Oppenheimer bukanlah film Christopher Nolan yang biasanya. Setiap kali mendengar nama Christopher Nolan, citra film yang terlintas di kepala tidak jauh-jauh dari The Dark Knight, Interstellar, dan Inception. Pria berkebangsaan inggris itu sudah lekat dengan citra film-film sci-fi yang realistis, layered, cold, plus kaya akan spectacle yang down to earth namun menggugah.
Saking lekatnya image tersebut, saya jadi terkaget-kaget ketika menonton Oppenheimer. Untuk pertama kalinya saya menonton film Nolan yang terasa hangat dan intimate. Ya, sifat pretensiusnya masih ada tipis-tipis, namun film ini tidak terasa seperti film Nolan pada umumnya. It’s a different beast.
Lebih mengagetkan lagi adalah ketika mendapati perlombaan membuat bom atom, yang diagung-agungkan promosinya, ternyata bukan fokus utamanya. Pembuatan bom atom hanya memakan 30-40% dari total content Oppenheimer. Sisanya? Political thriller dan court room drama. Tidak berlebihan mengatakan promosi Oppenheimer membangun ekspektasi yang berbeda dengan produk akhirnya.
Apakah berarti negatif? Tidak juga jika filmnya bagus. Untungnya, Oppenheimer memang beneran bagus. Oppenheimer, adalah salah satu karya terbaik Nolan setelah dua karya terakhirnya, Dunkirk dan Tenet, tampil underwhelming di mata saya.
Mengadaptasi buku American Prometheus karya Kai Bird dan Martin J. Sherwin, Oppenheimer pada dasarnya adalah sebuah character study. Nolan mengajak penonton untuk mengenali (dan membongkar) pribadi J. Robert Oppenheimer, sang bapak bom atom, yang diperankan secara apik oleh Cillian Murphy.
Kisah dibuka dengan kehidupan Oppenheimer remaja di Universitas Cambridge. Sebagai sosok yang selalu penasaran akan rahasia alam semesta, Oppenheimer diperlihatkan kerap melamun di kelas. Isi kepalanya penuh akan pertanyaan, membuatnya dibenci oleh dosennya, namun disukai oleh ahli fisika asal Denmark, Niels Bohr (Kenneth Branagh).
Terkesima akan kepandaian dan rasa ingin tahu Oppenheimer, Bohr menugaskannya keliling dunia untuk belajar dari fisikawan-fisikawan ternama. Hal itu mempertemukannya dengan berbagai figur penting di dunia fisika yang pada akhirnya juga membangun citra Oppenheimer sebagai peneliti visioner di bidang reaksi nuklir, baik fusi maupun fisi.
Di sela-sela kehidupan akademisnya, Oppenheimer seorang womanizer. Ia hobi gonta-ganti perempuan, bahkan kerap berhubungan dengan dua perempuan sekaligus tanpa mereka saling mengetahui. Salah satu yang nyantol adalah Jean Tatlock (Florence Pugh), aktivis partai komunis yang di kemudian hari membuat keberpihakan Oppenheimer dipertanyakan oleh negaranya sendiri, Amerika.
Namun, bukan Jean yang mengubah hidup Oppenheimer. Kehidupan akademisnya berubah dramatis ketika Pejabat Militer Amerika Leslie Groves (Matt Damon) merekrutnya untuk bergabung ke Manhattan Project, sebuah upaya kolaboratif untuk menciptakan bom atom. Apa yang awalnya disambut antusias oleh Oppenheimer berubah menjadi pergulatan batin dan beban moral perihal ambisi saintifiknya, keberpihakannya di masa perang, serta etika atas bom yang ia ciptakan.
Layaknya film biopic pada umumnya, studi karakter Oppenheimer tersebut diperlihatkan lewat berbagai elemen yang mengelilinginya mulai dari koleganya, kekasihnya, pekerjaannya, hingga pejabat-pejabat pemerintah yang menggunakan “jasanya”.
Namun, dari sekian banyak karakter yang ada di film ini, Nolan memposisikan satu figur sebagai anti-thesis dari Oppenheimer untuk mempertegas studi karakternya. Figur itu adalah Lewis Strauss, diperankan oleh Robert Downey Jr yang akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang pesona Tony Stark.
Duo Oppenheimer dan Strauss menjadi motor narasi film ini. Secara rancak Nolan bergantian mengekposisi perspektif keduanya perihal peran Oppenheimer sebelum, saat, dan sesudah Project Manhattan. Bagai kepingan puzzle, Nolan membawa narasi meloncat-loncat dari satu timeline ke timeline yang lain, menantang penonton untuk menyusun kepingan peristiwa dan keterangan yang ada untuk mendapatkan interpretasi yang sahih akan peran dan keberpihakan Oppenheimer.
