Franchise Indiana Jones jelas tidak asing untuk penggemar genre film action adventure. Franchise tersebut memiliki banyak adegan pemacu adrenalin yang tidak hanya menegangkan, tetapi juga menyenangkan dan asyik ditonton. Alasannya ada beberapa mulai dari koreografi laga yang kreatif (dan terkadang jenaka), lokasi-lokasi eksotis, referensi ke peristiwa bersejarah, hingga supporting characters yang compelling. Semua itu dibungkung dengan vibe cinematic hasil tangan dingin Steven Spielberg dan alunan scoring fantastis dari composser John Williams.
Walau begitu, patut digarisbawahi bahwa franchise Indiana Jones tak bebas dari catatan buruk. Film keempat, Indiana Jones and The Kingdom of Crystal Skull, dianggap sebagai sekuel yang mengecewakan. Tak hanya kisahnya terasa nanggung, adventure-nya juga tidak se-enjoyable ketiga film pendahulunya. Nggak heran, dulu, banyak yang beranggapan Crystal Skull mematikan franchise ini.
Segalanya berubah dengan kemunculan film kelima Indiana Jones dengan subtitle The Dial of Destiny. Sebagai pemegang IP-nya, Disney ingin membawanya kembali ke masa kejayaannya dengan mereplikasi hal-hal baik dari film-film pendahulunya. Kejayaan masa lalu memang suatu hal yang enak buat diingat-ingat sehingga cukup mengagetkan ketika diumumkan bahwa bukan Spielberg yang duduk di kursi sutradara, tetapi James Mangold.
Nama James Mangold tidaklah asing. Dia adalah figur dibalik film laga seperti Logan, Wolverine, Ford v Ferrari, dan 3:10 to Yuma. Dengan pengalamannya, dia diberi tugas berat merevitalisasi IP Indiana Jones. Menjawab tugas yang diberikan kepadanya, Mangold membuka The Dial of Destiny dengan action setpiece megah yang khas dari franchise ini
Openingnya menunjukkan Indiana Jones aka Indy (Harrison Ford) kemnbali berhadapan dengan pasukan Nazi yang mencoba mencari artefak-artefak berbahaya dengan memaksanya. Ogah melakukannya, Indy melawan balik dan berlarian di atas kereta menghindari kejaran Nazi. Khas Indy!
Artefak yang menjadi objek konflik kali ini adalah Antikythera yang dibuat oleh Archimedes, Untuk mengamankannya, Indy dibantu Helena Shaw (Phoebe Waller-Bridge), anak baptisnya. Sadar umur, Indy paham betul ia tak bisa bekerja sendirian di usia lanjut. Walaupun tidak se-energik dulu dalam melakukan aksi-aksi gilanya, tekad dan niat Dr. Jones tetaplah besar, apa lagi untuk mengalahkan Nazi dan membawa artefak yang dicari kembali ke museum.
James Mangold mencoba membawa pendekatannya sendiri ke film ini agar tidak dianggap mereplikasi Spielberg. Salah satunya terlihat dari pemilihan objek artefak yang menjadi sumber masalah. Jika dulu Dr. Jones harus berhadapan dengan Ark of the Covenant, Sankara Stones, Holy Grail, dan Crystal Skull yang berbau mistis, sekarang dia harus menguak misteri Antikythera yang lebih ilmiah dan matematika. Hal tersebut membuat worldbuilding dan lore mengenai artefak tersebut menjadi menarik untuk dieksplor dalam filmnya.
Mangold tidak berhenti di situ. Bukan misteri artefak saja yang ia tampilkan, namun juga sisi emosional Indiana Jones sebagai “man out of time”. Di film ini, Indy adalah orang yang berada di luar zamannya. Hari-harinya menjelajahi dunia untuk mencari artefak, serta menonjok Nazi dan Komunis, sejatinya sudah lewat. Dia terpaksa hidup sendiri di New York City di tahun 1969, dan pensiun dari kerjaan yang tidak se-exciting dulu. Mangold ingin memperlihatkan Indy di titik terendahnya, dan film ini berhasil menunjukkan sisi tersebut dengan sangat baik.
Tentu hal itu tidak akan berhasil dicapai jika bukan Harrison Ford yang memerankan Indy. Ia tampil sangat memukau. Ekspresi, intonasi, dan gerak gerik Ford menunjukkan kepribadian dari Indiana Jones yang jarang atau bahkan belum kita lihat. Mungkin karena usianya yang sudah tua, Ford bisa mendalami perannya sebagai Indiana Jones versi kakek. Tidak mengherankan jika kalian nanti merasa kasihan atau bahkan meneteskan air mata saat melihat nasib Indy sekarang.
Sayangnya, Mangold kebablasan mengeksplor sisi emosional Indy. Sektor laga jadi tidak tertangani dengan baik. Padahal, franchise Indiana Jones terkenal dari action scenes yang sangat menakjubkan, terutama di tiga film pertamanya. Adegan action yang memukau dan menegangkan di opening film dan act pertama malah tergantikan dengan kejar-kejaran CGI yang terasa hampa. Rasa tegang juga berkurang karena aksi-aksi yang terjadi terlihat diatur visual effects. Seharusnya, film ini menonjolkan practical effects dan stunt works yang dilakukan di film-film sebelumnya.
Flow adegan action, pengambilan gambar dan angle, semuanya juga kurang terasa cinematic. Mayoritas adegan actions tersebut malah terasa seperti film-film blockbuster lainnya, seperti Marvel Cinematic Universe. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Mangold bukan Steven Spielberg dan salah berekspektasi ia bisa merepilikasi, atau bahkan melebihi, direksi Spielberg di franchise Indiana Jones.
Ngomong-ngomong Marvel Cinematic Universe, komedi dan jokes yang ada di dalam film ini juga lebih terasa seperti yang ada di film-film superhero. Agak terpaksa dan tidak natural, berbeda dengan film Indiana Jones yang membuat suatu momen menjadi lucu. Beberapa karakter seperti menyepelekan kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya punya emotional impact, tapi malah direspon dengan lelucon. Agak disayangkan karena hal ini bisa backlash, membuat penonton kurang suka dengan karakter-karakter barunya. Padahal, para aktornya memberikan penampilan yang sangat baik.
Dari segala kekurangan yang ada, hal yang amat disayangkan adalah ending dari film ini. Bagian tengah dari act ketiga adalah momen yang sangat menakjubkan, terutama bagi mereka yang suka sejarah, arkeologi, dan benar-benar mengerti karakter Indiana Jones. Momen tersebut sangatlah pas dijadikan penutup kisah Henry Jones Jr. Bahkan Dr. Jones sendiri menyatakan kalau dia ingin mengakhiri kisahnya di momen tersebut. Namun, filmnya malah mengambil momen tersebut dari para penonton dan Indy, dan memilih untuk menunjukkan ending fan service yang biasa saja.
Mengakhiri review ini, mungkin memang sudah saatnya franchise ini pensiun. Setelah rewatch tiga film pertamanya, alangkah indahnya kalau shot terakhir dari kisah ini adalah Indiana Jones, ayahnya, serta kawan-kawannya naik kuda menuju matahari terbenam. Namun, kita malah mendapatkan dua film tambahan yang mengganggu ending dari tiga film awal. Akan tetapi, Indiana Jones and the Dial of Destiny tetap menjadi film yang layak untuk ditonton bagi mereka yang ingin melepas waktu luang di bioskop, dan para fans yang kangen dengan Indiana Jones.