Melalui The Boy and the Heron, sutradara animasi legendaris Hayao Miyazaki mengenyahkan kesan buruk dari kematian yang merupakan pungkasan dari babak kehidupan. Sebab, dalam prosesnya, kematian tak kalah indah dari kelahiran. Keduanya adalah titik nol pembuka jalan menuju kehidupan baru sebagai persinggahan berikutnya.
Sesuai dengan judulnya, poros cerita berpusat pada seorang bocah bernama Mahito dan seekor burung cangak. Sosok Mahito yang masih dirundung duka selepas kepergian sang ibu terpaksa memulai hidup baru di tempat baru pula bersama ibu tirinya. Di sisi lain, kesehariannya mulai kerap diganggu burung cangak aneh yang seperti terobsesi dengannya.
Kemunculan burung cangak tersebut ditandai tiap kali Mahito berbuat kenakalan, mulai dari berbohong agar bisa mangkir dari sekolah hingga menyangkal keberadaan ibu tiri yang amat menyayanginya. Burung cangak makin sering menghantui ketika situasi berubah menjadi pelik kala ibu tiri Mahito tiba-tiba menghilang ke dalam sebuah hutan yang di dalamnya menjulang menara misterius.
Meski keberadaannya belum sepenuhnya diterima, Mahito tetap teguh berkeliling demi mencari ibu tirinya. Pencariannya berakhir di sebuah menara misterius yang ternyata merupakan gerbang menuju berbagai dimensi yang tak terikat ruang dan waktu. Dari situlah petualangan Mahito ditemani si burung cangak menuju dunia sihir ala Ghibli dimulai.
Jika menilik durasinya yang memakan waktu dua jam, ternyata hampir separuhnya digunakan untuk memproyeksikan kehidupan Mahito di dunia nyata yang dipenuhi rasa duka berlarut-larut. Tak seperti judul-judul produksi Ghibli lain seperti Spirited Away atau Howl’s Moving Castle, awal mula bersinggungnya protagonis The Boy and the Heron dengan parade “keanehan” Ghibli tergolong amat lambat.
Tempo lambat filmnya di satu jam pertama berpotensi mengundang rasa kantuk apabila naskahnya tidak jeli menyisipkan misteri guna memancing rasa penasaran. Namun, alih-alih dalam bentuk eksposisi, misteri tersebut dimunculkan dalam bentuk visual sebagai gantinya, sejalan dengan visi sang sutradara yang ingin melibatkan penonton ke dalam pengalaman sinematik alih-alih disuapi penjelasan tekstual. Kredo, “Show don’t tell” dipegang betul oleh Miyazaki.
Gagasan Miyazaki tentang kelahiran dan kematian sebagai tulang punggung film ini untuk bercerita seolah tak menyisakan ruang bagi rasa duka. Dia ingin mempersembahkan dualitas sisi kehidupan tersebut dengan sama indahnya. Kesan eksistensialisme beberapa kali muncul ketika Mahito dihadapkan pada pilihan menjalani kehidupan di dunia sihir penuh keseimbangan atau melanjutkan hidup di dunia nyata yang harmoninya kian sengkarut.
Dunia sihir yang ditawarkan film ini memang begitu menggoda. Menontonnya saja bak tenggelam dalam dongeng masa kecil berkat keliaran imajinasi tanpa batasnya, sekaligus menguatkan rindu pada masa bukaan pertama mata. Musik gubahan Joe Hisaishi turut menghiasi dunianya sebagai identitas musik yang melekat dalam ingatan.
Semua aspek film ini seolah dibuat dengan cinta. Meski visualnya sering terlihat abstrak, didukung oleh alur kisahnya yang mengembara penuh jelajah, kehangatan filmnya dalam bercerita serasa sedang memeluk kita di tengah dinginnya malam. Berkat cinta pula, keajaiban dunia abstraknya menjadi satu dari gugusan dunia khayal yang melintang abadi hingga penghujung hari. Inilah keajaiban The Boy and The Heron.
The Boy and the Heron memang tidak sedang mendongeng dengan kata-kata, melainkan visual. Bukan suatu keputusan bijaksana apabila mengharapkan cerita konkret dengan segala kepastiannya. Sebab sekali lagi, dunia dalam film ini bersifat abstrak dan serba tak pasti. Bahkan konklusi di akhir ceritanya juga merupakan sebuah alegori.
Ketika filmnya bergulir menuju akhir, ia memesan pada kita untuk senantiasa menggenggam erat masa lalu tanpa lupa merangkul masa depan, layaknya kelahiran yang selalu berpasangan dengan kematian.