Berdekade pasca memasuki era media sosial, nyaris mustahil menemui satu pribadi yang otentik. Obsesi untuk menjadi bagian dari suatu kesadaran kolektif, the so called “community”, berakibat pada minimnya lingkungan heterogen yang nihil keberagaman. Fenomena digital itulah yang kembali dikritisi oleh Kristoffer Borgli melalui film terbarunya, Dream Scenario.
Dua tahun sebelumnya, Borgli sudah mengutarakan keresahannya mengenai pegiat dunia maya yang haus atensi melalui film berjudul Sick of Myself (2022). Kini keresahan yang sama diutarakan, tapi berganti rupa. Premis yang disajikan Dream Scenario pun sebenarnya sederhana —seorang dosen bernama Paul Matthews (Nicolas Cage) secara misterius bertandang ke mimpi banyak orang.
Awalnya hadirnya Paul di mimpi orang-orang tidak menimbulkan masalah. Ia hanya berdiri diam dengan janggal, memperhatikan si pemilik mimpi tertimpa masalah. Namun, belakangan kehadiran Paul beralih menjadi sumber masalah yang menyebabkan si pemilik mimpi terbunuh di mimpinya sendiri. Meski bersikeras hal itu di luar kehendaknya, orang-orang, khususnya netizen kadung menggencarkan cancel culture terhadap Paul.
Tadinya Paul diuntungkan berkat presensi misteriusnya itu mendatangkan ketenaran yang tak diduga, tapi kini ketenaran itu pula yang mendatangkan masalah. Figurnya kian disamakan dengan sosok Freddy Krugger yang menghantui tiap mimpi. Di sisi lain, kehidupan Paul berubah 180 derajat setelah gelombang penolakan dan media sosial mengekspos privasinya.
Dream Scenario mempertontonkan efek cancel culture terhadap kehidupan seseorang. Betapa netizen suka bermain-main layaknya hakim pengetok palu. Selain itu, bagaimana fenomena internet kerap disikapi dengan satu dimensi. Semuanya adalah keresahan yang berhasil dimampatkan ke dalam film berdurasi 102 menit ini.
Dream Scenario juga membawa penonton mengikuti upaya Paul memperbaiki reputasi usai karakternya dibunuh oleh persona dunia maya buatan netizen. Kita dihadapkan pada seseorang yang nasibnya ditentukan oleh jari jemari kita sendiri, oleh apa yang kita anggap sebagai ketikan iseng, oleh apa yang kita cemooh dari balik layar. Perjalanan berat nan menguras emosi itu berhasil ditampilkan Nicholas Cage dengan kapasitas akting mumpuninya.
Naskah bikinan Borgli seolah berapi-api menuding ketidakbecusan netizen dalam mengolah nalar. Kemampuan sederhana untuk mengerti gagasan secara tekstual maupun kontekstual turut disorotinya. Contohnya ketika Paul merekam video klarifikasi, ia pun masih harus dihujani cacian akibat rancunya interpretasi kontekstual ala netizen yang sering semaunya sendiri.
Kita hidup di mana informasi tak utuh dipercaya sebagai kebenaran hakiki, di mana asumsi liar bisa dengan mudah tersebar. Penghakiman sepihak yang menumbalkan empati pun bisa dengan mudah ditemui, sama seperti fenomena cancel culture yang mendera Paul.
Sepintas, apa yang ingin disampaikan Dream Scenario memang terkesan serupa dengan keresahan yang diluapkan Budi Pekerti. Berbeda dari Wregas yang membungkus Budi Pekerti dalam realisme, tentang betapa dekatnya fenomena itu dengan keseharian, tuturan cerita Dream Scenario jauh lebih metaforis dan surealis.
Wajar jika kesan surealis tersebut begitu kuat, sebab Ari Aster juga duduk di jajaran direksinya. Terlihat pengaruh dari Aster melekat kuat di film ini. Sayang pendekatan sureal yang diterapkan pada masing-masing mimpi yang dikunjungi Paul justru terlihat minimalis. Hampir tidak ada diferensiasi signifikan antara dunia nyata dan dunia mimpi yang digambarkan sangat absurd oleh para ‘korban’ Paul, kecuali di beberapa mimpi yang hitungan jari. Mungkin budget jadi kendala di sini.
Inkonsistensi gaya surealis tersebut untungnya tidak mempengaruhi tone keseluruhan film yang memang bernuansa janggal. Sebuah kejanggalan yang cocok untuk mendeskripsikan fenomena post-truth di mana batasan antara dunia maya dan dunia nyata kian buram. Sejatinya, Paul adalah kita yang berada di antara memilih atau dipilih untuk diasingkan karena tak lagi memiliki nilai guna di lautan kesadaran kolektif.
Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, pernah menciptakan istilah ‘Das-sein’ bagi manusia otonom yang sadar akan keberadaannya. Ia haruslah bebas, tak terikat oleh ide kolektif tertentu, dan tentu saja tak terbelenggu oleh trend manusia modern yang umumnya bersifat ‘mental kerumunan’. Konsepsi ideal ala Heidegger itulah yang makin ke sini malah makin menjauhkan manusia dari kata otentik.
Manusia semakin mudah dimobilisasi oleh algoritma, disetir segala keputusannya, dan Dream Scenario menyadarkan kita bahwa media sosial bukan lagi riak kecil di samudera luas, tapi riak kecil yang memicu gelombang besar realitas.