Scream adalah salah satu slasher franchise terkenal di kalangan fans genre horor dan juga penikmat pop culture. Ngaku aja, setiap kali melihat topeng Ghostface, pasti langsung teringat dengan judul franchise tersebut kan?
Sebagai franchise horror yang akan menginjak usia 27 tahun Desember nanti, Scream berada di zaman yang tepat. Industri perfilman dan studio besar tengah getol-getolnya mendorong pengembangan franchise dari Ip film-film yang ikonik. Scream adalah salah satunya. Tak heran, kisah Scream terus berlanjut hingga Scream VI yang belum lama ini rilis digital setelah batal tayang di Indonesia.
Lalu tema apa yang dibawa oleh Scream terbaru ini? Apalagi kalau bukan soal franchise. Bagi yang lupa atau tidak pernah menonton Scream, franchise ini terkenal dengan seberapa sadarnya setiap karakter dan juga cerita filmnya mengenai klise dan tropes dari genre horor. Karakter-karakter utama dalam franchise ini adalah cinephile dan fans horor. Mereka sudah menonton banyak film horor. Mereka sadar tidak akan selamat jika melanggar rules atau peraturan film horor.
Hal-hal tersebut sebenarnya berfungsi sebagai lelucon dalam filmnya. Tapi, belakangan, “metacomedy” tersebut kerap diinterpretasikan sebagai kritik terhadap industri perfilman Hollywood, khususnya untuk genre horor.
Scream (1996), misalnya, mengkritik genre slasher yang mulai “basi” di tahun 80an dan 90an. Film kedua mengkritik sekuel horor. Yang ketiga mengkritik ending sebuah trilogi horor. Keempat mengkritik remake horor. Lalu Scream (2022) mengkritik requel dan juga elevated horror.
Scream VI mencoba untuk mengkritik franchise, dengan melibatkan “Four Core” film sebelumnya. Beberapa legacy characters juga kembali. Kali ini sang kakak-beradik Sam (Melissa Barrera) dan Tara (Jenna Ortega), pindah ke New York City, bersama si kembar Mindy & Chad (Jasmin Savoy Brown & Mason Gooding). Akan tetapi, mereka kembali diteror oleh Ghostface baru, yang senang meninggalkan easter eggs berupa topeng para pembunuh dari film sebelumnya.
Bahkan ada “peraturan” baru yang dibahas karakter-karakter utamanya, yang bisa dibilang menjadi komentar untuk horror franchise:
-Semuanya harus lebih besar (budget, cast, jumlah pembunuhan, action).
-Apa yang terjadi di film-film sebelumnya, akan terjadi lagi dengan cara berbeda.
-Tidak ada yang aman, legacy characters bisa mati.
-Karakter-karakter utama boleh dibunuh, supaya franchise bisa berlanjut.
Kalau secara struktur ceritanya, Scream VI lumayan mirip dengan Scream 2, karena karakter utamanya pindah ke kota baru, dan beberapa lokasinya di tempat kuliah. Tapi, berbeda dengan film kedua yang fokus ke sekuel, tentunya film keenam lebih sadar akan bagiannya di dalam franchise horor.
Komentar Yang Setengah-Setengah
Sayangnya komentar metanya tidak secerdik apa yang dilakukan film-film sebelumnya. Rasanya peraturan tadi hanya sekedar checklist untuk hal yang harus ada di sebuah film Scream.
Elemen meta dari Scream VI bukan menjadi bagian penting dari ceritanya. Bahkan, Ghostface di film ini sama sekali tidak peduli akan kritik terhadap franchise horor. Malahan, filmnya lebih fokus mengomentari cancel culture dan peran media sosial dalam pembunuhan karakter.
Bukan berarti komentar-komentar tersebut adalah hal yang buruk. Scream VI mencoba untuk membawa isu-isu tersebut, karena itulah yang dialami oleh Sam, yang pengalamannya di film kelima diekspos internet. Tak cuma harus menghadapi trauma dan melindungi Tara, Sam juga dicaci maki oleh netizen yang percaya terhadap teori konspirasi mengenai kejadian di film sebelumnya.
Karena berusaha lebih membawa sisi emosional terhadap filmnya, segala kritik dan komentar meta jadi dikesampingkan. Hal ini membuat Scream VI jadi kurang lucu atau tidak seasyik film-film lainnya. Dan, terkadang, momen emosional yang melebihi momen meta di film ini agak memperlambat pacing dari filmnya.
