Pada masa jayanya, Blackberry sempat menjadi penanda status sosial seseorang. Alih-alih memenuhi fungsinya sebagai alat komunikasi, Blackberry sukses menciptakan ekosistem eksklusif berkat aplikasi Blackberry Messenger alias BBM-nya yang legendaris itu. Namun, bukan rahasia umum bahwa kesuksesan itu tak bertahan lama. Ilusi kesuksesan tersebut yang melatarbelakangi dibuatnya film Matt Johnson (Nirvana The Band Show) terbaru yang berjudul Blackberry.
Kisah film ini dimulai pada tahun 1996 kala Research in Motion (RIM), perusahaan teknologi yang didirikan oleh Mike Lazaridis (Jay Baruchel) dan Doug Fregin (Matt Johnson), tengah melebarkan sayapnya. Pada saat itu, mereka sedang mengembangkan sebuah prototipe ponsel pintar yang kelak mendisrupsi pasar dunia. Namun, kesepakatan dengan perusahaan mitra penjualan tidak kunjung didapat karena terbatasnya sumber daya dan tumpukan hutang.
Setelah kegagalan demi kegagalan, seorang CEO bernama Jim Balsillie (Glen Howertonn) dari salah satu perusahaan yang menolak RIM datang untuk membuat kesepakatan. Berbekal kesepakatan dan tambahan sumber daya, akhirnya dimulailah perjalanan Research in Motion sebagai perusahaan ponsel seutuhnya.
Tidak perlu menebak-nebak bagaimana film ini akan berakhir. Kita semua tahu bagaimana nasib Blackberry setelah gelombang ponsel pintar buatan Apple menginvasi pasar dunia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah di titik mana film ini akan berakhir.
Apakah tepat di puncak kejayaan Blackberry lalu diikuti dengan background hitam berisi narasi jumlah penjualan Blackberry? Atau malah berakhir setelah Blackberry hampir bubar di periode 2010-an? Semua terjawab jika kalian sabar menonton kompilasi konflik internal kantor berkedok sinema berdurasi hampir 2 jam ini.
Sebagai film biopik, Blackberry mengikuti pakem yang baru-baru ini dipakai oleh film sejenis seperti Air dan Tetris. Bukannya berfokus pada sosok, tapi produk lah yang diangkat menjadi sajian utama di film ini. Walaupun begitu, tampaknya naskah buatan Matt Johnson dan Matthew Miller kesulitan dengan alurnya sendiri. Naskahnya seolah ingin menonjolkan produk Blackberry yang kadung dipasang sebagai judul film, tapi gagal mengenalkannya secara personal.
Tidak banyak screentime yang diberikan bagi sang ponsel pintar untuk bersinar. Perancangan prototipe-nya pun hanya ala kadarnya saja. Apalagi kita tidak disuguhkan bagaimana pengaruh Blackberry di setiap lini kehidupan pada masa jayanya.
Kamera tidak sempat merekam kegiatan tukar pin BBM maupun sensasi mengirim ping chat yang kita rindukan itu. Bahkan, awal mula terciptanya aplikasi BBM yang fenomenal itu hanya ditunjukkan sebatas konsep di dapur kantor saja. Praktis, elemen nostalgia yang seharusnya menjadi benang emosional antar penonton malah berakhir mubazir, membuat film ini lebih pantas diberi judul RIM.
Untungnya, transformasi klise Mike Lazaridis dari seorang CEO humanis menjadi sosok bos semi diktator berhasil divisualisasikan dengan baik. Namun, jangan harap dampaknya bakal sama mengguncang seperti hubungan Mark Zuckeberg dan Eduardo Saverin di The Social Network. Konflik Mike dengan para karyawannya, walaupun tajam, tapi berlalu begitu cepat dan cenderung tanpa konsekuensi.
Tempo cepat inilah yang menjadi bumerang sekaligus keuntungan. Di satu sisi terlihat terburu-buru, tapi di sisi lain efektif untuk memperlihatkan konflik. Gaya pengadeganan shaky ala serial The Office turut melebur dengan tempo cepat yang melompat-lompat. Setiap adegan konfliknya terasa intens karena semua tokoh di film ini diberikan porsi yang pas untuk beradu mulut. Jadilah sebuah biopik tentang drama internal kantor yang pelan-pelan menuju kehancuran bagai bom waktu.
Entah bagaimana, mungkin visi inilah yang ingin dicapai sang sutradara. Kita yang belum sempat menyicipi ponsel ini tidak dibiarkan menyesali keputusan di masa lalu. Karena, seperti yang telah disinggung di awal, kesuksesan Blackberry tidak lebih dari hasil pekerjaan culas dan curang dari para pelaku usaha di baliknya. Borok perusahaan rela ditambal dengan nilai saham palsu dan target penjualan semu.
Guna menggaet banyak pelanggan, mereka memanfaatkan naluri dasar manusia akan sebuah status. Sampai kapanpun, ego manusia untuk mendapatkan simbol pengakuan akan selalu ada, hingga Blackberry menciptakan ilusi bagi mereka. Sebuah ilusi bernama eksklusivisme.