Trilogi Hunger Games memang sudah selesai sekitar 8 tahun silam. Perjuangan Katniss Everdeen melawan Capitol dan musuh – musuhnya sudah tertutup rapi di masa lalu. Namun, sejarah asal muasal Hunger Games terjadi sampai 75 kali belum diceritakan secara rinci. The Ballad of Songbirds and Snakes akhirnya membuka lebar sejarah Hunger Games dari sudut pandang Presiden Snow tercinta.
The Hunger Games : The Ballad of Songbirds and Snakes mengambil latar waktu di mana Coriolanus Snow muda (Tom Blyth) , yang sedang menempuh pendidikan di akademi terbaik Capitol (dan merupakan murid terbaik), tiba – tiba mengetahui bahwa pada tahun itu sistem penghargaan murid terbaik diubah. Murid akademi harus berhasil menjadi mentor dari peserta Hunger Games tahun itu jika ingin mendapatkan Plinth Prize dari akademi.
Tahun itu merupakan tahun kesepuluh Hunger Games diadakan, namun ketertarikan masyarakat Panem, terkhusus Capitol, untuk Hunger Games mulai menurun. Segala cara kali ini dilakukan mulai dari menghadirkan pembawa acara sampai memaksa murid akademi menjadi mentor peserta dari tiap distrik.
Snow akhirnya ditunjuk untuk mementori Lucy Gray Baird (Rachel Zegler), seorang gadis penyanyi dari Distrik 12. Snow yang sangat ingin mendapatkan Plinth Prize akhirnya rela melakukan segala cara untuk bisa membantu Lucy Gray memenangkan Hunger Games kali ini. Ia bahkan menjemput langsung Lucy di saat kebanyakan mentor malas membangun hubungan dengan mentee mereka. Namun, seperti kata orang – orang bijak, no good deed goes unpunished.
The Hunger Games : The Ballad of Songbirds and Snakes dipecah menjadi tiga bagian, yang di mana setiap bagian berhasil menyuguhkan ceritanya sendiri – sendiri dengan detail. Pengenalan karakter – karakter penting, bagi yang tidak familiar dengan kisah Hunger Games, disajikan secara compelling sehingga tidak sulit untuk memahami latar belakang maupun motivasi dari mereka.
Untuk penonton yang memang mengikuti trilogi Hunger Games mungkin akan me recall kembali ingatan tentang karakter – karakter yang hadir di trilogi Hunger Games. Meskipun tidak berupa cameo, tetapi nama – nama familiar yang muncul cukup membuat fans Hunger Games senyum – senyum saat mendengarnya, menandakan bahwa film ini memang telah menjadi bagian dari saga Hunger Games Trilogy.
Bagian paling menarik adalah ketika penonton diperlihatkan pelaksanaan Hunger Games ke-10 yang jauh lebih buruk dibanding Hunger Games ke-74 era Katniss Everdeen. Mulai dari arena yang kecil, persiapan hari H yang tidak menarik, teknologi yang kurang canggih, hingga presenter yang masih kaku memberi gambaran menarik betapa Hunger Games telah berevolusi begitu jauh ketika kita menontonnya pertama kali di tahun 2012.
Snow adalah bagian integral dari evolusi Hunger Games itu. Berawal dari mentor, ialah yang membawa berbagai perubahan ke Hunger Games di kemudian hari dan mengantarkannya ke kursi kepresidenan. Sudut pandang ia akan iterasi awal Hunger Games dan sistem yang mengelilinginy adalah nyawa utama dari film ini.
Film ini menceritakan dengan sangat detail perjalanan hidup seorang Snow muda, dari pemuda bermoral dan harapan terakhir keluarganya hingga menjadi presiden yang tiranikal. Karakternya kompleks. Sepanjang cerita, kita akan melihat bagaimana keyakinan Snow akan sistem yang terbentuk di Capitol (termasuk Hunger Games) diuji. Tirani yang berjalan dan relasinya dengan Lucy sedikit banyak membentuk pribadi dan mindsetnya ketika menjadi presiden nanti.
Tidak tertinggal performa Rachel Zegler sebagai Lucy Gray yang berhasil mengimbangi karakter utama dalam film ini. Malah, semua adegan ketika Lucy Gray bernyanyi patut di-highlight. Rachel Zegler selalu berhasil menghadirkan ironi dalam suara dan lagunya yang merdu. Di balik nyanyiannya yang indah, ada rasa sakit dan kemarahan terhadap Capitol.
Bagi penonton yang mengharapkan banyak scene action seperti Hunger Games sebelumnya sepertinya harus mulai menurunkan ekspektasi. Dengan plot yang berjalan lambat selama durasi dua setengah jam lebih, film ini lebih menitikberatkan penceritaan melalui dialog antar tokoh dan bukan adegan fight yang masif seperti Hunger Games sebelumnya.
Tidak lepas dari kekurangan, masih didapati beberapa hal yang membuat film ini masih kurang sempurna. Dimulai dari scoring film yang kurang konsisten. Di beberapa scene scoring terasa cukup mendukung suasana, akan tetapi di bagian berikutnya scoring terasa miss kembali. Yang kedua, fight scene yang dihadirkan dalam film ini rasanya terlalu ‘halus’ dibandingkan fight scene yang dihadirkan film – film Hunger Games sebelumnya. Walhasil, rasa sadis dan kejamnya film ini menjadi tidak setebal film – film pendahulunya.
Perlu diperhatikan juga performa acting beberapa cast pendukung yang masih kurang konsisten performanya dalam menjalankan karakter masing – masing, terkhusus para tribute Hunger Games yang terasa sedikit amatir.
Terlepas dari semua kekurangannya, The Hunger Games : The Ballad of Songbirds and Snakes rasanya sangat worth it untuk ditonton khususnya para fans Hunger Games trilogy yang ingin bernostalgia dan mengetahui sejarah Hunger Games terkhusus Presiden Snow tercinta.