Bukan perkara mudah untuk mengadaptasi novel karya penulis sekaliber Charles Dickens ke format audio visual. Selain sudah pamit sejak seabad lalu, novelis asal Inggris ini begitu populer dan dicintai banyak penggemarnya. Sejumlah karyanya bahkan masih dicari dan relate dengan kalangan milenial. Di samping itu, Dickens menggunakan diksi yang indah dan mampu membuat pembacanya tenggelam dalam perjalanan panjang nan berliku karakternya.
Karya Dickens dipuji karena memiliki daya tarik bagi banyak kalangan. Dickens mampu menciptakan tokoh utama yang tak terlupakan sekaligus mengundang simpati, antagonis yang menyeramkan, serta karakter-karakter jenaka. Melalui tokoh-tokoh itu, ia mengomentari sisi baik dan buruk manusia dalam masyarakat.
Tak disangka, Steven Knight berani mengemban tantangan tersebut dengan mengolah novel paling fenomenal Dickens, Great Expectations, menjadi sebuah mini series. Tapi, meski menyandang judul Great Expectations, akan lebih bijak jika menurunkan ekspektasi terlebih dahulu sebelum menyaksikan mini series gubahan Knight ini.
Pip dan Harapannya
Sebagai bocah yatim piatu yang tinggal bersama kakak perempuan dan suaminya, Pip tidak pernah punya harapan atas masa depannya. Namun, ketika mulai mengunjungi seorang wanita tua kaya raya, Miss Havisham, dan keponakan angkatnya, Estella, mulailah Pip mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Masa depannya makin tampak cerah ketika Pip mewarisi sejumlah besar uang dari seseorang misterius dan dia pun pindah ke London untuk belajar menjadi pria terhormat.
Series dengan total enam episode ini menyuguhkan teather of mind buah interpretasi Steven Knight dkk atas karya tulis populer Charles Dickens, Great Expectations, yang terbit pertama kali pada 1861 silam. Nuansa yang dihadirkan series ini tak jauh dari kisah gangster garapan Steven Knight sebelumnya, Peaky Blinders. Seting kelam nan berkabut masih menjadi andalannya – bahkan terlalu berkabut di beberapa adegan sampai memaksa mata melotot demi memperoleh visual clear apa yang sedang ditampilkan di layar.
Meski karakter yang dihadirkan cukup mencuri perhatian, serta artistik, wardrobe, hingga mise en scene yang cukup menunjang untuk menggambarkan tahun 1839, plot cerita dipangkas membabi buta yang mungkin berkontribusi mengganggu istirahat tenang Dickens di liang lahatnya.
Karakter Eye-Catching
Menggandeng Fionn Whitehead, Shalom Brune-Franklin, Ashley Thomas, dan Olivia Colman, karakter yang tampil – secara fisik – bisa dikatakan sesuai dengan apa yang terdeskripsi di dalam novel. Terutama karakter Joe dan Sara Gargery yang diperankan dengan sangat baik oleh Owen McDonnell dan Hayley Squires. Keduanya begitu terampil berlakon sebagai sepasang suami istri dengan sifat dan temperamen yang kontradiktif.
Karakter Mr. Jaggers dan Miss Havisham pun sangat amat membantu cerita dan memenuhi harapan saya sebagai pembaca novel, mulai dari penampilan fisik, pakaian yang dikenakan, sampai sifatnya. Bahkan, kedua karakter ini menciutkan Pip, sang karakter utama, dengan perangai atau karakterisasi yang kurang menonjol. Singkatnya, karakter-karakter yang hadir, paling tidak, memenuhi ekspektasi saya sebagai pembaca novel.
Namun demikian, saya pribadi merasa karakter Estella, baik yang bocah maupun yang sudah remaja, kurang menunjukan elegansi, arogansi, dan keanggunan sebagaimana yang tertulis dalam novelnya. Sebab dalam novel, tokoh Estella dideskripsikan dengan begitu memikat.
Dipangkas Habis-Habisan
Bagi pembaca novel, kemungkinan besar series ini bikin geregetan lantaran sejumlah plot yang dipangkas untuk dapat menyuguhkan cerita yang padat sesuai durasi per episodenya. Masalah turun-temurun karya adaptasi ini mengesankan Knight menggarap Great Expectations dengan setengah hati. Kecakapannya dalam bernarasi – sebagaimana karya-karyanya sebelumnya – tidak tampak sama sekali dalam series ini. Naskah series ini terasa seperti digarap oleh amatir dengan segala kebingungan dan kebimbangannya. Entah apa yang terjadi pada Knight.
