Sepanjang dua jam lebih, secara konsisten, sutradara Nithilan Swaminathan menyuguhkan alternatif sinema India (Kollywood, berbahasa Tamil) dengan dunia cerita yang diwarnai kekumuhan (kemiskinan), kekorupan, dan kekerasan. Lewat film terbarunya, Maharaja, ia mengambil jarak dari label film India (terutama produksi Bollywood) yang heboh dan ekstravaganza – nyanyian, tarian, set, dan kostum yang glamor.
Film ini mengisahkan seorang tukang cukur, si Maharaja itu sendiri (Vijay Sethupathi), yang suatu hari datang tergopoh-gopoh ke kantor polisi untuk melaporkan perampokan. Seperti kasus perampokan pada umumnya, Kepolisian menduga Maharaja kehilangan barang berharga yang nantinya, jika ditemukan, bisa mereka eksploitasi untuk memerasnya atau mereka ambil sendiri. Tidak mereka sangka, Maharaja bukannya kehilangan emas atau uang, tapi tong sampah.
Iya, kalian gak salah baca, si tukang cukur itu datang jauh-jauh ke kantor kepolisian untuk mencari tong sampahnya yang hilang dan ia namai “Lakshmi”. Kepolisian mencoba berpikir “positif” dengan menduga Maharaja menyimpang barang berharga di dalamnya. Namun, tong itu pun diklaim Maharaja kosong dan hanya ia cari karena penting bagi anaknya. Tidak diketahui para polisi, ada kisah yang begitu kelam dan tragis di balik eksistensi tong sampah itu.
Nithilan menggunakan Maharaja untuk menggugat kondisi-kondisi tak kondusif di tanah kelahirannya, khususnya isu-isu terkait kemiskinan dan martabat perempuan. Sebab, dengan rata-rata hampir 90 kasus pemerkosaan sehari (NCRB, 2022), keadilan bagi perempuan masih jadi sesuatu yang harus diperjuangkan mati-matian oleh rakyat India.
Keadilan yang seret itu pun, dalam Maharaja, mesti diraih dengan balutan kekerasan dan baku hantam yang sadis dan berdarah-darah. Jelas, Nithilan tak sudi menyajikan kekerasan yang diindah-indahkan (beautification of violence) yang jamak dipraktikkan demi visi estetika. Kenapa? karena sejatinya, tidak ada kekerasan yang indah.
Sudah begitu, sutradara 42 tahun itu memperkokoh statement-nya melalui kerumitan archplot (walaupun kausal) yang penuh teka-teki, maju-mundur yang kompleks. Penulis bisa paham, begitu film ini banyak dibicarakan, nama Christopher Nolan langsung mencuat ke permukaan sebagai benchmark kejeniusan storytelling Maharaja. Hanya saja, Maharaja cenderung lebih ramah penonton awam dibanding film-film Nolan yang lekat dengan struktur nonlinear njelimet-nya dan kesukaannya bermain-main dengan konsep Waktu.
Dengan plot yang jadi bahan eksperimen, tahap introduksi Maharaja berpotensi jadi segmen yang melelahkan dan membingungkan, ditambah dengan fasenya yang cepat. Untungnya, Nithilan teliti menyisipkan pengingat akan garis waktu cerita pada penampakan fisik tiap karakter – yang mesti diperhatikan dengan jeli apabila tidak mau tersesat dalam labirin cerita.
Unsur kekerasan dan kerumitan sebagai atribut narasi Maharaja seakan jadi kisi-kisi atas apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab, di luar realitas sinema ini (di India), memang tak semulus itu korban memperoleh keadilan dan pelaku diganjar hukuman setimpal.
Tapi itu pun masih belum cukup buat Nithilan. Ia merasa perlu melengkapi gugatannya dengan ajaran moral lewat keadilan puitik (poetic justice) di ujung cerita yang akan membetot emosi para ayah.
Maka, jadilah sajian Maharaja digandrungi banyak pemirsa atas poetic justice-nya yang menampar. Lagipula – di luar eksplorasi plot – siapa juga yang mau dan puas melihat orang jahat (sejahat itu) menang, berkeliaran bebas, dan dapat tempat di akhir cerita.
Si jahat, dalam pustaka poetic justice adalah pihak yang layak kalah dan (kalau bisa) menderita dan si korban adalah tokoh yang mesti diberi kemenangan dan (kalau bisa) penghargaan supaya penonton dapat kepuasan maksimal dan setimpal sepanjang penantian karma. Begitupun dalam Maharaja, mereka harus dihukum, apa pun caranya, meskipun dengan treatment yang (berusaha) dramatis/puitis dan terkadang menimbulkan pertanyaan sederhana; “Loh, kok?”.
Faktor pemicu kegandrungan itu, selain permainan plot dan twist ending (entah gagap Nolan atau memang penonton sedang ingin ditantang proaktif), juga ada pada karakternya, Maharaja, yang sedari awal sudah mampu mengundang empati lewat kesederhanaan dan kasih sayang (juga misterius) yang relevan dengan konflik yang dialami. Maka, sudah tentu kita harapakan “kemenangannya”.
Si Maharaja (yang tanpa Maharani) ini memang didesain demikian. Di tengah apatisme, maka satu-satunya tempat bersandar hanyalah Maharaja – atau jika ditranslasi ke Bahasa Inggris berarti The Great King – yang diharapkan ambil sikap dan bertindak taktis. Dan, setiap orang bisa jadi The Great King ini, bahkan bapak-bapak sarungan yang hidup di pinggiran India dan bekerja sebagai tukang cukur pun bisa ambil peran dalam memperjuangkan keadilan.
Tapi, uniknya, meskipun lahir dari isu yang erat dengan perempuan, tokoh-tokoh perempuan dalam Maharaja justru timbul-tenggelam dan pasif (juga rentan). Kehadiran mereka semata diperuntukkan menunjang emosi dan membakar semangat pria-pria tangguh nan tangkas di sekitarnya untuk bertindak.
Walaupun minim keterlibatan, dialog-dialog tokoh perempuan (yang secuil itu) diracik begitu serius sampai-sampai terkesan representatif atas perjuangan penyintas – yang sejatinya jauh lebih tangguh. Walaupun ada kalanya penempatan dialog itu ada pada momen yang dipaksakan dan lagi-lagi membersit pertanyaan sederhana; “Loh, kok?”.
Walau masih ditemui kejanggalan dan kebetulan yang agak keterlaluan, Maharaja menjelma karya Nithilan yang dengan yakin menunjukan ketangkasannya dalam mengolah cerita yang extraordinary. Narasi sederhana (sebenarnya cukup klise) bisa ia eksekusi dengan lihai.
Lewat film keduanya ini (tujuh tahun setelah film debutnya), Nithilan mempamerkan progres filmmaking-nya yang mewah dengan caranya sendiri (walaupun dengan catatan unsur non-diegetic yang kadang melebarkan jarak realitas yang dibangun susah payah).
Meskipun porsi aksi mendapat wadah yang lebih besar, film yang dibumbui dengan humor gelap ini cenderung lebih menonjol dari segi emosional. Dan, dari kombinasi nuansa itu, cukuplah untuk Maharaja dikatakan sebagai sajian tontonan yang menyenangkan dan nyaris tampil beda dari produksi mainstream India.