Bermaterikan novel berjudul serupa karya Sabda Armandio, 24 Jam Bersama Gaspar adalah usaha Yosep Anggi Noen—selaku sutradara—untuk menepi sejenak dalam keheningan guna menjauhkan filmnya dari riuh rendah kebanyakan film detektif yang penuh baku tembak.
Di dalam keheningan itu hiduplah Gaspar (Reza Rahadian), seorang detektif narsis penyendiri yang hidup berkubang fantasinya sendiri. Berbagai adegan kilas balik menampilkan penyesalan Gaspar karena tak mampu menyelamatkan orang-orang yang ia sayangi. Pikirannya gamang, sorot matanya senantiasa memunculkan kesan duka. Sebuah kredit pantas dilayangkan pada Reza Rahadian berkat performanya yang luar biasa ini.
Gaspar tak ubahnya seperti bocah yang gemar membuat repot orang di sekelilingnya akibat tingkah lakunya. Sejak kecil, ia selalu percaya diri akan kemampuannya sebagai seorang detektif pengungkap tabir kriminal. Namun, realita mengkhianatinya. Setelah mulut dan isi batinnya penuh sesumbar akan keahlian investigasinya, sesumbar tetaplah sesumbar. Dia tetap manusia narsis yang hidup di pikirannya sendiri.
Kepercayaan diri itulah yang mengantarkannya pada petualangan investigasi sepanjang 24 jam sisa hidupnya. 24 jam terakhir hasil vonis seorang dokter yang menyatakan bahwa ia mengalami kelainan mematikan. 24 jam penuh eskalasi emosi hingga akhirnya ia menempati ruang keabadian.
Jika berpuisi adalah unjuk kebolehan sang penyair guna memamerkan kumpulan frasa indah miliknya, film ini pun demikian. Tuturan dialognya yang kaya akan frasa indah bak guratan kuas di atas kanvas bernama sinema. Para karakternya seolah berbincang normal, tapi rangkaian kata-katanya berima menyerupai sebuah puisi.
Demi menguatkan kesan puitis tersebut, lantunan musik romantiknya pun tak lupa menengahi di tiap sela-sela dialog. Apalagi latar tempat yang disajikan merupakan kondisi sebuah kota distopia. Komplit sudah, film ini menjadi sebuah wujud visual puisi lintas medium tentang datangnya peristiwa akhir zaman.
Namun, 24 Jam Bersama Gaspar bukanlah puisi yang utuh. Penjabarannya tidak konsisten, dengan gelontoran diksi metaforisnya yang tak berujung. Tatkala penonton meminta penjabaran, filmnya terus menerus berpuisi. Namun saat penjabaran disodorkan, yang terlontar justru sepenuh hati.
Mungkin satu-satunya penjabaran yang digaungkan dengan lantang adalah bahwa film ini mengambil banyak referensi dari karya-karya terdahulu David Fincher.
Apakah 24 Jam Bersama Gaspar adalah surat cinta teruntuk David Fincher? Atau film ini hanya sedang berseloroh atas keserupaannya? Keduanya bisa saja benar. Perbedaan yang paling kentara tentu saja terletak pada upaya sang sineas untuk menjaga atensi penonton selepas satu babak di awal.
Sekuen awal 24 Jam Bersama Gaspar memang pekat akan pengaruh Fincher. Sama-sama thriller bernuansa moody, sensasi noir nan mencekam, dan sempat menyinggung salah satu karya beliau. Sayang, eksekusi sisa durasi yang mengekor di belakangnya jauh dari kesan yang dijanjikan di awal.
Tidak seperti Fincher yang memperlakukan semua karakter ciptaannya dengan cermat, film ini berlaku sebaliknya. Para anggota komplotan Gaspar yang dikumpulkan guna mengonfrontasi si antagonis justru terjurumus dalam kubangan tokenisme. Jelasnya, sekadar ada dan kurang memiliki signifikansi terhadap cerita.
Fragmen khusus sempat diciptakan guna menjabarkan proses mereka semua terkumpul karena satu kesamaan: Balas dendam. Namun, motivasi tersebut seolah jatuh dari langit dan dipaksakan untuk ada. Berbicara soal jatuh dari langit, proses investigasi Gaspar dalam mengungkap kejahatan pun demikian. Tiba-tiba saja terpecahkan tanpa mengalami lika-liku deduksi yang memunculkan tanya.
Mungkin film ini memang bukan ditujukan untuk mereka yang mengharapkan ajang pemecahan misteri seru ala film whodunit konvensional. 24 Jam Bersama Gaspar lebih cocok disebut sebagai ajang penyaluran ego sang sutradara selain berpuisi.
24 Jam Bersama Gaspar harus dinikmati selayaknya antologi puisi yang fokusnya adalah mengartikulasikan betapa kosong dan hening ruang liminal. Bagaimana caranya bercerita melalui gestur para karakternya, bagaimana caranya menampilkan perasaan terisolir. Semuanya adalah bahasa visual yang melampaui segala bentuk eksposisi.
Mengakhiri review ini, jelas film ini bukan untuk semua kalangan, namun sulit tidak mengatakan film ini indah dan puitis. Bahkan, bagaimana cara film ini mengakhiri perjalanannya mengarungi paruh terakhir kehidupan Gaspar sungguhlah indah dan memancing air mata. Kini Gaspar menepi selamanya dalam keheningan bersama sosok masa lampau yang dicintainya.