Guru besar penulisan skenario, Robert Mckee, dalam suatu wawancara bersama Indie Film Hustle Podcast, mengatakan setidaknya ada dua musuh besar seorang penulis; cliche dan lack of credibility. Kedua musuh ini datang karena si penulis memiliki keinginan untuk menyenangkan semua orang (penonton). Inilah yang tampak pada drama Korea teranyar arahan Oh Choong Hwan (Start-Up, Big Mouth), Castaway Diva, yang berakhir membosankan dan predictable.
Tapi kalau boleh saya tambahkan, untuk kasus Castaway Diva, Park Hye Ryun, selaku penulis drama 12 episode ini juga barangkali kena karma akibat “membercandai” drakor lawas Winter Sonata (2002) dalam salah satu adegan yang dia bikin. Imbasnya, naskah yang dia hasilkan pun jadi senorak Winter Sonata.
Padahal, Castaway Diva sudah punya pijakan premis yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan – setidaknya layak masuk kategori premis segar jika dijajarkan dengan banyak drama Korea yang tayang tahun ini. Apalagi, menggandeng Park Eun Bin sebagai tokoh protagonisnya, yang kita sama-sama tahu dalam drama sebelumnya – Extraordinary Attorney Woo (2022) – tampil memukau memerankan karakter Woo Young Woo yang “spesial” itu.
Sialnya, akibat penulisan yang malas dan penyutradaraan yang (juga) malas, Park Eun Bin gagal bersinar di drama ini. Sang bintang Korea Selatan itu malah terjebak dalam karakter yang dangkal sehingga aktingnya pun berakhir kagok.
Di drama ini, Park Eun Bin berperan sebagai Seo Mok Ha, seorang remaja yang bermimpi menjadi diva seperti idolanya, Yoon Ran Jo. Namun karena suatu musibah, Seo Mok Ha terdampar seorang diri selama 15 tahun di pulau terpencil sebelum akhirnya berhasil ditemukan dan memulai kembali perjalanannya untuk menjadi seorang diva dengan tantangan perubahan zaman dan industri hiburan Korsel yang kejam.
Dalam lingkup tema ‘terdampar di tempat terpencil’, ada banyak referensi cerita serupa dengan pengembangan karakter yang diolah berdasar riset mendalam, sebut saja Chuck Noland dalam Castaway (2000). Atau, Yossi Ghinsberg dalam Jungle (2017). Atau, John Locke dalam series Lost (2004-2010). Bagi saya, karakter-karakter ini dikembangkan dengan telaten demi mewujudkan dampak psikologis individu yang terisolir.
Lalu, bagaimana dengan Seo Mok Ha? Oh Choong Hwan sudah terlebih dahulu punya referensi karakter yang lebih akrab di mata penonton drakor. Siapa lagi kalau bukan Woo Young Woo yang sudah terbukti dicintai penggemar.
Dari gelagat sampai cara jalan Park Eun Bin dalam Castaway Diva terasa sekali meminjam karakter Woo Young Woo. Bedanya, Woo Young Woo versi Castaway Diva terlahir dengan emosi yang lebih stabil dan… tidak berkebutuhan khusus.
Seo Mok Ha juga punya banyak bakat. Selain bermusik, dia mampu membangun survival shelter-nya yang begitu memadai seorang diri. Dengan terampil, Seo Mok Ha menyulap benda-benda di sekitarnya (serta benda-benda yang katanya sampah dari laut) menjadi suatu kerajinan tangan yang variatif dan kreatif. Dan, walaupun sedang terdampar bertahun-tahun, Seo Mok Ha tetap peduli dengan penampilannya, sehingga fisiknya tetap terawat dan cantik menawan.
Semakin jauh cerita berkembang, kehadiran Seo Mok Ha semakin terpinggirkan sebab konflik yang dialami karakter-karakter pendamping rasanya jauh lebih urgen dan beresiko. Akibatnya, Seo Mok Ha hanya jadi penengah dari masalah orang-orang di sekitarya. Dengan demikian, tujuannya untuk menjadi diva serta latar belakangnya sebagai penyintas tidak lagi penting dan pelan-pelan terlupakan.
Secara plot, drakor tak ramah durasi ini mendewakan twist yang mengandalkan formula flashback beberapa adegan terdahulu yang off-screen dengan seabrek pengulangan informasi, seakan sang filmmaker khawatir penontonnya terlalu bodoh dan pikun untuk mengikuti plot Castaway Diva.
Dengan elemen narasi yang dangkal serta aspek sinematik yang tak punya pijakan, berbagai isu krusial yang diangkat dalam Castaway Diva bikin saya kehilangan minat untuk membahasnya.
Tapi setidaknya, inilah secuil hal positif yang bisa dipetik dari drakor ini. Castaway Diva sudah berupaya menunjukan industri musik Korsel yang tak berbelas kasih dan hanya menganggap para idolnya sebagai produk yang punya masa kadaluwarsa – sebagaimana pernyataan Sulli dalam dokumenter Persona: Sulli (2023).
Meskipun ceritanya norak dan rada-rada hilang arah, Castaway Diva juga tetap berusaha menyelamatkan statement-nya agar tidak tenggelam terlalu dalam, baik ketika membahas mimpi anak muda sampai kasus KDRT. Namun kelebihan-kelebihan ini pun tak juga mampu menyelamatkan Castaway Diva yang sudah terpuruk dalam jurang “kemalasan”.