Untuk mengkontraskan kedua, Nolan menggunakan teknik yang dulu ia pakai di Memento. Rekoleksi Strauss akan peran Oppenheimer ditampilakn secara monokromatik yang juga mempertegas interpretasi one dimensional Strauss akan Oppenheimer. Di matanya, Oppenheimer tak lebih dari seorang banci tampil yang ingin mengambil semua rekognisi atas Manhataan Project dan setelahnya, termasuk kebijakan nuclear deterrent (pencegahan perang lewat kepemilikan nuklir).
Sementara itu, rekoleksi Oppenheimer sendiri akan Manhattan Project diperlihatkan secara vivid dan coloroful. Oppenheimer memiliki pandangan yang multi-dimensional akan Manhattan Project, dimana tidak semuanya beririsan, apalagi ketika sudah berurusan dengan masalah patriotisme dan pencapaian saintifik. Nolan sedikit banyak membantu penonton untuk menyusun kepingan peristiwa yang ada walaupun pada akhirnya mereduksi dampak twist yang disiapkan.
Walau jelas Nolan memposisikan Strauss sebagai antagonis dari Oppenheimer, patut digarisbawahi bahwa Oppenheimer tak sepenuhnya suci. Karakternya kompleks dengan nafsu birahi, afiliasi politik, dan ambisi saintifiknya menjadi highlight. Dan semua itu dibelejeti satu per satu lewat court room drama yang uniknya mendominasi film tentang bom ini. Ya, seperti dikatakan di atas, bom hanyalah satu elemen kecil dari film ini. Political thriller dan court room drama mengisi 2/3 film.
Terlepas betap eloknya art direction Oppenheimer , terutama ketika menyorot Los Alamos yang menjadi lokasi Trinity Test dan ledakan dari tes itu sendiri, court room drama itu lah yang membuat film ini begitu excel. Memanfaatkan ruang sempit, Nolan menghadirkan “penghakiman” Oppenheimer yang begitu intense, menusuk, sampai membuat penulis teringat akan film 12 Angry Men.
Dari sesi itu, figur Oppenheimer “di-dekonstruksi”. Setiap atom, setiap elemen dirinya dipelajari, dicari celahnya, dicari cacatnya untuk kepentingan politik. Ironisnya, bagi kita sebagai penonton, hal itu memberikan tontonan terbaik akan kemampuan akting Cillian Murphy sekaligus sesi paling intimate dengan Oppenheimer.
Meski mengatakan court room drama adalah bagian di mana Oppenheimer excel, bukan berarti ledakan bom atom yang dibuat Nolan tanpa CGI itu underwhelming. Secara visual, ledakan itu sangatlah impresif.
Realitanya ledakan itu tidak meninggalkan kesan mendalam, alih-alih memorable. Penulis malah merasa detik-detik menuju ledakan sangat emosional di mana rasa bangga, penasaran, takut, pasrah bercampur aduk menjadi satu. Hot takes-nya, penulis merasa penonton tak wajib menonton film ini di-IMAX hanya untuk melihat adegan ledakan itu saja.
Apa yang diperlukan penonton untuk menonton film ini adalah sound yang maksimal. Sound editing Oppenheimer patut diacungi jempol. Permainanan sound effect plus score gubahan Ludwig Van Goransson memberi nuansa yang pas akan dialog-dialog yang ada. Penghakiman Oppenheimer tak akan intense tanpa elemen suara tersebut.
Selain suara, hal yang memperkaya Oppenheimer adalah jajaran cast-nya yang gila. Nolan serasa memborong semua A list Hollywood actor ke film ini dan tidak sedikit yang tampil hanya 1-2 adegan saja. Rami Malek, misalnya, tampil 3 adegan dengan adegan bicaranya hanya 1. Gary Oldman, tampil 1 adegan, dialognya tidak sampai 5 menit walau sangat-sangat ngena dan menusuk ucapannya. Mereka memainkan figur-figur sentral dalam sejarah Oppenheimer dan memperkaya narasi filmnya.
Terlepas dari segala kelebihannya, Oppenheimer bukan film yang sempurna. Paruh pertama film terasa pretensius dengan Nolan mencoba memasukkan sebanyak mungkin informasi sains dan sejarah untuk disuapkan ke penonton. Betul informasi-informasi itu penting untuk membangun konteks dan knowledge, namun tak jarang terasa too much.
Selain itu, tak sekali film ini memasuki ranah been there done that. Film ini terasa mirip dengan Beautiful Mind dan Imitation Game dalam membangun ketegangan dan drama politik saat perang dunia. Bukan hal yang bisa dikatakan sepenuhnya negatif, namun menggarisbawahi betapa sulitnya tampil original dalam mengisahkan peristiwa bersejarah. Dunkirk malah lebih bagus dalam hal ini yang dengan rancak mengeksplor rusaknya persepsi akan waktu ketika perang.
Mengakhiri review ini, undeniably Oppenheimer adalah salah satu karya terbaik. Oppenheimer adalah film yang thought provoking, intimate, dan compelling dalam mempresentasikan karakter pencipta bom atom J Robert Oppenheimer. Performa Cillian Murphy, sektor audio visual yang inducing, akurasi sejarah, plus ketegangan court room drama yang disembunyikan selama promosi menjadi nilai plusnya.