Kung Fu Panda 4 kembali menceritakan panda kesayangan kita yang jago kung fu, Po (Jack Black). Bedanya dengan film-film sebelumnya, tugas Po sekarang adalah mencari penerusnya, Dragon Warrrior yang baru. Tugas itu datang dari Master Shifu (Dustin Hoffman), agar Po bisa “pensiun”, melanjutkan fase hidupnya menjadi Spiritual Leader of The Valley of Peace kseperti Master Oogway dulu.
Po, yang masih nyaman menjadi Dragon Warrior, menjalankan tugas itu setengah hati. Ia pun mulai terdistraksi oleh masalah-masalah baru, salah satunya Tai Lung (Ian McShane) yang bangkit kembali. Selain Tai Lung, ada juga ancaman baru yaitu The Chameleon (Viola Davis), seekor Bunglon penyihir yang dapat berubah wujud menjadi binatang apapun yang ia mau. Po yang dari awal memang tidak tertarik dengan perjalanannya menjadi Spiritual Leader memilih untuk membereskan masalah-masalah baru itu dengan dalih “The Last Dragon Warrior Task”.
Ketika kabar Kung Fu Panda 4 akan dibikin, banyak mengatakan pembuatannya hanya upaya Dreamworks untuk miliking franchise Kung Fu Panda. Realitanya, kisah Po memang belum usai di Kung Fu Panda 3. Sebagaimana dipaparkan di film pertama, kisah Po memang harus berakhir dengan ia menjadi Spiritual Leader. Pertanyannya, apakah Kung Fu Panda 4 berhasil menutup kisah Po sebagai Dragon Warrior? Rasanya tidak.
Film ini rasanya memaksakan Po agar cepat-cepat naik jabatan seperti yang diinginkan Master Shifu. Hal itu semakin terasa tidak convincing ketika karakterisasi Po di film ini kurang ada ‘upgrade’ yang signifikan dibanding film-film pendahulunya.
Po di sini masih ditulis sebagai karakter yang konyol, susah serius, bahkan sangat kesulitan memasuki state inner peace yang bagi Oogway semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun gerakan kung fu Po semakin baik dan efektif, namun karakternya masih jauh dari cocok untuk menjadi Spiritual Leader.
Memang, pada film pertama, Po pun terpilih menjadi Dragon Warrior saat masih buta dengan kung fu dan banyak belajar seiring menjalani kehidupan dengan gelar yang diberikan. Tetapi, untuk menjadi seorang Spiritual Leader, rasanya formula yang sama seperti film pertama tidak bisa dipakai kembali. Sudah saatnya Po lebih dewasa dan film ini gagal memperlihatkan pendewasaan itu.
Beralih ke Dragon Warrior yang baru, jika dibandingkan dengan saat Po terpilih menjadi Dragon Warrior, memang proses Po mencari penerusnya lebih terasa rasional daripada hanya menuruti kura-kura tua dengan telunjuknya yang sangat wise itu. Akan tetapi, masih terimbas dari keburu-buruan Po naik jabatan, keputusan Po dalam memilih penerusnya rasanya masih kurang wise dan kesannya seperti ‘yah adanya cuma dia saat itu’. Kurang convincing. Apalagi, saat momen penunjukkan penerus itu tiba, Po belum ada di tingkat atau level yang sama dengan Oogway saat menunjuk Po menjadi Dragon Warrior.
Lantas bagaimana dengan kemunculan Tai Lung? Gak cuma Tai Lung sebenarnya. Semua villain masa lalu Po reuni di film ini. Tetapi, kehadirannya terasa hanya menjadi ‘makanan’ saja untuk sang villain utama. Bayangkan villain yang Po pontang panting untuk ngalahin tidka bisa memberikan perlawanan berarti ke The Chameleon.
Rasanya villain-villain legendaris tu bisa dikembangkan dan diberi peran lebih mewah dan megah, Sayangnya, apa yang terjadi malah lebih terasa seperti clickbait saja untuk fans Kung Fu Panda membeli tiket dan nonton di bioskop.
Selain character development yang bermasalan, plot keseluruhan film ini terasa berputar-putar di momen-momen menuju final battle Po dan The Chameleon. Dibanding tiga film pendahulunya, penggambaran momen kejatuhan Po sedikit dangkal di film ini. Kurang sedih dan kurang hancur rasanya. Hal itu diperburuk final fight yang gak nendang juga karena plot armor yang dimiliki Po.
Masih dari segi cerita, Kung Fu Panda 4 agaknya kurang mengekspos backstory dan motivasi dari villain utamanya seperti yang mereka senantiasa lakukan di tiga film pendahulunya. The Chameleon memang digambarkan kuat, tetapi motivasi dan backstory yang setipis tisu diperlihatkan kepada penonton rasanya kurang untuk menggaet simpati dan perhatian penonton pada The Chameleon. Hasil akhirnya lebih ke mediocre villain dengan motivasi pasaran. Dari segi karakter, kualitas The Chameleon berada di urutan keempat dari total 4 villain utama Po.
Satu spoiler alert! Absennya The Furious Five di sepanjang perjalanan Po memang berhasil membuat film ini terkesan ‘sepi’ dan tidak membangun tensi menjelang final fight.
Kalau kita bicara komedi, gak usah ditanya lagi, kocak hasilnya. Porsi komedi yang disajikan rasanya lebih kental dan dominan dibanding film pendahulunya. Semakin banyak pula karakter binatang yang baru ditampilkan di film ini seperti komodo, bunglon (obviously), rubah, trenggiling, dan masih banyak lagi. Munculnya jenis binatang baru ini juga melahirkan gerakan-gerakan kung fu baru sesuai dengan binatangnya.
Penggabungan antara gerakan kung fu yang diadaptasi sesuai gerakan dan ciri khas binatang aslinya di dunia nyata terasa pas dan sempurna. Fight choreo dari Po melawan semua musuh-musuhnya juga sangat terasa signifikan upgradenya dari film-film pendahulunya. Keras, namun masih nyaman disaksikan semua umur. Tidak lupa didukung oleh camera movement yang ciamik dan elemen-elemen visual yang upgrade secara signifikan dan fresh dihadirkan di film keempat ini.
Kesimpulannya, Kung Fu Panda 4 rasanya masih kurang menggigit untuk menjadi konklusi dari cerita dunia Kung Fu Panda. Tetapi, untuk hal menghibur, dua jempol untuk Kung Fu Panda 4.