Jauh Lebih Emosional
Film keenam di franchise ini bisa dibilang adalah yang paling emosional. Sepertinya hal ini bisa terjadi karena arahan duo sutradara Matt Bettinelli-Olpin & Tyler Gillett, yang memang mengerti karakter-karakter yang mereka buat sejak film sebelumnya. Berkat naskah yang sangat kuat, hubungan antar karakter jadi terasa dekat dan mudah dipercaya. Setiap percakapan dan momen yang mereka alami membawa kita lebih mengerti tentang mereka.
Namun, semuanya itu tidak mungkin terjadi tanpa acting yang baik. Masih membawa kualitas yang sama dari film kelima, Melissa Barrera dan Jenna Ortega memberikan acting performance yang bagus. Hubungan kakak-adik dan keluarga mereka berdua menjadi salah satu highlight dari film ini. Bahkan, Jasmin Savoy Brown yang menjadi Mindy, sang sinefil horor, memberikan penampilan yang lebih, menunjukkan semangat dan kecerdasan yang dimiliki karakternya sejak awal.
Peran legacy characters di film ini juga membawa rasa nostalgia yang cukup. Courteney Cox sebagai Gale Weathers masih sama sejak film pertama, sangat pintar dan memiliki dorongan yang kuat untuk membantu “Core Four”. Sementara Hayden Panettiere sebagai Kirby Reed, fan favorite dari Scream 4, tetap memiliki sifat tomboy dan sinefil yang mengkomplemen para karakter utama.
Scream VI memberikan banyak alasan supaya penonton peduli terhadap karakter-karakternya. Jadi di saat Ghostface muncul untuk meneror mereka, kita bisa merasakan ketegangan dan ketakutan karena tak mau hal buruk terjadi.
Ghostface Lebih Sadis, Lebih Personal
Sama seperti yang dinyatakan melalui “peraturan” franchise horor di Scream VI, Ghostface di film ini jauh lebih menyeramkan. Design topengnya yang kotor dan lusuh memberikan kesan sangar terhadap sang pembunuh. Ghostface juga lebih berani menyerang targetnya, dan tidak takut untuk membunuh orang lain yang kebetulan ada di lokasi kejadian. Beberapa penyerangan dilakukan di tempat umum, menunjukkan bagaimana lingkungan New York City sangat cocok untuk kejahatan yang dilakukan Ghostface.
Sang pembunuh bertopeng ini juga lebih kreatif dalam meneror dan membunuh targetnya. Saat trailernya rilis, beberapa fans sangat vokal bahwa Ghostface menggunakan shotgun untuk membantai seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa Ghostface lebih unpredictable dan tidak segan menggunakan cara apapun untuk melakukan kejahatan. Dan, pastinya, korban-korbannya tewas dengan cara yang lebih sadis, lebih mengenaskan dibanding film-film sebelumnya.
Sayangnya reveal siapa Ghostface di film ini terasa biasa saja. Mereka yang sudah biasa nonton franchise ini pasti tahu kalau salah satu bagian dari fun dan excitement dari Scream adalah menebak-nebak siapa pembunuhnya. Akan tetapi, reveal di film ini tidak terlalu berdampak besar, dan jujur tidak mengejutkan. Motivasi sang pembunuh juga terlalu personal dan hanya mengaitkan dirinya ke film-film sebelumnya dengan topeng dan memorabilia sebagai easter eggs.
Yah, walaupun reveal Ghostface di film ini terasa biasa saja, penutupnya tetap terasa keren dan seru. Ada callback ke film-film sebelumnya di mana kita melihat bagaimana para final girls mempermainkan sang pembunuh. Bisa dibilang endingnya akan terasa campy atau “aneh’ bagi beberapa orang, walau tetap masuk akal untuk filmnya. Momen itulah di mana film ini menunjukkan “ketidakseriusannya” demi fun.
Menjaga Konsistensi Dalam Franchise Scream
Mengakhiri review ini, mungkin untuk beberapa orang dan fans, Scream VI agak menyampingkan hal-hal yang menjadi keunikan dari franchisenya. Momen dan komentar meta sepertinya jauh lebih sedikit dibanding film sebelumnya, membuat filmnya tidak se-fun yang dikira. Reveal dan motivasi Ghostface juga terkesan biasa aja, tidak baik dan tidak buruk. Karena terasa nanggung, banyak orang mungkin akan merasa kalau hal tersebut bisa dieksekusi lebih baik lagi.
Namun ada banyak hal-hal lainnya yang membuat Scream VI memberikan kualitas dan konsistensi terhadap franchise-nya. Karakter-karakternya, momen menegangkan dan menyeramkan, opening dan closing yang keren membuat Scream VI tetap layak ditonton oleh para pecinta horor.