikan film ini sebatas sarana penyediaan siksaan tanpa makna cerita yang bisa membekas bagi penonton dan membuat film ini (yang materi sumbernya berlandaskan agama) tak lebih baik dari judul-judul semacam The Human Centipede atau Antichrist. Tidak berlebihan juga menyebut Siksa Neraka sebagai torture porn berkedok agama.
Selain itu, sebuah pertanyaan timbul yaitu kenapa di film ini tidak menonjolkan bahwa di hati setiap manusia pasti ada kebaikan yang akan mengalahkan sifat jahat? Tentu saja di dalam film ini kita melihat bagaimana salah seorang karakter yang baik hati namun ikut terjerumus dalam neraka. Namun, hal itu justru hanya sebatas menyediakan plot twist tanpa memberikan efek bagi pesan yang ingin disampaikan. Dengan demikian, film ini hanya sebatas sebagai mesin pengeruk uang bagi penonton selama musim liburan tanpa memberikan pelajaran/hikmah sebagaimana materi komiknya.