Pedesaan jadi seting favorit drama Korea belakangan ini. Narasi yang dibawa hampir selalu sama; desa bisa menjadi tempat istirahat (dan kontemplasi) dari penat atau krisis yang dialami di daratan utama (Seoul) – berikut kisah romansanya yang membumi, polos, dan tulus. Itu juga yang dilakukan sutradara Cha Young-hoon dalam drama series Welcome to Samdal-ri.
Drama slice of life ini mengisahkan Cho Sam-dal (Shin Hye-sun), bersama empat kawannya dari Pulau Jeju, mencoba peruntungan di ibu kota. Namun, hanya Cho Sam-dal yang berhasil meniti karier. Keempat temannya – termasuk mantannya, Cho Yong-pil (Ji Chang-wook), gagal dan memutuskan pulang ke Jeju.
Bertahun-tahun kemudian, Cho Sam-dal yang sudah sukses dengan kariernya sebagai fotografer tersandung kasus perundungan. Seluruh media dan netizen menuduhnya sebagai ‘tukang bully’ dan semua kliennya kabur. Cho Sam-dal, yang saat itu tinggal bersama dua saudarinya – Cho Jin-dal dan Cho Hae-dal – di Seoul, memutuskan pulang ke kampung halamannya.
Pulangnya Cho Sam-dal (bersama saudarinya) ke Jeju disertai rasa malu dan waswas dicap sebagai pembully atau perantau gagal. Bertahun-tahun tak pernah berhubungan dengan teman-temannya, mantan, dan kedua orangtuanya membuat Sam-dal kesulitan melanjutkan hidup di Jeju.
Eksplorasi Pulau Jeju
Sebagai sutradara yang sudah tak asing dengan seting desa (When the Camellia Blooms), Cha Young-hoon menunjukkan kapabilitasnya dalam mengeksplor kehidupan pedesaan secara total. Setiap desa punya ciri khas dan sisi romantis masing-masing, begitupun Jeju.
Selain menyorot nilai kekeluargaan dan gotong-royong yang hangat, Cha Young-hoon menampakkan demografi Pulau Jeju dengan begitu detail dan kredibel. Contohnya saat menggambarkan haenyeo, penyelam di Provinsi Jeju. Kehidupan ‘Wanita laut’ ini dijelajahi dari segala sisi.
Untuk menunjukkan haenyeo adalah profesi terhormat yang erat kaitannya dengan budaya matriarki, Welcome to Samdal-ri merepresentasikannya dalam peran ibu Sam-dal yang punya etos kerja tinggi dan pengambil keputusan.
Kesempatan meramu cerita dalam 16 episode juga tak disia-siakan Cha Young-hoon dalam mengkritik pembangunan di desa yang, katanya, pro-rakyat tapi abai dengan budaya dan mata pencaharian masyarakat di dalamnya, temasuk para haenyeo.
Upayanya dalam meromantisasi kehidupan desa disokong kisah tarik ulur romansa Sam-dal dan Yong-pil serta kehidupan orang-orang di dalamnya yang socially active. Cha Young-hoon jelas ingin membandingkannya dengan kehidupan kota yang “berisik” dan toxic.
Sebab, begitu membahas kehidupan di perkotaan, Cha Young-hoon kerap menjejalkan penonton dengan lingkungan kerja yang gak sehat, cyberbullying, kurangnya ruang privasi, dan sulitnya jadi diri sendiri (serba topeng dan penuh kepalsuan).
Namun, dari kedua seting ini, ada satu hal yang tidak bisa dihindari para manusia di dalamnya; gosip. Gosip seperti jadi kenikmatan tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat, baik di desa maupun kota, tua atau muda.
Lupa Kawan Sam-dal
Welcome to Samdal-ri sejatinya adalah kisah serdehana. Sesederhana orang yang mencari kesuksesan di ibu kota dan kalau pulang takut dibilang gagal sama tetangga. Kisah sederhana (dengan karakter dan masalah yang lumrah) seperti ini menjadikannya dekat dengan penonton. Kita mungkin pernah di posisi Sam-dal dan penasaran kira-kira apa yang akan dialami dan dilakukan Sam-dal seterusnya dan seterusnya.
Hanya saja, saking asyiknya dengan karakter utama, Cha Young-hoon jadi melupakan kawan-kawan Sam-dal. Padahal, Sam-dal punya empat sahabat yang kisahnya bisa sedikit dielaborasi. Mereka seolah ditempatkan sebagai support system Sam-dal semata. Semua ada untuk Sam-dal. Semua siap melindungi Sam-dal. Semua bercerita soal Sam-dal.
Cha Young-hoon rasanya kurang berani meninggalkan sebentar saja karakter utamanya untuk memotret kehidupan supporting character-nya sedikit lebih dalam. Akibatnya kisah tarik ulur Sam-dal dan Yong-pil jadi berlarut-larut dan hampir berakhir membosankan kalau saja tidak dijeda dengan kisah Cho Jin-dal.
Alih-alih kawan-kawan Sam-dal yang sedari awal sampai akhir series wajahnya terus muncul, cerita malah over scene pada Bang Eun-ju, (ngakunya) korban bully Sam-dal. Sudah over, penyelesaian konflik pun tergesa-gesa dan gak ngena.
Cha Young-hoon sejatinya telah menyiapkan adegan pay-off juga di akhir cerita untuk kawan-kawan Sam-dal. Tapi karena minimnya planting bagi mereka bikin pay-off-nya jadi gak berarti apa-apa.
Rumitnya Sang Sutradara
Ada kerumitan dalam kesederhanaan Welcome to Samdal-ri, yakni emosi manusia di dalamnya. Drakor ini memang mengusung premis yang simple dengan topik urbanisasi. Tapi, kemampuan sutradaranya dalam menyelami emosi manusia adalah sesuatu yang wajib diacungi jempol.
Namun, selain kerumitan para karakternya, Cha Young-hoon tampaknya juga sutradara yang rumit. Awalnya, penonton digiring dengan pernyataan; untuk apa malu hidup di desa, toh, tetap bisa punya karier, sukses, dan bahagia.
Tapi (sebagai orang desa) di akhir series saya merasa dikhianati. Welcome to Samdal-ri hanya ingin menyampaikan bahwa; terlepas desa atau kota, punya tempat untuk pulang (dan rehat) adalah kelegaan luar biasa. Lantas, apakah desa hanya sekadar tempat untuk pulang (dan rehat)? Heiii Cha Young-hoon!
Tapi apa pun statement yang diusung, Welcome to Samdal-ri adalah ‘cerita’ yang bagus tanpa perlu ina-inu.