Jika melihat film-film bertema kartel, gangster, mafia atau sejenisnya, maka yang terbesit dalam kepala adalah film dengan adegan-adegan kekerasan yang mendominasi, tembak-tembakan antar kelompok bersenjata, dan juga kebengisan pemimpin Mafia layaknya film The Godfather dan The Irishman.
Namun, bagaimana jadinya jika film berlatar Kartel Mexico dibawa dengan pendekatan musikal dan kisah yang tak biasa? Ya, inilah yang coba ditampilkan lewat film Emilia Perez, karya sutradara Jacques Audiard.
Film ini bercerita tentang seorang pimpinan kartel Mexico bernama Juan ‘Manitas’ Del Monte (Karla Sofia Gascon) yang memantapkan hati untuk ‘menghilang’ dan mengubah identitasnya menjadi seorang perempuan. Untuk melancarkan rencananya, tanpa diketahui banyak orang, Ia mencari seorang yang berbakat untuk mengatur rencananya tersebut.
Pilihan Manitas pun tertuju pada Rita Moro Castro (Zoe Saldana), seorang ahli hukum yang karirnya tengah stuck. Cara pengenalan Rita pun cukup menarik. Kita akan dibawa melihat kemampuannya ‘mengolah’ pledoi untuk membela clientnya lewat pertunjukan musikal yang singkat namun memikat.
Rita pun ‘diculik’ Manitas untuk membicarakan rencananya tersebut. Rita diberi akses dan aset tak terbatas untuk dapat melancarkan rencananya. Segala upaya dilakukan Rita, mulai dari mencari tahu tentang operasi yang harus dilakukan sampai akhirnya menemukan dokter yang tepat untuk mengeksekusi proses operasi pergantian jenis kelamin.
Di saat semua rencana untuk operasi Manitas sudah clear, muncul persoalan lain yang harus diurus. Apalagi kalau bukan keberadaan dan keadaan keluarga Manitas. Tentu dengan identitasnya yang baru, Ia tak bisa bersama dengan keluarga yang sudah ia bangun selama ini.
Manitas memiliki seorang istri bernama Jessi, serta 2 anak laki-laki. Singkat cerita, Rita lah yang mengurus kepindahan keluarga Manitas ke Swiss dengan memberikan identitas baru untuk mereka.
Setelah semuanya siap, tiba waktunya Manitas menyongsong identitas barunya lewat serangkaian operasi yang harus dia lakukan. Kini Manitas telah ‘hilang’, dan identitas barunya saat ini adalah sebagai Emilia Perez.
Empat tahun berselang, Emilia kembali menemui Rita dengan maksud ingin mengembalikan keluarganya yang lama untuk tinggal di rumah Emilia. Rita yang sangat berbakat itu akhirnya berhasil membawa istri Manitas, Jessi, beserta kedua anaknya untuk tinggal di tempat tinggal Emilia, dengan alibi Emilia sebagai saudara dari Manitas.
Kurang lebih, seperti inilah gambaran seperempat awal dari Emilia Perez. Cerita dituturkan dengan intens, mengikat, dan memikat. Sepanjang awal film ini berhasil membuat tersenyum sumringah dengan nyanyian para tokoh dan stage act yang mereka tampilkan.
Dari awal saja, film ini sudah tampil meyakinkan lewat penampilan gemilang para cast. Semua nampak natural dan berhasil menjadi karakter mereka. Hal ini juga disokong dialog yang kuat dan beberapa kali berhasil membuat terenyuh.
Dialog yang didaraskan menjadi kekuatan film ini. Seluruh emosi berhasil dideliver dan dapat dirasakan penonton.
Musikalitas film ini tentunya tak perlu diragukan. Semua terasa sangat matang dan menyenangkan. Mulai dari melodi yang mengiringi, lagu dan lirik, hingga stage act yang indah. Ketukan dan melodi digubah menjadi nyanyian yang indah sesuai dengan perasaan dan suasana yang ada. Terasa sangat effortless dan mengalir.
Namun, sayangnya, semua tak dimaksimalkan untuk menjadikan Emilia Perez sebagai film musikal yang solid. Seluruh elemen yang menjadi kekuatan tak berhasil melenjutkan cerita yang sudah terbangun intens di awal. Film ini seperti kehilangan tenaga di second act.
Kisah Emilia dan kehidupan barunya mulai terasa kehilangan arah. Banyak subplot yang bikin bertanya-tanya. Cerita jadi tidak begitu berkembang dan membuat cerita menjadi stuck, mulai dari Emilia yang tiba-tiba mendirikan LSM untuk mencari orang-orang hilang di Mexico, yang motifnya sangat lemah, hingga munculnya tokoh love interest Emilia yang tak terduga dan bikin kita kebingungan.
Kekurangan film ini tak bisa dijelaskan secara detail. Namun jika menontonnya, pasti akan paham, mengapa bisa bikin bingung.
Untungnya, memasuki ke sepertiga akhir, ada konflik yang dibangun meyakinkan dan membawa secercah harapan terkait arah ending film. Mulai terasa lebih jelas. Sayangnya, lagi-lagi, begitu film mau berakhir, apa yang ditampilkan tidak memenuhi ekspektasi dan harapan.
Alih-alih menutup film dengan menunjukan sosok Emilia dengan identitas barunya yang kuat, bagian akhir film malah terasa over the top, hiperbolis. Terlihat bahwa film ini berusaha memberikan ending yang tragis nan heroik untuk membuat penonton terkesan. Sayangnya, bukan keputusan yang tepat rasanya untuk menutup film yang kuat akan persona dan identitas.
Tentu menjadi nilai plus bagi sang sutradara, Jacques Audiard, untuk membawa film bertema kartel dan mafia ke sajian yang berbeda dari biasanya. Mencoba untuk menampilkan sisi lain yang mungkin tak pernah kita bayangkan, namun nampaknya masih kurang mulus.
Walaupun demikian Emilia Perez akan tetap jadi tontonan yang magis. Setidaknya, sebagian besar lagu dan penampilan dari setiap tokohnya berhasil lekat di dalam kepala. Maka tak berlebihan nampaknya, jika mengatakan Emilia Perez sebagai salah satu karya cinema paling berani yang menyenangkan untuk dinikmati tahun ini.