Tak mudah bagi setiap orang untuk melepaskan seseorang yang pergi meninggalkannya. Beberapa orang mungkin dapat segera melanjutkan hidup, namun tidak sedikit juga yang tidak mampu melepas kepergian sang terkasih. Bahkan, terkadang, orang-orang yang gagal move on itu akan melakukan segala cara untuk dapat membawa kembali orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Premis “membawa kembali orang yang terkasih (yang sudah mati)” sudah banyak diangkat sebagai cerita-cerita di film horor, ketika karakter utama mencoba ritual membangkitkan orang mati sekaligus melawan kodrat alam yang berakibat buruk bagi dirinya dan orang lain.
Sejak upaya Victor Frankenstein membangkitkan tubuh orang mati lewat berbagai metode percobaan ilmiah, topik-topik serupa terus berkembang hingga memasuki ranah mistisme dan okultisme. Topik ini juga mempopulerkan permainan pemanggilan orang mati seperti Ouija dan, di Indonesia, Jelangkung.
Dengan tema yang sudah umum seperti itu, tidak menyangka A24 yang terkenal keren tersebut mencoba menggarap film dengan tema terkait. Talk to Me adalah hasilnya yang mengeksplorasi kebimbangan sesosok remaja yang tak mampu melewati rasa kehilangannya dan kemudian mencoba cara-cara yang justru membawanya ke dalam malapetaka.
Tema Hilangnya Sosok Ibu yang Membawa Pengalaman Supranatural
Setelan dua tahun ditinggal wafat sang ibu, Mia (Sophie Wilde) masih berjuang mengatasi kesedihannya. Hal itu berdampak terhadap hubungannya dengan sang ayahn yang kian hari semakin jauh.
Suatu hari, Mia dan sahabatnya, Jade (Alexandra Jensen), datang ke acara pesta teman mereka yang juga mengadakan acara pemanggilan arwah. Medium yang digunakan, tangan manusia asli yang telah diawetkan dengan lilin. Adapun salah satu aturan penggunaannya, setiap orang tidak boleh memegang tangan tersebut lebih dari 90 detik.
Mia, yang sempat mencoba menggunakan tangan itu untuk berbicara dengan roh ibunya, mencoba menggunakannya kembali. Tidak ia sadari, aksi gegabahnya menyebabkan arwah jahat merasuki tubuh orang lain dan membawa dampak fatal baginya. Mia bahkan sampai diperalat oleh sang arwah. Singkat kata, rasa kangen akan sang ibu berbuah malapetak.
Talk to Me mencoba mengeksplorasi perasaan remaja yang haus akan keingintahuan dan perhatian. Sebagaimana dengan film horor remaja lainnya, sang karakter utama rela melanggar aturan demi memenuhi keinginannya. Namun, cerita yang ditulis oleh Danny Philippou dan Bill Hinzman tidak hanya berfokus pada sosok yang mengancam karakter utama, tetapi juga obsesi yang menjadi alasan dibalik tindakan sang tokoh utama yang tidak memperdulikan dampak tindakannya bagi orang lain di sekitarnya.
Dalam hal ini, keegoisan dan obsesi Mia untuk bertemu dengan arwah ibunya justru mengalihkan Mia dari dunianya sendiri. Mia tidak memperdulikan siapa arwah itu sebenarnya dan risiko dari tindakannya, asalkan dia dapat terus berinteraksi dengan arwah “ibu” yang tanpa disadarinya justru “menyetir” hidupnya sehari-hari.
Dalam hal ini, Danny dan saudaranya kembarnya Michael, yang juga mempunyai channel horor di Youtube, mengamini salah satu aturan horor oleh Lovecraft yaitu menjadikan ketidaktahuan sebagai sumber ketakutan manusia.
Upaya Memperbarui Tema Generik Dengan Isu Terkini
Sebagai pemilik channel dengan mayoritas konten horor, Danny dan Michael Philippou sepertinya paham bahwa tipe horror yang mereka angkat sangat generik dalam industri film. Beberapa judul dengan tema serupa seperti Ouija mungkin sudah tidak lagi populer seperti dekade 2000-an seiring dengan meningkatnya popularitas genre adaptasi komik live action animasi atau elevated horror untuk di sektor genre yang sama. Untuk mengatasi tema yang sudah usang, mereka mengangkat isu lainnya yang terkait dengan kehidupan remaja saat ini.
Salah satu isu utama dalam film ini adalah parent issue yang acap kali terpinggirkan dalam film-film horor remaja. Talk to Me seakan menekankan masalah ini dengan menjadikan arwah yang tak dikenal sebagai sosok yang justru bisa lebih dekat dengan tokoh utama dibandingkan keluarganya sendiri. Melalui film ini, Philippou bersaudara seperti ingin memberikan pelajaran mengenai bahaya sosok asing dalam kehidupan remaja.
Philippou bersaudara juga tidak canggung ketika memperlihatkan adegan-adegan pemanggilan arwah yang meskipun terkesan sederhana namun juga terdapat intensitas berkat adanya aturan sembilan puluh detik. Adegan serangan arwah juga tidak terlalu banyak, namun memiliki intensitas yang dapat membahayakan nyawa tokoh utama kita. Philippou bersaudara juga menggunakan teknik pergerakan yang dinamis dan intensitas suara untuk menyajikan serangan arwah ke dalam tubuh.
Mengakhiri review ini, Talk to Me bukanlah sajian horor medioker yang jamak kita temui dalam industri horor dalam negeri.