Jika pada novelnya pembaca diajak muak bersama Pip dalam lingkup komunitas kecilnya di pelosok Inggris era Victoria, Steven Knight agaknya mengesampingkan hal tersebut. Dalam kisah autentiknya, Pip rutin menerima siksaan kakaknya (emosional maupun fisik), Sara Gargery, sehingga kehidupan Pip bocah yang liar serta harapannya menjadi seorang pria terhormat, terbelenggu dan seolah hanya angan-angan semata tampak kredibel. Di series ini, motif Pip untuk menjadi seorang ‘gentleman’ kurang begitu terasa.
Lingkar sosial Pip turut jadi korban pengikisan Steven Knight. Kalau di novel Pip cukup intens berinteraksi dengan Herbert, Wemmick, dan Joe. Di sini, Pip hanya bolak-balik menemui Mr. Jaggers, Miss Havisham, dan Estella. Di samping itu, ada karakter yang dibuang oleh Steven Knight. Padahal, dalam novel perannya cukup signifikan.
Jalinan cinta antara Pip dan Estella juga terasa kentang, spontan, dan kurang dibangun dengan matang. Emosi keduanya terasa begitu kikuk. Alih-alih menyuguhkan romansa remaja Inggris era Victoria yang khas dengan tarik-ulurnya, Steven Knight malah menyodorkan kisah cinta buru-buru, menggantung, dan canggung. Ada sedikit aransemen dari segi cerita yang sebenarnya tidak masalah dan bakal oke kalau saja diramu dengan baik.
Kurangnya interaski Pip dengan karakter lain membuat sejumlah adegan jadi terasa kaku dan aneh. Penonton awam yang tidak membaca novel kemungkinan besar akan berpendapat cerita series ini gak jelas dengan alur yang terbata-bata. Steven Knight tampak kebingungan sendiri memetakan konflik yang dialami oleh sang protagonis.
Sepertinya series ini memang diperuntukkan spesial bagi pembaca novel. Karena kalau tidak, akan ada banyak kebingungan dari insiden yang terjadi tiba-tiba yang bakal bikin pusing. Tapi meski begitu, series ini hanya sekadar memberikan rasa senang dan antusias ke pembaca novel karena dibuatkan format yang lebih mutakhir.
Walau demikian, Steven Knight lumayan patuh dengan cerita asli karangan Charles Dickens dan enggan melenceng terlalu jauh. Steven Knight juga tetap mengadopsi gaya dialog Charles Dickens yang indah dan poetic. Sehingga cukup menyegarkan telinga para pujangga awam di era ini.
Mudah Dilupakan
Sebagaimana Dickens yang lekat dengan genre bildungsroman (genre novel yang berfokus pada pendidikan kemanusiaan dan menceritakan kehidupan tokoh utamanya dari kecil hingga dewasa), dengan narasi yang sarat kritik terhadap masyarakat era Victoria serta pencarian identitas, Steven Knight mampu mengadaptasi sisi tersebut tanpa terkesan menceramahi selayaknya Dickens, yang dalam novelnya, lebih menonjolkan perjalanan, pembelajaran, dan perkembangan karakternya. Great Expectations lumayan berhasil menggambarkan kelas dan kondisi sosial serta kriminalitas yang memengaruhi perilaku dan pemikiran tokoh-tokohnya.
Satu hal yang tak bisa disontek oleh adaptasi Steven Knight adalah bagaimana Great Expectations, secara sengaja maupun tidak, mengajak penontonnya untuk berkontemplasi. Tak seperti novelnya, series ini gagal membuat saya terngiang dengan cerita yang ditawarkan. Jika versi novel mampu membuat saya kepikiran tentang kehidupan Pip hingga berhari-hari kemudian meski telah tuntas membaca novelnya, begitu mengakhiri series ini saya masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa dengan luwes tanpa membebani pikiran tentang hidup Pip yang penuh perkara. Singkat kata, mudah dilupakan – atau mungkin tak penting untuk diingat.