Teenage Mutant Ninja Turtles Mutant Mayhem adalah upaya sukses untuk menggairahkan kembali franchise kura-kura ninja itu di layar lebar. Setelah tiga kali percobaan gagal, dari film animasi TMNT yang rilis di tahun 2007 hingga Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of Shadows terbitan 2016, Mutant Mayhem menghadirkan film kura-kura ninja yang terasa fresh dan unik dari segi cerita maupun VISUAL.
Yess, VISUAL dengan huruf kapital. Elemen itu adalah salah satu highlight utama Mutant Mayhem. ‘Sutradara Jeff Rowe, yang dikenal lewat direksinya di film animasi The Mitchells vs The Machines, menggunakan style grunge dalam menggarap film ini untuk menghasilkan animasi yang surreal, dinamis, yet kinetic.
Teenage Mutant Ninja Turtles Mutant Mayhem masih mengisahkan aksi kuartet kura-kura remaja asal New York yang (nggak) kebetulan memiliki skill Ninja. Mereka adalah Leonardo (Nicolas Cantu), Raphael (Brady Noon), Michaelangelo (Shamon Brown Jr.), dan Donatello (Micah Abbey).
Karakterisasi mereka tidak jauh berbeda dengan iterasi-iterasi sebelumnya. Raphael tetap si begajulan, Donatello si pintar, Michaelangelo si komikal, dan Leonardo si pemimpin yang gak jarang sok idealis. Soal itu, Jeff Rowe dan produser Seth Rogen tidak mengubah banyak. Namun, begitu soal cerita, mereka mengambil pendekatan yang lebih dramatis dan personal tanpa mengorbankan unsur fun-nya.
Mutant Mayhem mengambil Acceptance sebagai tema besarnya. Menghabiskan sebagian besar hidup mereka di gorong-gorong New York, para kura-kura ninja mendambakan betul situasi di mana mereka bisa diterima oleh warga the city that never sleeps itu. Tapi, apa daya, sang ayah, Splinter (Jackie Chan) melarang hal tersebut.
Splinter mengutuk hubungan mutant-manusia. Menurutnya, manusia exist hanya untuk menyiksa dan memerah mutant, walau kura-kura gak punya puting susu. Oleh karenanya, dia akan selalu menghukum keempat anaknya jika mereka ketahuan keluyuran di kota New York.
Sikap itu bukan tanpa alasan. Dalam satu kesempatan, ketika Splinter mengajak para bayi kura-kura ninja ke dunia daratan, apa yang mereka dapatkan malah teror. Ramai-ramai warga New York mengutuk dan merisak mereka, membuat Splinter ketakutan betul akan kehilangan empat anaknya,. Sejak kejadian itu, Splinter mantap mengutuk kontak antara mutant dan manusia.
Tak berhenti di situ, Splinter pun mulai mengajarkan bela diri ke Leonardo, Raphael, Donatello, dan Michaelangelo. Splinter di sini bukan ahli beladiri seperti film-film sebelumnya, hanya tikus gelandangan biasa. Walhasil, ia mengandalkan youtube untuk belajar beladiri dan mengajari anak-anaknya.
Hasilnya oke. Di bawah didikan Splinter, yang bermodal seadanya, Leonardo cs menjadi kura-kura ninja yang mampu menghabisi lawan-lawannya dengan mudah. Dalam satu momen, mereka bahkan mengetes kemampuan ninjutsu yang didapat untuk menyelamatkan April O’Neil (Ayo Edebiri) dari para berandalan, lagi-lagi mengabaikan perintah Splinter.
Di luar dugaan keempatnya, O’Neil menerima mereka apa adanya, bahkan mentraktir makan pizza sekalian. Melihat para turtles potensial menjadi batu loncatan ia untuk mengembalikan karir jurnalistiknya, setelah insiden memalukan di Eastman High School, O’Neil menawarkan solusi agar Kura-kura Ninja bisa diterima warga New York. Jawabannya, Superfly (Ice Cube).
Lahir dari eksperimen yang juga melahirkan para ninja, Superfly adalah mutant lalat dengan tubuh menyerupai metallo. Membalas kematian ayahnya di tangan peneliti Cynthia Utrom (Maya Rudolph), Superfly berniat mengubah seluruh hewan di bumi menjadi mutant dan menghabisi manusia. Jika Kura-kura Ninja bisa mencegah Superfly, ditambah dokumentasi yang oke, O’Neil yakin mereka akan dielu-elukan warga New York.
Jika kita mencoba mengingat masa-masa remaja, tak bisa dipungkiri penerimaan adalah salah satu isu penting di periode tersebut. Ketika hormon lagi gila-gilanya, diikuti perubahan tubuh dan kehidupan yang di luar kendali, penerimaan menjadi penting sifatnya untuk merasa dihargai dan dianggap exist
Itulah yang dirasakan para kura-kura ninja. Terjebak di dunia gorong-gorong dengan kontak begitu minimalis dengan dunia manusia, keempatnya khawatir akan mati tanpa satupun mengetahui mereka ada. Mereka pun, sebagai remaja, ingin mereasakan mingle dengan remaja sepantaran mereka. Gawatnya, Superfly kadung bikin jelek image mutant.
Konflik itu di-deliver begitu convincing berkat keputusan Jeff Rowe merekrut remaja sungguhan sebagai para pemeran kura-kura ninja. Hasilnya adalah akting remaja yang terasa begitu natural, convincing, dan tidak dibuat-buat dibanding iterasi Teenage Mutant Ninja Tutrles sebelumnya.
Hal itu didukung skrip yang solid dan Seth Rogen, Evan Goldberg, Dan Hernandez, Benji Samit, dan Jeff Rowe sendiri. Meski identik dengan komedi dewasa, surprsingly Seth Rogen dan Evan Goldberg sukses menghadirkan dinamika para mutant yang lucu, berbobot, dan kayak akan referensi pop culture.
Nah, mengulang apa yang dikatakan di awal, film ini tidak hanya excel dalam hal cerita, tapi visualisasinya. Mutant Mayhem memiliki visualisasi yang beringas, kinetic, colorful, dengan memanfaatkan gaya grunge dalam menggambarkan dunianya beserta isi-isinya. Sedikit banyak mengingatkan dengan Spider-verse di mana hal itu kian terasa ketika Rowe sudah membawa para kura-kura ninja beraksi dengan senjata sai, katana, nunchaku, dan bo staff-nya. Eyegasm!
Semua itu kian komplit ketika didukung scoring yang vibefest dari pentolan Nine Inch Nails Trent Reznor dan Atticus Ross. Kaya akan efek synthesizer dan drun machine, scoring yang mereka hadirkan mengelevate segala laga dan momen emosional yang ada.
Mengakhiri review ini, harus diakui, third act Teenage Mutant Ninja Turtles Mutant Mayhem di-deliver dengan sedikit generik dengan gaya ala-ala film Superhero MCU. Namun, hal itu tidak merusak keseluruhan presentasi film ini dan menjadikannya sebagai salah satu adaptasi terbaik Teenage Mutant Ninja Turtles.