Series Jepang acap kali menawarkan kisah unik untuk disuguhkan ke penonton. Inspirasinya terkadang dari kejadian nyata yang telah tertimbun bertahun-tahun. Itulah yang dilakukan Gannibal.
Series adaptasi manga berjudul sama karya Masaaki Ninomiya ini berlandaskan pada tradisi nyata Suku Fore di Papua Nugini yang mulai terungkap pada tahun 1950-an, yakni tradisi memakan mayat.
Gannibal menawarkan fakta akurat terkait penyakit kuru sampai ke titik gejala kehilangan kendali atas emosi – sebagaimana dialami Suku Fore sebagai akibat dari kebiasaan memakan mayat.
Gannibal menjadi series segar bagi pecinta film-film gore (walaupun adegan gore-nya cuma secuil). Tapi, bersiaplah untuk kesal dengan teka-teki dan pertanyaan-pertanyaan yang membekas dan dibiarkan begitu saja oleh sang sutradara, Shinzo Katayama.
Menyelami Tradisi Endokanibalisme
Gannibal bercerita tentang perjalanan seorang polisi, Daigo Agawa (Yuya Yagira) yang dipindahtugaskan ke Desa Kuge, lokasi di mana seniornya, Pak Kano (Yashiba Toshihiro), meninggal secara misterius.
Agawa membawa serta keluarganya, istri, dan putrinya untuk tinggal di Desa Kuge. Awalnya, mereka cukup senang dengan keramah-tamahan warga Desa Kuge. Agawa dan keluarga juga beradaptasi cukup baik dengan komunitas barunya ini. Sampai suatu ketika muncul keluarga Goto, dikepalai oleh Keisuke Goto (Sho Kasamatsu), yang perlahan menguak sisi gelap Desa Kuge.
Selain monster in the house, berdasarkan kategori genre Blake Snyder, Gannibal juga masuk ranah institutionalized, sebab cerita berpusat pada suatu kelompok yang diekspos sedemikian rupa oleh seorang newcomer dalam kelompok tersebut. Dan, pada akhirnya meninggalkan pertanyaan: Siapa yang salah di antara kita? Petanyaan itu tentu saja menjerumus pada tradisi endokanibalisme yang dipraktikkan di Desa Kuge.
Ada tantangan tersendiri dalam mengolah peristiwa nyata menjadi sebuah film, mulai dari riset sampai proses pengembangan cerita dan bumbu-bumbu drama yang dapat diterima penonton. Gannibal menawarkan fakta serta data dukungan yang akurat sehubungan dengan praktik okultisme. Selain itu, narasi slow pace cukup sukses bikin penulis geregetan pengin buru-buru menyentuh episode akhir.
Kejanggalan dan Teka-Teki dalam Gannibal
Walaupun penulis bisa saja bersikap permisif, tetap saja kejanggalan dalam Gannibal patut dipertanyakan, seperti; kenapa keluarga Goto bisa se-powerfull itu di hadapan polisi (episode saat keluarga Goto mengunjungi lokasi ditemukannya kerangga Pak Kano)?
Selain itu, di salah satu episode, Agawa mendapat luka di dahi dan sisi dagunya lewat suatu bentrok. Namun, setelah beberapa kali berganti scene, bekas luka di dagu Agawa menghilang secara misterius, sedangkan luka di dahinya masih membekas. Hal ini tidak disokong dengan timeline yang jelas. Lantas, ke manakah perginya luka Agawa?
Di samping itu, bagi penulis, istri Agawa, Yuki (Riho Yoshioka), menjadi karakter yang cukup dilematik dan problematik melebihi warga Desa Kuge. Mulanya, Yuki senang pindah ke Desa Kuge, namun setelah mengalami beberapa kejadian janggal ia memaksa pindah dari Desa Kuge. Selanjutnya, ia senang bisa kembali ke Desa Kuge, tapi tak lama berselang Yuki meminta Agawa untuk lebih mementingkan nyawa keluarganya dengan pindah dari Desa Kuge.
Seumpama penulis ada di posisi Agawa tentu hal ini bikin frustrasi. Tapi, toh, protagonis kita sepertinya bisa melewati masalah domestiknya dengan lancar. Tapi, ya, tetap saja membingungkan di mata penonton.
Gannibal menyimpan terlalu banyak informasi yang perlu diketahui penonton untuk dapat mengikuti cerita dengan baik. Walhasil sebagian besar eksposisi dilakukan lewat dialog yang membuat penulis teringat kembali trauma masa lalu kala menyaksikan KKN Desa Penari. Berasa seperti diceramahi.
Antitesis dalam Gannibal
Gannibal mengusung warna hijau muda nan asri dan menyegarkan mata. Jika dalam buku ‘Creativity On Your Side’ karya Afif Abdilah menjelaskan warna hijau sebagai lambang kehidupan, Gannibal mempermainkan ekspektasi penonton dengan menjadikan warna hijau sebagai representasi misteri dan kematian. Eksplorasi warna sekunder ini dalam genre horor terbilang cukup baru dan berani, meskipun sudah pernah diaplikasikan oleh Ari Aster dalam Midsommar.
Meski dunianya sempit, Gannibal punya karakter yang luas dan beragam. Di antara karakter tersebut, ada yang mengidap disabilitas fisik achondroplasia sampai LGBT, yang dikemas tanpa perlu menyentil sisi perbedaan tersebut. Semua karakter penting lewat perannya masing-masing, tanpa perlu mengobok-obok perbedaan fisik dan orientasi seksual mereka. Gannibal tak gembar-gembor soal itu. Toh, yang patut jadi sasaran skeptisme penonton dalam cerita ini adalah sisi gelap hati manusia, bukan perbedaan fisik maupun orientasi seks.
Keakraban dan eratnya hubungan darah juga tak bisa dihindari kalau bicara soal endokanibalisme. Sebagai tradisi yang konon merupakan bentuk “menghargai mereka yang telah tiada”, Gannibal menelanjangi hubungan sosial toxic tersebut yang membuat penulis muak dengan sistem sosial yang melenceng namun tetap dipertahankan, mulai dari senioritas sampai sikap gila hormat.
Slow Pace yang Sukses
Walaupun slow pace, Gannibal layak ditonton tanpa ketuk layar kanan dua kali. Setiap scene yang ditampilkan tak pernah mengkhianati marwah scene sebagai pemberi informasi seting dan karakter dan/atau sebagai penggerak cerita. Minim sekali scene mubazir yang dituangkan semata untuk memenuhi durasi. Setiap scene ada maksud dan tujuan yang jelas.
Selain itu, plot cerita tidak melulu intens perihal pengungkapan tradisi endokanibalisme di Desa Kuge. Penonton dikasih waktu istirahat dengan sub plot-sub plot berupa permasalahan domestik Keisuke dan Agawa yang cukup bikin penat.
Plot twist diramu dengan apik dan menjanjikan. Planting dan foreshadow pra-pengungkapan plot twist berhasil menjelaskan hal-hal yang bikin penonton terkejut atas suatu pengungkapan gamblang. Penonton dipersilakan mengorek kembali ingatan mereka atas scene-scene sebelumnya.
Cerita pun disokong dengan akting karakter yang gak kalah oke. Keputusan menunjuk Yuya Yagira dan Sho Kasamatsu sebagai duet utama dalam Gannibal memang keputusan yang tepat. Tapi, selain kedua tokoh tersebut, karakter Mashiro (Kokone Shimizu) dan Gin Goto (Mitsuko Baisho) juga berhak dapat spotlight apresiasi meskipun Shimizu cuma dapat porsi dialog hitungan jari.
Ending yang Menyebalkan
Midsommar cita rasa Asia yang lengkap dengan metode parafrase warna, seting pedesaan, tradisi festival, sampai warga desa yang absurd dan annoying ini sebenarnya masih menyisakan banyak tanda tanya di benak penulis (mungkin juga sebagian besar penonton).
Namun sialnya, Gannibal mengakhiri episode terakhirnya (episode 7) dengan sangat menyebalkan. Shinzo Katayama menggantung penonton bak jemuran lepek yang masih butuh “pencerahan”. Apakah series ini akan berlanjut ke season 2? Entahlah. Sebenarnya after credit episode 7 sudah cukup menjelaskan sejumlah pertanyaan di benak penulis. Tapi ya… masa’ gitu doang?